Disampaikan Chappy Hakim pada webinar FIR Singapura kerjasama PSAPI dan ICASL Unpad tanggal 10 September 2020
Selamat pagi kepada Yang terhormat Ibu, Bapak , saudara sekalian.
Terimakasih kepada Indonesian Center for Air and Space Law Unpad, Yang terhormat bapak Profesor Doktor Atip Latifulhayat, bapak Profesor Doktor Makarim Wibisono, Ibu Doktor Prita Amalia dan seluruh jajaran ICASL Universitas Padjadjaran dan Pusat Studi Air Power Indonesia. Terimakasih dan penghargaan saya sampaikan atas terselenggaranya kerjasama Webinar ini yang membahas tentang Wilayah Udara Kedaulatan Republik Indonesia yang hingga saat ini masih belum memperoleh kejelasan atas kedaulatannya. Membahas tentang masalah yang sangat penting dalam perspektif National Dignity and Pride atau kebanggaan dan martabat sebagai bangsa. Masalah yang berlarut-larut berkepanjangan tanpa dapat terlihat perkembangan dari proses penyelesaiannya dipermukaan.
Saudara – saudara sekalian.
Bila kita tinjau manajemen pengelolaan wilayah udara kedaulatan Republik Indonesia dalam aspek pengaturan lalulintas udara internasional dibawah koordinasi ICAO – International Civil Aviation Organization, maka kawasan ruang udara Indonesia telah dikelola dalam pembagian 2 Flight Information Region atau FIR yaitu pada wilayah Timur dan wilayah Barat. FIR diwilayah Timur dikenal sebagai FIR Makassar dan wilayah Barat disebut sebagai FIR Jakarta. Tidak ada permasalahan sama sekali pada FIR Makasar karena seluruh wilayah udara kedaulatan RI dikawasan teritori Indonesia berada sepenuhnya dibawah kendali otoritas penerbangan nasional Republik Indonesia. Sayangnya, tidak demikian halnya dengan FIR Jakarta, dimana pada lokasi yang sangat strategis dan kritikal, rawan justru wilayah udara kedaulatan Indonesia tidak berada dalam genggaman komando dan control otoritas penerbangan Republik Indonesia. Permasalahan ini sudah bermula di tahun 1946 sampai dengan tahun 2020. Sebuah permasalahan yang sangat basic dan prinsip dalam kehidupan benegara , kaitannya dengan kedaulatan negara di udara. Intinya adalah bahwa kawasan udara di perairan kepulauan Riau sebuah posisi pada perbatasan banyak negara yang pasti menjadi sangat rawan justru berada dalam kekuasaan otoritas penerbangan asing. Wilayah udara kedaulatan Indonesia disekitaran selat Malaka yang sangat strategis itu sarat dengan masalah. Masalah yang tidak kunjung terselesaikan.
Nah, tentu saja pasti tetap ada saja yang mempertanyakan ada masalah apa dengan wilayah udara kedaulatan kita yang berada dalam kekuasaan otoritas penerbangan asing dalam hal ini Singapura. Saya sudah tekankan tadi bahwa permasalahan yang muncul dikawasan tersebut adalah sebuah masalah serius dan bersifat basic dan prinsip. Tidak perlu panjang lebar saya uraikan disini, cukup 3 contoh sederhana yang ingin saya utarakan berikut ini. Yang pertama adalah kutipan dari berita media detik news Kamis 1 Nopember 2018 memberitakan pesawat asing yang dapat masuk wilayah RI tanpa Flight Clearance, karena diberikan ijin melintas oleh otoritas penerbangan dalam hal ini FIR Singapura. Berikutnya saya kutip dari Airspace Review tanggal 15 Oktober 2018 yang memberitakan tentang catatan dari Komando Pertahanan Udara Nasional mengenai pelanggaran wilayah udara kedaulatan RI. Berita tersebut memuat bahwa dalam 5 bulan terjadi 50 pelanggaran udara di wilayah Natuna dan tentang permintaan pihak Kohanudnas pada otoritas penerbangan Singapura agar memperhatikan ijin melintas wilayah udara Indonesia. Yang ketiga adalah berita di Zona Terbang 21 Januari 2020 yang memberitakan Perkumpulan Penerbang Curug 53 akan terus berupaya mendesak pemerintah untuk melanjutkan rencana Indonesia dalam memulihkan pengelolaan ruang udara diatas Natuna, kepulauan Riau. Itu sekedar contoh saja dari sekian banyak permasalahan serius berkait dengan pertahanan keamanan negara dalam aspek penerbangan liar dan tanpa ijin yang dapat dengan mudah melintas diwilayah udara kedaulatan kita. Yang paling parah, masalah yang sebenarnya adalah bahwa pihak Singapura telah menetapkan secara sepihak kawasan “Danger Area” diwilayah kedaulatan RI yang berarti juga melarang pesawat-pesawat terbang Indonesia melintas di rumah nya sendiri. Itulah beberapa hal saja yang dapat saya utarakan tentang betapa FIR Jakarta yang ternyata tidak mencakup secara keseluruhan wilayah udara kedaulatan Republik Indonesia .
Saudara-saudara sekalian,
Sayangnya adalah walau telah diketahui dengan jelas bahwa ada masalah serius di wilayah udara kepulauan Riau tersebut, nampaknya ada keengganan untuk mau segera menyelesaikannya. Ada beberapa kemungkinan penyebab keengganan ini muncul kepermukaan. Sekali lagi ini hanya kemungkinan. Misalnya, Bisa saja berangkat dari pemikiran bahwa Singapura adalah negara yang merupakan investor terbesar di Indonesia. Dengan posisi sebagai investor terbesar, maka sangat masuk akal bahwa Sang investor kerap membantu kondisi keuangan negara dalam manajemen finansial seperti dalam hal naik turunnya kurs Rupiah terhadap mata uang USDollar misalnya. Kemungkinan lainnya, bisa saja memang ada agenda tertentu yang sedang berproses dalam perjalanan proyek proyek berkait dengan kewenangan otoritas penerbangan Singapura di wilayah kedaulatan Indonesia. Sebuah agenda yang tersembunyi atau minimal tidak diketahui masyarakat luas. Sekali lagi intinya adalah tidak diketahui dengan jelas mengapa atau apa sebabnya muncul keengganan untuk segera menyelesaikan permasalahan serius yang sangat basic dan prinsip ini.
Saudara – saudara sekalian,
Berkait dengan masalah keengganan itu tadi, ternyata diikuti pula dengan munculnya beberapa hal yang sangat tidak jelas. Misalnya saja tidak hanya enggan tapi ada beberapa pernyataan-pernyataan dari orang kita sendiri yang nadanya justru terdengar sebagai mewakili kepentingan Singapura dalam persoalan FIR tersebut. Ada kesan bahwa ada beberapa orang kita yang justru telah menjadi teman Singapura atau local friend dari kepentingan keberadaan otoritas Singapura di wilayah kita. Ada pula kesan upaya melestarikan keberadaan FIR Singapura di wilayah kita dengan target yang juga tidak jelas tentunya. Kesemua itu muncul antara lain sebagai sebuah sikap yang sangat berhati-hati untuk tidak menggunakan istilah takut dalam membicarakan tentang keberadaan FIR Singapura yang sangat “aneh” itu. Ada kekhawatiran besar untuk menyebut tentang FIR Singapura. Terkadang menjadi lucu juga melihatnya, sampai-sampai Webinar ini pun yang tengah kita selenggarakan bersama telah diusulkan agar tidak menggunakan judul Webinar FIR Singapura akan tetapi FIR di Natuna dan kepulauan Riau. Sungguh sangat jenaka. Walau maksudnya tentu saja baik, yaitu agar tidak menjadikan Singapura tersinggung. Dapat dipahami pula bahwa memang hal ini merupakan masalah yang bisa disebut agak sensitive dalam hubungan antar bangsa. Demikianlah, walau agak lebay kata anak-anak milenial, hal-hal yang kemudian menjadi sangat tidak jelas tentang apa ini semua.
Saudara-saudara sekalian,
Apabila tadi saya utarakan beberapa hal yang tidak jelas tentang FIR Singapura, maka saya perlu menyampaikan bahwa minimal ada dua hal yang sudah sangat jelas dalam hal ini yaitu , sudah ada perintah dari Presiden RI tentang pengambil alihan FIR Singapura. Dalam arti sudah diperintahkan oleh Presiden pada tahun 2015 agar segera mengelola sendiri wilayah udara kedaulatan RI di atas perairan kepulauan Riau. Mengelola sendiri wilayah kedaulatan RI secara utuh masuk dalam cakupan FIR Jakarta sebagaimana halnya di FIR Makassar. Yang kedua adalah sangat jelas sudah tercantum dalam Undang undang Penerbangan nomor 1 tahun 2009 tentang pengambil alihan FIR Singapura. Bahkan sudah ada Peraturan Menteri yang dikeluarkan pada tahun 2016 yang telah menyusun tahapan pengambil alihan FIR Singapura yang sampai sekarang berstatus “nyaris tidak terdengar”. Pada posisi ini kiranya memang sudah sangat berimbang antara masalah-masalah yang serba tidak jelas berhadapan dengan masalah yang sangat jelas alias “Loud and Clear”. Sangat Jelas dalam arti kita tengah berproses menyelesaikan masalah keutuhan wilayah kedaulatan NKRI. Kedaulatan di daratan, lautan dan Udara. Sebagai catatan, Indonesia terdiri dari 1/3 daratan, 2/3 perairan dan harus diingat terdiri dari 3/3 Udara. Ini pernyataan dari Prof Dr Priyatna Abdurrasjid almarhum, Guru Besar Pionir Air and Space Law di Indonesia.
Yang terhormat, Saudara saudara sekalian,
Pada setiap kali berbicara tentang FIR Singapura selalu saja ada respon muncul yang sangat naif yaitu bahwa FIR Singapura itu tidak ada hubungannya dengan kedaulatan negara. Bahwa hal itu adalah hal yang biasa biasa saja karena Indonesia juga kan mengatur Christmas Island milik Australia dan juga wilayah Udara Timor Leste. Berikutnya juga selalu didendangkan irama tentang Indonesia yang belum mampu mengatur lalulintas udara internasional di Selat Malaka. Indonesia belum memiliki sdm yang mumpuni dan tidak punya dana yang cukup sementara APBN kita sendiri tengah kedodoran. Argumentasi argumentasi yang naif saya katakan, karena bila disebut tidak ada hubungannya dengan kedaulatan, tadi sudah saya paparkan tentang bagaimana penerbangan tanpa ijin dapat masuk kewilayah kita dengan mudahnya. Tidak kalah anehnya lagi adalah menyamakan kawasan Selat Malaka sebagai area perbatasan beberapa negara yang pasti rawan dan tempat melintasnya alur perdagangan tersibuk nomor dua di permukaan bumi ini dengan wilayah Christmas Island yang sangat sunyi dan sepi. Demikian pula dengan wilayah udara Timor Leste. Saudara sekalian, Kondisinya 180 derajat berbeda karena dalam hal ini justru Australia dan Timor Leste yang memohon kita untuk membantu mereka, jadi jauh berbeda dengan kasus FIR Singapura. Hal naif lainnya yang sering saya katakan sebagai sikap yang inferior adalah menyatakan berulang-ulang bahwa kita belum atau tidak mampu. Bahwa kita tidak atau belum memiliki sdm yang qualified dan juga tidak memiliki dana. Saudara-saudara sekalian sudah sering sekali kita mendengar pernyataan pejabat Indonesia AirNAv yang mengemukakan bahwa Air Nav sudah sangat siap mengambil alih tugas-tugas pengaturan lalulintas udara diatas perairan kepulauan Riau. Hasil Audit ICAO yang terakhir bahkan menyatakan bahwa tingkat keselamatan penerbangan Indonesia berada pada nilai yang “above global average”. Berikutnya Soal dana, kawasan tersebut adalah kawasan yang sangat padat, dan setiap lalulalangnya pesawat terbang dikawasan itu harus membayar biaya tertentu. Artinya adalah, bahwa untuk mengelola wilayah tersebut sudah dapat dipastikan adanya income yang lebih dari cukup. Dengan demikian kondisi yang seperti itu tentunya dalam aspek finansial akan sangat amat mudah memperoleh investor untuk membiayainya, bila kita memang benar tidak punya alokasi dana untuk itu . Sangat tidak sulit untuk memperoleh dana bagi sebuah kegiatan yang jelas-jelas memberikan kepastian akan adanya keuntungan. Paralel dengan itu, apabila tidak ada keuntungan dalam mengelola Air Traffic dikawasan tersebut, saya bisa pastikan tidak akan ada satu negara pun yang akan berminat untuk melakukannya. Ada barang ada Uang, atau UUD Ujung-ujungnya Duit juga kan.
Nah, berikutnya saudara saudara
Mungkin kita harus bersukur juga bila mengikuti perkembangan terakhir, sebuah perkembangan dimana dunia penerbangan global dilanda Pandemi Covid 19.
Industri Penerbangan terpukul sekali dengan kondisi belakangan ini dan yang paling parah terdampak adalah Maskapai Penerbangan dan Pabrik Pesawat terbang. Dengan sendirinya maka lalulintas penerbangan global menurun drastis, maskapai penerbangan banyak yang bangkrut atau menuju kebangkrutan.
Ada hikmahnya bagi kita semua. Dengan menurunnya lalulintas penerbangan dunia, maka Air Traffic di seluruh permukaan bumi menjadi nyaris terhenti. Frekuensi penerbangan turun hingga lebih dari 70 persen. Tidak terkecuali di Indonesia. Jumlah penerbangan yang sangat turun, terutama di kawasan perairan Riau, di area FIR Singapura telah menjadi sangat “sepi”, telah menjadi saingannya air traffic di Christmas Island.
Pengaturan lalulintas penerbangan di FIR Singapura sudah tidak lagi memerlukan peralatan yang canggih dan sdm yang berkualitas tinggi. Manajemen Air Traffic yang dulunya didramatisasi sebagai kawasan Penerbangan Internasional yang memerlukan penanganan yang istimewa dan luar biasa yang Indonesia tidak akan mampu melakukannya, sekarang ini benar-benar sudah menjadi sangat sepi.
Inilah momentum yang sangat tepat untuk mengambil alih tanpa akan berhadapan lagi dengan alasan-alasan yang dicari-cari dan mengada-ada. Porsi lalulintas penerbangan di selat Malaka sudah menjadi jatahnya persoalan sepele dan teknis saja sifatnya. Sudah sangat sederhana untuk dapat ditangani oleh tingkat Direktorat Perhubungan Udara saja. Cukup ditangani oleh DGCA saja, Directorate General of Civil Aviation saja. Sudah terlalu kecil untuk ditangani pemerintah karena sudah menjadi porsi bilateral antara kedua DGCA saja.
Sebuah persoalan yang beberapa tahun lalu dikerjakan antara Kamboja dan Thailand yang dalam tempo 1 tahun persoalannya tuntas. Ketika itu wilayah udara kedaulatan Kamboja karena negara dalam keadaan darurat perang berada dibawah otoritas penerbangan Thailand , dan setelah Kamboja merasa siap kemudian mengajukan ke ICAO, maka atas saran ICAO dapat diselesaikan saja antara kedua DGCA secara bilateral.
Jadi, persoalan FIR Natuna dan kepulauan Riau sudah menjadi persoalan yang gampang, persoalan yang sepele untuk dapat diselesaikan.
Persoalannya sekarang adalah tinggal kita mau atau tidak.
Saudara-saudara sekalian,
Dalam hal ini ada tiga hal yang kita butuhkan, yaitu kesamaan persepsi untuk dapat memperolah kesamaan sikap dan tindak.
Yang kedua penyelesaian seyogyanya harus focus pada masalah teknis penerbangan belaka yang tidak atau jangan dihubung-hubungkan dengan persoalan MTA, Millitary Training Area , DCA Defence Cooperation Agreement dan lain-lain. Selesaikan saja soal FIR Singapura, maka masalah-masalah lainnya akan secara otomatis mudah untuk dirundingkan. Kita kan bukan dua negara yang sedang bermusuhan. Point Yang penting disini adalah pengelolaan wilayah udara harus dilakukan oleh Sang Pemilik, bukan sama sekali oleh siapa yang mau menggunakannya. Sekali lagi oleh Sang pemilik wilayah sesuai dengan akte notaris, akte notarisnya adalah kovensi Chicago 1944 yang menyatakan kedaulatan negara di udara “komplit dan eksklusif”. Ini masalah yang serius berkait dengan Dignity and Pride sebagai Bangsa. Sekali lagi Konvensi Chicago 1944 yang menyatakan dengan jelas bahwa kedaulatan negara di udara adalah komplit dan eksklusif harus sama-sama dihormati. Harus ada mutual respect dalam hubungan antar negara, harus ada mutual understanding dan juga harus hadir mutual cooperation yang bermartabat. Harus ada satu platform yang setara dalam posisi antar bangsa. Agak aneh bin ajaib bila sebuah kawasan kedaulatan negara kita otoritas yang mengatur tata kelola penggunaannya berada di negara yang ingin menggunakannya, bukan pada negara pemilik yang sah. Ridiculous dan sangat sulit untuk bisa di terima common sense atau akal sehat, logic thinking. Itu saja. Indonesia dipastikan akan memfasilitasi dan membantu sepenuh hati negara tetangganya yang memiliki banyak keterbatasan antara lain tidak mempunyai wilayah udara yang cukup untuk bermanuver. Dengan semangat kekerabatan ASEAN, pasti kita dengan senang hati memberikan bantuan. Namun dalam hal kedaulatan sebagai bangsa , kiranya kita semua harus saling menghormati satu dengan lainnya. Harus menghormati siapa pemilik dan juga harus menghormati dan membantu siapa yang penuh dengan keterbatasan dan memerlukan bantuan.
Terakhir, diperlukan sikap yang terbuka dalam proses pengambil alihan FIR Singapura ini agar kita semua jelas melihat pokok persoalannya. Rakyat Indonesia pembayar pajak memililki hak untuk mengetahui perkembangan dari perjuangan bangsa untuk menuju posisi sebagai negara yang bermartabat dan berdaualat. Apabila memang ada masalah yang agak sulit diatasi dalam perjuangan ini sebaiknya dibuka saja secara transparan sehingga kita semua mengetahuinya dan paling penting adalah , mungkin kita dapat turut berkontribusi mencarikan the best solution. Kita harus bisa menghentikan “kekhawatiran” berlebihan dalam membicarakan masalah FIR SIngapura.
Kita patut bersukur dengan Pandemi Covid 19 yang telah membuka jalan memudahkan penyelesaian masalah kronis FIR Singapura menjadi tidak ada lagi yang akan mudah tersinggung, karena masalahnya telah menjelma mejadi sangat sederhana . Walaupun, sejatinya masalah ini memang masalah yang sederhana, akan tetapi sudah demikian lama di goreng-goreng dan di dramatisasi menjadi sebuah permasalahan yang rumit, permasalahan yang ribet.
Sekarang ini, Air Traffic yang nyaris idle tentunya menjadi cukup ditangani pada porsi Direktorat Perhubungan Udara saja, semoga.
Kasihan , bahwa selama ini, seperti telah diutarakan di awal tadi, bisa dibayangkan, satuan dan personil Angkatan Perang kita yang bertugas mengawal perbatasan negara, menjaga ibu Pertiwi dan Bapak Angkasa, menjaga kedaulatan negaranya, justru berhadapan dengan keterbatasan dikawasan rawan konflik seperti daerah selat malaka dalam kebebasan bergerak melakukan siskamling di halaman rumahnya sendiri.
Saudara – saudara sekalian, diluar semua itu memang tidak bisa pula dipungkiri bahwa selama ini terasa ada Reluctant atau Unwilling untuk menyelesaikan persoalan ini. Tidak jelas juga apa penyebabnya, mudah-mudahan saja, sekali lagi mudah-mudahan, bukan karena factor inferiority Complex, karena hal itu melekat dengan Dignity atau Martabat dan kebanggaan sebagai bangsa yang besar.
Mudah-mudahan juga, mudah mudahan tidak karena adanya “side interest” yang biasanya akan berujung pada sikap Koruptif.
Ayahnya pemain bola terkenal asal Kamerun Mbappe, mengatakan Corruption kill the dream of a nation.
Demikianlah saudara saudara sekalian, Pada akhirnya memang kesemua itu akan berpulang kepada masalah moral kredibiliti kita baik sebagai pribadi dan lebih dari itu moral kredibiliti dan dignity , kebanggaan sebagai bangsa. Bangsa Indonesia, bukan sebagai bangsa yang lain.
Sekian , terimakasih
Jakarta 10 September 2020