Kedudukan dan wewenang suatu badan pemeriksa sekelas KPK, tentunya harus diimbangi dengan aturan-aturan yang ketat yang dapat melindungi para pimpinannya dan juga institusinya untuk berbuat yang tidak benar. Sudah akan menjadi risiko bagi seseorang yang duduk dalam jabatan badan pemeriksa, hak-hak privasinya menjadi berkurang. Tidak boleh bermain golf, misalnya.
Apabila kita berpikir positif saja, maka lembaga seperti KPK, dalam melaksanakan tugasnya, akan banyak berdampak terhadap kenyamanan orang-orang yang jadi obyek penyelidikannya, dan lebih-lebih bagi mereka yang kemudian diseret ke meja hijau. Jadi, bekerja normal-normal saja, mereka sudah akan banyak musuhnya. Badan penyelidik atau polisi, bila mereka bekerja sesuai prosedur saja, tetap akan banyak orang yang tidak suka, apalagi bila sampai berbuat kesalahan.
Untuk itulah, maka biasanya, jajaran badan pemeriksa mempunyai aturan-aturan khusus yang harusnya diberlakukan, agar institusi pemeriksa itu dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan aman.
Konon dalam satu proyek bantuan pemerintah Jepang, mekanisme pemeriksaan terhadap proyeknya itu berjalan mapan dalam aturan-aturan yang ketat.Pada pemeriksaan per termijn, ada seorang yang melakukan inspeksi, dan dalam waktu 3 bulan akan diinspeksi langsung oleh petugas yang datang dari Jepang. Pemeriksa dari Jepang ini, tidak boleh berhubungan langsung dengan pimpinan proyek, akan tetapi harus melalui dan dihadiri oleh pemeriksa yang ada di Jakarta. Mereka tidak boleh berada dalam satu mobil, walaupun untuk ketujuan yang sama yaitu meninjau proyek. Demikian pula, makan siang di Restoran, mereka tidak boleh satu meja dan sang pimpinan proyek tidak boleh membayar makanan sang pemeriksa itu.
Semua mereka bekerja sesuai dengan daftar kerja semacam “check list” yang standar. Pada pemeriksaaan berikutnya, yang datang adalah orang lain lagi, akan tetapi dapat dengan mudah meneruskan pekerjaan pemeriksaannya karena , mereka cukup berpedoman kepada daftar kerja yang standar itu tadi. Demikian pula banyak aturan-aturan yang memang dibuat sedemikian sehingga sama sekali tidak membuka peluang untuk KKN. Para jajaran pemeriksa di lapangan dan juga para pelaksana proyek, tidak pernah tahu, siapa yang sedang menjabat sebagai pimpinan badan pemeriksa pusat. Andaikan tahu, hanya akan tahu sebatas namanya saja, karena mereka tidak kenal, dan tidak ada peluang untuk berkenalan, apalagi untuk bermain golf bersama.
Demikian lebih kurangnya, dan yang pasti ada peraturan-peraturan khusus yang bertujuan membatasi hubungan obyek pemeriksa dengan para pelaksana pemeriksa lapangan dan juga dengan jajaran pimpinan lembaga pemeriksa itu. Dengan demikian maka yang tercipta adalah hubungan yang berdasar kelembagaan dan bukan personal. Sederhana saja, maka tidak akan ada persekongkolan dalam proses pelaksanaan proyek, dan juga tidak mungkin terjadi adanya rasa tidak nyaman atau sentimen antar perorangan berkait dengan pekerjaan.
Kabarnya, dijajaran pimpinan pun, hubungan kerja dalam konteks kerja sama dan berkait dengan pelaksanaan tugas, diatur ketat sekali agar tidak terbuka peluang untuk KKN. Banyak larangan-larangan yang diberlakukan yang bertujuan untuk menjaga obyektivitas lembaga pemeriksa tersebut.
Nah, bagaimana dengan KPK? Saya percaya, pasti aturan serupa sudah diberlakukan pula, namun dengan terjadinya peristiwa Antasari, kiranya perlu dipikirkan ulang upaya-upaya untuk menyempurnakan mekanisme kerja, agar pekerjaan KPK benar-benar dapat sesuai dengan cita-cita kita bersama.
Demikian pula hubungan kerja antar staf dan pimpinan. Pola hubungan atasan-bawahan tentunya harus diatur sedemikian rupa agar dapat berjalan harmonis. Para staf jajaran pimpinan KPK selama ini ternyata tidak ada yang berani duduk di muka Antasari. Siapa yang berani duduk di “muka”nya Antasari ? emang “muka” nya Antasari itu kursi? Yang bener aja, Aya-aya Wae ?!