Kajian atas Gagasan Chappy Hakim
Pendahuluan
Kemerdekaan adalah esensi dari eksistensi suatu negara yang berdaulat. Namun, pengertian kemerdekaan acap kali direduksi hanya pada dimensi simbolik dan politik, tanpa menyertakan substansi teritorial yang integral, yakni kedaulatan penuh atas seluruh wilayah negara—darat, laut, dan udara. Dalam konteks kontemporer, makna kemerdekaan sejati menjadi kian kompleks, terutama ketika dihadapkan pada persoalan penguasaan dan pengendalian wilayah udara nasional. Dalam kerangka inilah, Marsekal TNI (Purn.) Chappy Hakim—tokoh sentral dalam dunia kedirgantaraan Indonesia—mengemukakan gagasannya bahwa *“sebuah negara baru dapat dikatakan merdeka apabila berdaulat sepenuhnya di darat, laut, dan terutama di udara.”*¹
Kedaulatan Udara dalam Perspektif Hukum Internasional.
Konsep kedaulatan udara secara eksplisit ditegaskan dalam Konvensi Chicago 1944, khususnya dalam Pasal 1 yang berbunyi: *“Every state has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory.”*² Formulasi ini dikenal sebagai prinsip complete and exclusive air sovereignty—yang menjadi pilar utama dalam hukum udara internasional. Prinsip ini tidak sekadar normatif, melainkan memiliki implikasi yuridis, strategis, dan teknis, yang meliputi pengendalian atas wilayah udara (control of the air), pemanfaatan ruang udara (use of airspace), serta penegakan hukum (law enforcement) terhadap aktivitas penerbangan yang berlangsung di dalamnya.³
Para pakar hukum udara dan ruang angkasa seperti Prof. Priyatna Abdurrasjid, Prof. Pablo Mendes de Leon, dan Prof. Atip Latipulhayat, dalam berbagai karya ilmiahnya, menegaskan bahwa penguasaan wilayah udara merupakan elemen konstitutif dari kedaulatan negara.⁴ Dalam pandangan mereka, kedaulatan udara tidak hanya menyangkut aspek administratif seperti pemberian izin penerbangan atau pengaturan lalu lintas udara, melainkan juga menyangkut dimensi strategis berupa kehadiran dan kemampuan negara dalam menjamin keselamatan, keamanan, dan supremasi hukum di udara nasional. Masalah ini menjadi semakin mengemuka dengan pesatnya kemajuan teknologi terutama teknologi penerbangan dan masalah lain berkait dengan pemanfaatan wilayah udara sebuah negara khususnya dengan Kemanan nasional atau National Security.
Pendelegasian Wilayah Udara RI kepada Singapura: Kemunduran Kedaulatan Udara Indonesia
Dalam realitasnya, kedaulatan udara Indonesia mengalami pergeseran yang signifikan. Pada tahun 2022, Indonesia dan Singapura menandatangani perjanjian yang memberikan otoritas kepada Singapura untuk mengendalikan wilayah udara di atas sebagian perairan Kepulauan Riau, Selat Malaka, dan Natuna, mulai dari permukaan laut (sea level) hingga ketinggian 37.000 kaki, selama jangka waktu 25 tahun dan dapat diperpanjang.⁵
Delegasi pengendalian ruang udara tersebut—meskipun diklaim hanya bersifat teknis—secara substantif menanggalkan tiga pilar utama kedaulatan udara yang telah disebutkan: kendali atas ruang udara, penggunaan ruang udara, dan penegakan hukum. Dengan demikian, wilayah udara yang dimaksud berada di luar jangkauan yurisdiksi penuh Republik Indonesia. Hal ini secara de jure dan de facto menempatkan Indonesia dalam posisi yang belum sepenuhnya merdeka dalam makna strategis dan hukum internasional.
Lebih dari itu, pendelegasian wilayah udara kepada negara asing secara langsung bertentangan dengan ketentuan hukum nasional, khususnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Pasal 458, yang menyatakan:
*“Pengelolaan wilayah udara nasional dilaksanakan oleh Pemerintah melalui penyelenggara navigasi penerbangan sipil nasional.”*⁶
Formulasi hukum tersebut menegaskan bahwa tidak terdapat dasar legal bagi negara untuk menyerahkan pengelolaan ruang udara nasional kepada entitas asing. Penyerahan sebagian pengelolaan ruang udara kepada Singapura, dalam kerangka perjanjian FIR 2022, karenanya dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap mandat undang-undang dan bertentangan dengan semangat kedaulatan negara.
Implikasi terhadap Konstruksi Kemerdekaan
Dengan menganalisis kondisi ini, gagasan Chappy Hakim menjadi semakin relevan dan aktual. Sebuah negara yang tidak menguasai ruang udara teritorialnya sendiri tidak dapat dikatakan berdaulat sepenuhnya, dan dengan demikian, belum dapat dikategorikan sebagai merdeka dalam arti sejatinya. Kemerdekaan, dalam makna substantif, menuntut tidak hanya pengakuan internasional dan pemerintahan yang independen, melainkan juga kendali total atas elemen-elemen strategis teritorialnya, termasuk dan terutama wilayah udara.
Penyerahan pengelolaan wilayah udara teritorial RI kepada negara asing—tanpa adanya roadmap pemulihan kedaulatan udara yang tegas dan terukur—merupakan bentuk ketergantungan struktural yang melemahkan posisi Indonesia sebagai negara maritim dan udara yang besar. Hal ini berpotensi membuka celah terhadap intervensi asing dan mengancam integritas kedaulatan nasional.
Penutup
Kemerdekaan sejati bukanlah sekadar narasi historis yang dirayakan setiap tahun, melainkan merupakan kondisi objektif yang tercermin dalam penguasaan utuh atas seluruh wilayah nasional, termasuk udara. Dalam konteks ini, pernyataan Chappy Hakim seyogianya menjadi refleksi kritis dan dasar normatif bagi kebijakan nasional ke depan. Indonesia, sebagai negara kepulauan yang strategis, tidak boleh membiarkan wilayah udaranya dikendalikan oleh pihak asing dengan dalih efisiensi teknis atau kerja sama regional. Kedaulatan udara adalah hak mutlak bangsa yang harus diperjuangkan, dipulihkan, dan dipertahankan, demi kemerdekaan yang utuh dan berdaulat sepenuhnya.
Catatan Kaki:
- Chappy Hakim, Tanah Air dan Udara: Refleksi Kedaulatan Dirgantara Indonesia, Jakarta: Buku Kompas, 2015.
- Convention on International Civil Aviation (Chicago Convention), 1944, Article 1.
- Pablo Mendes de Leon, Introduction to Air Law, The Hague: Kluwer Law International, 2022.
- Priyatna Abdurrasjid, Hukum Udara Internasional, Jakarta: UI Press, 1989; Atip Latipulhayat, “A Sovereign Right Over Airspace: Legal and Strategic Issues in the FIR,” Indonesia Journal of International Law, Vol. 17 No. 3 (2020).
- Pemerintah Indonesia, “Perjanjian FIR Indonesia-Singapura 2022,” dokumen resmi Kementerian Perhubungan, diakses 10 Maret 2025.
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Pasal 458.
Jakarta 25 Maret 2025
Pusat Studi Air Power Indonesia