Akhir akhir ini tersiar berita menggembirakan bagi Angkatan Udara Republik Indonesia. Angkatan Udara kita akan segera dilengkapi dengan sejumlah pesawat terbang tempur baru dari generasi ke 4 dan 4.5. Pesawat terbang tersebut terdiri dari 12 pesawat Mirage 2000-5 produk generasi ke 4 bekas Qatar, 42 Jet tempur Rafale generasi 4.5 dari Perancis dan 24 F-15 EX Fighter Aircraft generasi 4.5 buatan Boeing Amerika Serikat.
Total 78 pesawat terbang tempur akan masuk dalam arsenal jajaran armada udara TNI Angkatan Udara. Jumlah yang cukup signifikan bagi sebuah Angkatan Udara dalam formasi kekuatan jajaran pesawat tempurnya. Terlepas dari 12 diantaranya yang merupakan pesawat bekas, tetap saja jumlah puluhan pesawat terbang tempur yang akan memasuki jajaran kekuatan armada udara sebuah Angkatan Udara, akan mempengaruhi performa kekuatan tempurnya.
Pasti dan sudah tersiar kontroversi tentang hal ini, berkait dengan banyak hal. Bagaimana dengan kesiapan sdm, perangkat pemeliharaan, infrastruktur bagi skadron pesawat terbang tempur yang akan datang sampai dengan kesediaan dana bagi kesiapan operasi dan kesiapan tempurnya. Demikian pula kontroversi yang membahas banyak persoalan tentang mengapa beli pesawat bekas dan mengapa proses pembelian terkesan terburu buru dan lain sebagainya. Terlepas dari semua kontroversi itu, penambahan jumlah pesawat terbang bagi sebuah Angkatan Udara dipastikan, dalam pengertian terbatas akan lebih memberdayakan Angkatan Udara dalam menjalankan Tugas Pokoknya.
Tugas Pokok Angkatan Udara.
Secara sederhana maka tugas pokok Angkatan Udara dapat dinyatakan sebagai Menjaga Kedaulatan Negara di Udara. Untuk dapat menjalankan tugas menjaga kedaulatan negara di udara landasannya adalah kewenangan penuh dalam mengelola ruang udara, dalam hal ini ruang udara di atas wilayah teritori negara atau wilayah udara kedaulatan nasional. Prinsip ini bersandar kepada Hukum Udara Internasional dan tercantum dalam konvensi Chicago 1944 yang menyatakan bahwa kedaulatan negara di udara adalah Komplit dan Eksklusif. Berangkat dari itulah maka tugas penegakan kedaulatan negara di udara memiliki 3 elemen mendasar yaitu Command of the Air, Use of Airspace dan Law Enforcement
Command of the Air akan fokus kepada orientasi tugas berkait dengan Border Protection dan menjaga keamanan wilayah udara nasional. Use of Air Space fokus antara lain kepada ekonomi dalam hal ini mengenai sektor pendapatan negara dari penggunaan wilayah udara nasional. Law Enforcement berfokus pada upaya penindakan langsung terhadap pelanggaran wilayah udara nasional yang dilakukan oleh penerbangan liar atau tanpa ijin. Wilayah udara adalah sumber daya alam yang bila merujuk kepada konstitusi, harus dikuasai negara dan diperuntukkan bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.
Tantangan dan Perkembangan Lingkungan Strategis
Dalam pelaksanaan tugas Angkatan Udara menjaga kedaulatan negara di udara, terdapat beberapa tantangan yang dihadapi selama ini.
Yang pertama adalah bahwa wilayah udara kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia sampai dengan saat ini belum secara resmi dicantumkan dalam konstitusi kita. Belum tercantum secara resmi di dalam UUD 1945 bahwa wilayah udara teritori NKRI adalah wilayah kedaulatan Republik Indonesia. Khusus tentang hal ini sebenarnya telah di perjuangkan oleh Kelompok Kerja Fakultas Hukum Unpad ketika proses amandemen UUD 1945 berlangsung. Akan tetapi sampai sekarang usulan untuk mencantumkan wilayah udara teritori Indonesia sebagai wilayah kedaulatan negara tidak atau belum berhasil.
Tantangan berikutnya adalah Airways di atas ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia). Seperti diketahui Indonesia di akui secara internasional sebagai negara Kepulauan berdasar kepada UNCLOS (United Nation Convention on the Law of the Sea) 1982 . Dalam Konvensi hukum laut Internasional tersebut seiring dengan pengakuan NKRI sebagai negara kepulauan maka Indonesia diwajibkan memberikan hak lintas damai (Right of Innocent Passage / Archipelagic Sealane Passage). Hak Lintas Damai tu dikenal sebagai ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia). Indonesia memberikan fasilitas 3 jalur yaitu ALKI 1, ALKI 2 dan ALKI 3. Semua kapal negara lain dapat dengan bebas, tanpa ijin melintas melalui jalur ALKI. Dengan perkembangan teknologi maka ada kapal kapal negara lain yang dapat membawa pesawat terbang di dalamnya. Persoalan yang muncul adalah mereka merasa juga berhak terbang melintas di atas ALKI sesuai dengan atau merujuk kepada UNCLOS 1982. Masalah yang muncul disini adalah bahwa hukum udara internasional tidak mengenal jalur penerbangan bebas tanpa ijin, walau wilayah udara yang berada di atas ALKI. Disinilah muncul perbedaan mendasar dari rejim Hukum Udara Internasional dengan rejim Hukum Laut Internasional. Sebuah sengketa yang sampai saat ini belum ada solusi penyelesainnya.
Tantangan yang ketiga adalah mengenai status wilayah udara kedaulatan yang terletak pada kawasan yang kritis atau Critical Border. Perbatasan negara yang rawan atau kritis adalah wilayah perbatasan yang bersinggungan dengan negara lain. Lebih kritis lagi adalah wilayah perbatasan negara yang berbatasan dengan banyak atau beberapa negara. Kawasan tersebut adalah wilayah udara disekitar selat Malaka, perairan kepulauan Riau dan Natuna. Pada tahun lalu telah ditandatangani persetujuan bersama antara Indonesia dengan Singapura yang antara lain berisi pendelegasian wilayah udara kedaulatan Indonesia itu kepada otoritas penerbangan Singapura.
Hal tersebut tertuang dalam Perpres no 109 tahun 2022 yang menyebutkan antara lain wilayah udara pada kawasan itu didelegasikan kepada otoritas penerbangan Singapura untuk waktu 25 tahun dan akan diperpanjang. Didelegasikan untuk selama 25 tahun plus plus. Dengan demikian maka kewenangan mengelola wilayah udara pada kawasan Selat Malaka, perairan Riau dan Natuna berada di tangan otoritas penerbangan negara lain. Pada titik ini maka Angkatan Udara Indonesia tidak memiliki kewenangan sekaligus tidak mungkin melaksanakan kewajiban menjalankan tugas pokoknya selama 25 tahun plus plus.
Mengalir dari pendelegasian wewenang mengelola wilayah udara kedaulatan nasional hingga rentang waktu 25 tahun plus plus, maka patut dicermati mengenai laju yang cepat dari kemajuan teknologi penerbangan. Laju kecepatan teknologi yang akan berhubungan langsung dengan perkembangan lingkungan strategis.
Untuk diketahui dan perlu menjadi perhatian bahwa Negara Singapura telah mengembangkan drone otonom bernama Arrow dengan kemampuan “swarm, yang mampu melesat dua kali kecepatan suara” serta sekaligus dapat berkoordinasi dengan penerbang tempur. Demikian pula Negara Australia yang juga telah mengembangkan Drone Loyal Wingman bersama Boeing, yang bisa mengawal dan berkomunikasi dengan pilot tempur serta mampu pada saat yang sama berfungsi sebagai perisai. Dalam menghadapi tantangan ini, khususnya perkembangan di 2 negara tetangga, maka sistem pertahanan udara Indonesia dituntut untuk mengembangkan pendekatan yang lebih holistik.
Dari teknologi siber hingga penggunaan drone otonom, serta integrasi konsep perang berbasis jaringan dan kecerdasan buatan atau AI (Artificial Inteligence), barulah Indonesia diharapkan mampu menghadapi tantangan tersebut dengan lebih efektif. Kesemua itu dikenal akhir akhir ini dengan terminologi populer sebagai Cyber world. Hanya dengan melalui pendekatan ini, Indonesia diharapkan dapat membangun fondasi pertahanan udara nasional yang adaptif dan tangguh, serta memberikan jaminan keamanan yang lebih baik dalam menjalankan tugas pokoknya menjaga kedaulatan negara di udara.
Kesimpulan
Demikianlah dari keseluruhan uraian di atas maka dalam proses pengadaan armada Angkatan Udara dengan puluhan pesawat terbang tempur berkait dengan pelaksanaan tugas pokoknya patut digaris bawahi beberapa catatan sebagai berikut
Wilayah udara teritori NKRI perlu dinyatakan sebagai wilayah udara kedaulatan nasional dalam Konstitusi atau UUD Dasar 1945. Dengan demikian maka wilayah udara kedaulatan NKRI diberlakukan sebagai Sumber Daya Alam yang harus dikuasai Negara dan diperuntukkan bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Hal ini akan memudahkan Angkatan Udara melaksanakan tugas pokoknya.
Pada tataran global, harus segera didorong menyelesaikan dispute atau sengketa perbedaan rejim hukum Laut dengan hukum Udara pada persoalan Airways diatas ALKI. Perjuangan ini menjadi agak sulit karena institusi seperti DEPANRI (Dewan Penerbangan dan Antariksa Republik Indonesia) dan LAPAN belakangan ini sudah dibubarkan. Masalah ini akan menyulitkan Angkatan Udara dalam pelaksanaan tugasnya.
Selanjutnya, pendelegasian wewenang pengelolaan wilayah udara teritori NKRI harus segera dicarikan jalan keluar untuk diakhiri segera. Hal ini mempertimbangkan banyak hal berkait dengan pelaksanaan tugas pokok Angkatan Udara. Khusus masalah ini, sejatinya adalah bertentangan dengan isi dari UU Penerbangan no 1 tahun 2009 pasal 458 yang menyebutkan, “Wilayah udara Republik Indonesia, yang pelayanan navigasi penerbangannya didelegasikan kepada negara lain berdasarkan perjanjian sudah harus dievaluasi dan dilayani oleh lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan paling lambat 15 (lima belas) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku”. Artinya setelah tahun 2024 sudah tidak ada lagi wilayah udara NKRI yang di delegasikan pengelolaannya kepada negara lain.
Dengan kondisi wilayah udara di kawasan Selat Malaka, perairan Riau dan Natuna yang didelegasikan wewenang pengelolaannya kepada negara lain, maka dengan sendirinya Angkatan Udara kita tidak bisa malaksanakan tugas pokoknya. Pada titik ini maka Angkatan Udara belum memerlukan pesawat terbang tempur dalam jumlah yang banyak.
Terakhir, dengan pesatnya kemajuan teknologi serta perkembangan lingkungan strategis, maka antisipasi bagi upaya pengembangan kemampuan Angkatan Udara dalam melaksanakan tugas pokoknya, sudah harus melihat dan menyesuaikan dengan teknologi yang telah memasuki era Cyber World. Dalam hal ini penggunaan Drone yang otonom, Artificial Intelligence dan sistem komando dan kendali digital berbasis satelit sudah harus menjadi pertimbangan utama dalam melengkapi Alat Utama sistem senjata Angkatan Udara. Pada konteks ini maka kesiapan sdm akan menjadi faktor yang akan sangat menentukan, disamping kebutuhan akan perangkat keras dan perangkat lunak.
Jakarta 30 Agustus 2023
Chappy Hakim
Pusat Studi Air Power Indonesia
Artikel serupa sudah dimuat di Koran Tempo Online pada tanggal yang sama.