Suatu hari di tahun 1996 ketika saya menjabat Direktur Operasi dan Latihan AU, dipanggil menghadap Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal Sutria Tubagus. Saya mendapat perintah untuk menghadap pejabat di Kemenlu memberi masukan materi yang berkaitan dengan persiapan tim delegasi Indonesia yang akan menghadiri sidang tahunan ICAO (International Civil Aviation Organization). Marsekal Sutria mengatakan biasanya , atau selama ini untuk masalah seperti itu yang diutus adalah Perwira bidang Hukum Angkatan Udara. Khusus kali ini, menurut beliau, Menlu membutuhkan masukan dari Angkatan Udara yang berasal dari para praktisinya atau orang lapangannya. Kemenlu mengharapkan masukan dari Angkatan Udara khusus dari mereka yang menggeluti operasi udara dalam kesehariannya. Saya segera menangkap bahwa yang dimaksud adalah tentang operasi udara yang dilaksanakan Angkatan Udara berkait dengan Hukum Udara Internasional. Tidak banyak pertanyaan saya hanya menjawab “siap kerjakan”.
Yang saya lakukan pertama kali setelah menerima perintah KSAU adalah segera menghubungi Staf Ahli KSAU Prof. Dr.Priyatna Abdurrasyid , S.H.,Ph.D. Kebetulan sekali saya sudah mengenal beliau sebelumnya dan hal tersebut tentu saja memudahkan dalam berkomunikasi dengan beliau. Saya sangat menyadari sekali bahwa pengetahuan saya tentang hukum udara internasional sebagai Perwira Penerbang Angkatan Udara yang dikala itu tengah menjabat sebagai Direktur Operasi dan Latihan, masih sangat terbatas. Itulah titik awal saya belajar hukum udara internasional lebih mendalam lagi kepada Guru Besar Hukum Udara Internasional Professor Priyatna Abdurrasyid. Beliau tidak hanya seorang Guru Besar, akan tetapi juga sosok peggagas yang mendirikan Pusat Studi Air and Space Law pertama di Indonesia yaitu di Fakultas Hukum Unpad. Pusat Studi Air and Space Law di Unpad ternyata juga merupakan yang pertama di Asia, didirikan pada tahun 1964. Sejak tahun 1996 itulah saya mulai intensif berguru tentang Hukum Udara atau Air and Space Law dibawah bimbingan Prof.Priyatna Abdurrasyid . Belajar tentang Air and Space Law dalam hal ini yang lebih kepada masalah berkait dengan berbagai operasi dan latihan yang dilakukan oleh Angkatan Udara dalam melaksanakan tugas pokoknya. Air and Space Law yang bersinggungan dengan National Air Defence System, sebagai bagian integral dari National Defence System. Sebuah kehormatan bagi saya pribadi, setelah 9 tahun pensiun dari Angkatan Udara, sebagai praktisi saya sempat diundang menjadi salah seorang pembicara ketika Unpad menyelenggarakan “International Conference on Air and Space Law” dalam rangka memperingati 50 tahun Pusat Studi Air and Space Law Fakultas Hukum Unpad di tahun 2014.
Intinya adalah dari kesemua itu saya jadi lebih menyadari betapa Angkatan Udara memang sudah seharusnya menjadi salah satu penjuru yang harus memahami dan mendalami Air and Space Law. Tugas Angkatan Udara yang terfokus kepada penegakan kedaulatan negara di udara tidak mungkin lepas dari masalah penegakan hukum di udara. Sebuah tantangan besar bagi institusi Angkatan Udara dalam menjalankan tugas pengabdiannya. Angkatan udara harus memiliki ahli hukum udara internasional yang memadai. Kepala Dinas Hukum dalam jajaran Angkatan Udara sudah waktunya untuk dijabat oleh Perwira yang menyandang gelar akademik setingkat Doktoral atau Ph.D dibidang Air and Space Law. Untuk pemikiran ini , ketika masih aktif berdinas di Angkatan Udara saya pernah membawa 3 orang Perwira Junior menghadap Prof.Priyatna Abdurrasyid. Saya minta tolong Prof.Priyatna untuk bersedia membimbing ke 3 Perwira tersebut untuk diantar menjadi Doktor dibidang Air and Space Law. Setidaknya, harapan saya adalah pada saat pensiun saya sudah dapat menyaksikan salah satu dari mereka berhasil meraih gelar Doktor. Saya menyadari bahwa memang tidak mudah untuk menyiapkan Perwira Angkatan Udara menjadi Doktor di bidang Air and Space Law. Dan itu memang terjadi, 13 tahun setelah saya pensiun, di tahun 2018 alhamdulilah saya sempat menyaksikan salah satu dari 3 Perwira yang saya hadapkan ke Prof.Priyatna tempo dulu , berhasil dengan sukses meraih gelar Doktor dibidang Air and Space Law. Saya merasa puas ,anak asuh saya, seorang Pilot Angkatan Udara berhasil sukses meraih gelar Doktor dalam bidang Air and Space Law. Akhirnya Angkatan Udara Indonesia memiliki seorang Pilot sebagai Praktisi yang sekaligus berhasil meraih prestasi sebagai seorang akademisi bergelar Doktor. Sayang, 2 Perwira lainnya tidak terdengar lagi kabarnya, dan bahkan Sang Pilot yang telah meraih sukses menjadi Doktor di bidang studi Air and Space Law kini ternyata sudah berkarier diluar Angkatan Udara.
Pada era belakangan ini, tantangan terbesar bagi sebuah Angkatan Udara adalah pesatnya kemajuan teknologi dan berkembangnya dinamika hubungan internasional yang beririsan dengan penggunaan wilayah udara dan ruang angkasa. Teknologi canggih kini telah bergulir menuju domain ke 5 bernama Cyber World. Angkatan Udara diseluruh dunia tengah berada dalam persimpangan jalan untuk meneruskan penggunaan Fighter Aircraft atau beralih ke Drone yang jauh lebih canggih dan efektif.
Sementara itu berbagai konflik yang berkembang ternyata menuntut kemahiran sebuah negara dalam mendalami aneka regulasi, peraturan, konvensi dan perjanjian internasional agar tidak menjadi pecundang dalam dinamika persaingan pada tataran global. Itu sebabnya, jajaran Angkatan Udara tidak lagi cukup dengan hanya memiliki sdm dengan keterampilan yang bersifat teknis penerbangan, akan tetapi juga harus memiliki Perwira Intelektual yang mumpuni dalam hal pengetahuan di ranah akademik. Angkatan Udara harus dapat berkontribusi memberikan masukan pada pengambil keputusan di tingkat strategis, agar perjanjian perjanjian internasional berkait dengan penggunaan wilayah udara kedaulatan negara dapat tercapai tanpa merendahkan martabat bangsa. Dapat tercapai dengan tidak merugikan pelaksanaan tugas Angkatan Udara sendiri dilapangan. Masalah masalah teknis penerbangan yang berurusan dengan operasi penerbangan militer yang bersinggungan dengan kegiatan penerbangan sipil komersial. Masalah masalah penerbangan Angkatan Udara dalam kerangka menjaga kedaulatan negara yang bersinggungan dengan kegiatan penerbangan sipil internasional. Masalah masalah penegakan kedaulatan negara berkait dengan penerbangan tanpa ijin yang kerap berkait operasi intelijen pihak asing. Singkat kata masalah teknis penerbangan dalam misi pertahanan keamanan negara yang tentu saja kurang dipahami oleh para pengambil keputusan di tingkat strategis. Dengan masukan yang komprehensif , maka pihak pengambil keputusan tidak keliru dalam memahami dan menyepakati sebuah perjanjian internasional yang terlihat akan merugikan kepentingan nasional.
Kembali pada awal tulisan ketika pihak Kemlu membutuhkan masukan dari Angkatan Udara dalam sidang/kongres/seminar internasional berkait tugas operasional Angkatan Udara, jelas dibutuhkan para perwira intelektual yang memiliki latar belakang pengetahuan Hukum Udara Internasional. Para Perwira intelektual yang dapat membantu memberikan masukan kepada para pengambil keputusan bagi berbagai keputusan strategis yang berkait dengan tugas pokok Angkatan Udara. Para Perwira Intelektual yang memiliki jalur net working dengan berbagai instansi pemerintah dalam berkoordinasi secara intensif pada masalah masalah keudaraan dalam arti luas yang berhubungan dengan tugas pengamanan wilayah udara nasional.
Contoh sederhana adalah tentang perjanjian FIR Januari tahun 2022 yang lalu. Ternyata dalam perkembangannya kemudian terbukti bahwa delegasi Indonesia tidak dibekali dengan data lengkap yang memperkuat posisi Indonesia dalam kasus tersebut. Salah satu diantaranya adalah ternyata ada dokumen penting dalam perjanjian FIR Singapura pada tahun 1948 antara otoritas pemerintah Hindia Belanda dengan pemerintah Kolonial Inggris di Singapura. Dokumen penting itu justru diungkap oleh seorang peneliti dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia dalam sebuah artikelnya di kolom kompas.com. Sebuah dokumen penting yang menyebutkan tentang keberatan pihak Hindia Belanda dan catatan tentang wewenang pengaturan lalulintas penerbangan militer yang harus tetap ditangani operator Hindia Belanda sendiri dari Tanjung Pinang dan tidak turut didelegasikan ke Singapura. Sebuah dokumen penting yang seharusnya tidak membuat delegasi Indonesia rikuh dengan pihak Singapura sehingga memutuskan saja sesuai keinginan Singapura, untuk mendelegasikan wewenang penuh kepada Singapura. Rikuh dan seolah merasa bersalah sehingga terkesan memutuskan saja sesuai dengan kehendak pihak Singapura sebagai akibat tidak memiliki data yang antara lain berupa dokumen penting di tahun 1948. Sebuah keputusan fatal yang sangat merugikan negara khususnya tentang kesulitan Angkatan Udara menjalankan tugas pokoknya di dalam negeri sendiri. Sebuah keputusan yang sangat merugikan dalam hal pengelolaan sistem pertahanan keamanan negara. Sebuah kerugian besar diderita pihak Indonesia dalam berunding yang ternyata “hanya” disebabkan perunding kita tidak siap dalam arti membawa bekal dokumen dokumen penting yang seharusnya merupakan prosedur standar dalam maju ke meja perundingan internasional. Sebuah pelajaran mahal dari sebuah “ketidak siapan” dalam maju ke meja perundingan.
Jakarta 9 April 2022
Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia