Dirgantara dunia dalam hal ini yang difokuskan adalah terutama sektor Industri Penerbangan. Sementara itu Industri Penerbangan yang banyak disoroti adalah Pabrik Pesawat Terbang, Maskapai Penerbangan, MRO, Bandara, Infrastruktur penunjang lainnya seperti ATC dan Diklat SDM Aviasi.
Corona Virus Covid 19 telah menghantam Industri penerbangan di seluruh dunia. Yang paling parah menderita dampak buruknya adalah Air Transportation system, jasa angkutan udara atau Maskapai Penerbangan dan Aircraft Manufacture atau Pabrik pesawat terbang. Kita akan mencermati pada dua sektor ini terlebih dahulu.
Dari banyak kajian tentang sampai kapan dampak yang parah ini dapat menjadi kembali normal, para ahli, analis dan pemerhati bidang penerbangan internasional meramalkannya akan membutuhkan waktu sekitar 3 sampai 5 tahun. IATA, International Air Transport Association yang markas besarnya di Montreal Kanada dengan Executive Office di Jenewa Swiss, sangat optimis bahwa pada tahun 2023 Global Air Transportation System sudah akan menjadi normal kembali. Sementara itu Lembaga S&P Global Rating untuk Financial Research & Analysis yang bermarkas besar di New York memprediksi tahun 2023 belum akan bisa pulih dan akan butuh waktu paling tidak 1 atau 2 tahun lagi untuk bisa kembali normal.
Indonesia : Negeri yang terletak pada posisi yang sangat strategis yaitu diantara dua benua dan dua samudera.
Negara yang berbentuk kepulauan – the biggest archipelagic state in the world. The longest Archipilagic state that spreading out along the equator line.
The most broken up nation in the world (terpecah terdiri dari sekian banyak pulau – selat – laut dalam).
Terdiri dari banyak kawasan pegunungan – mountainous terrain.
Dengan postur Letak dan Bentuk seperti itu , maka jaring perhubungan udara menjadi sangat penting bagi eksistensi Indonesia sebagai sebuah negara. Jalur Perhubungan Udara menjadi Conditio sine quanon – menjadi syarat mutlak. Adminlog, Administrasi dan Logistik tata kelola pemerintahan dan PSO Public Services Obligation
Dalam format yang seperti itu, maka Indonesia paling tidak membutuhkan :
Sebuah Maskapai Pembawa Bendera sebagai Duta Bangsa, simbol kebanggaan negeri yang menghubungkan kota-kota besar di Indonesia dan di Luar Negeri.
Sebuah Maskapai Penerbangan Perintis yang khusus bertugas menghubungkan kota-kota kecil dan terisolasi si segenap pelosok negeri.
Sebuah Maskapai Penerbangan Charter untuk memfasilitasi para investor dalam dan luar negeri.
Satu Maskapai Penerbangan Kargo untuk melayani alur lalulintas barang kebutuhan pokok dan logistik bagi proses pembangunan dalam negeri.
Dulu, kita sudah mengenal Garuda Indonesia sebagai Maskapai pembawa bendera, Merpati Nusantara Airlines sebagi maskapai penerbangan perintis dan Pelita Air Service sebagai maskapai penerbangan yang melayani Pertamina dan kontraktor minyak –tambang asing di Indonesia. Sementara itu belum terlihat sebuah maskapai penerbangan yang khusus melayani kargo, karena penanganan lalu lintas barang untuk semntara terasa sudah cukup dengan memanfaatkan maskapai penerbangan yang sudah ada. Memanfaatkan sisa load – ruang dari pesawat terbang yang menangkut penumpang.
Berikut, mari kita simak lebih jauh tentang bagaimana dinamika perkembangan maskapai penerbangan di Indonesia pada dua dekade belakangan ini :
Di awal tahun 2000-an telah muncul di Amerika Serikat dan Eropa sebuah model bisnis baru dalam pelayanan angkutan udara yang dikenal dengan “Low Cost Carrier”. Sebuah strategi marketing yang memanfaatkan kemajuan teknologi dunia penerbangan untuk dapat juga memfasilitasi masyarakat pengguna jasa angkutan udara dengan tarif yang terjangkau. Jasa angkutan udara yang sejauh itu dikenal sebagai miliknya kaum “the have” saja telah dikemas sedemikian rupa sehingga bisa juga memberikan pelayanan yang lebih efisien bagi kalangan yang tidak berkantong tebal. Jasa angkutan udara yang selama itu dikenal sebagai ruang yang glamour dan luxurious sehingga komunitasnya disebut sebagai kalangan “jet set” secara pelahan berubah bentuk atau bertambah segmen pasarnya. Segmen pasar yang dikenakan ongkos seperlunya saja sesuai dengan operating cost bagi penerbangan aman dan nyaman yang cukup, tidak berlebihan khusus dalam pelayanan bagi pelanggannya. Bisnis model yang memangkas ongkos-ongkos yang tidak begitu perlu untuk diberikan dalam pelayanan dan lebih melihat sisi efisiensi sebagai prioritas sarana standar transportasi atau alat angkut dalam pelaksanaan operasi penerbangan.
Tahun 2001 pasca terjadinya tragedi 911, maka dunia penerbangan anjlok lesu yang mengakibatkan banyak tersedia pesawat terbang dengan harga murah untuk dibeli dan atau disewa. Konon, bahkan ada perusahaan leasing yang memberikan banyak sekali kemudahan dalam kontrak sewa menyewa pesawat terbang, sampai dengan model yang memfasilitasi untuk melakukan pembayaran di belakang.
Momentum itulah yang antara lin membuat Indonesia bangkit dalam sektor jasa perhubungan udara. Maskapai maskapai baru bermunculan, menikmati harga murah dari sewa pesawat sekaligus meniru model bisnis baru yang disebut sebagai “low cost carrier”. Dimulai lah era tiket pesawat terbang yang murah. Demikian murahnya sehingga ketika itu pernah diributkan tentang tiket pesawat terbang yang lebih murah dari tiket kapal laut, kereta api, dan Bus Malam. Pada ketika itulah, tampilan para penumpang pesawat pun telah bergeser dari para penumpang yang berpakain perlente menjadi banyak pula para penumpang yang bersandal jepit. Aroma kabin pesawatpun berubah dari bau minyak wangi mahal menjadi bau keringat atau bau minyak angin anti mabok udara.
Perang tarif adu murah antar Maskapai tidak bisa dihindari, terutama dalam memperebutkan rute gemuk jalur domestik. Pada ketika itulah muncul regulasi aneh yaitu peraturan yang menetapkan tarif batas bawah dan batas atas dari harga tiket pesawat terbang. Sementara itu pula pertumbuhan penumpang per tahunnya meningkat drastis fantastis yang pada beberapa tahun bahkan dapat mencapai 10 hingga 15 persen.
Pertumbuhan penumpang berjalan terus ditandai dengan Bandara yang menjadi over kapasitas. Tumpahan penumpang di Cengkareng dilimpahkan ke Lanud Halim dengan judul optimalisasi Lanud Halim. Keputusan yang diambil tanpa membuat analisis atau diagnosa terlebih dahulu tentang mengapa terjadi over kapasitas di Cengkareng. Akibatnya adalah terjadi tabrakan pesawat terbang sipil komersial di Lanud Halim. Sibuk mengejar dan memelihara momentum pertumbuhan penumpang belaka dengan akibat terjadilah Over kapasitas di beberapa bandara antara lain Jakarta, Bandung, Jogyakarta dan Surabaya. Hal tersebut terjadi karena berkait dengan pertarungan rute gemuk penerbangan domestik.
Tidak berhenti disitu, upaya untuk terus menaikkan pertumbuhan penumpang juga telah memunculkan ide untuk membuka airways diselatan pulau Jawa tempat ruang udara kawasan latihan Angkatan Udara. Padahal penumpukan traffic yang terjadi adalah pada alur take off dan landing karena terbatasnya daya tampung Bandara yang dipaksakan. Sekali lagi sebuah solusi yang hanya berorientasi kepada jalan keluar saja tanpa melakukan penyelidikan terlebih dahulu mengenai apa yang menjadi penyebab tertumpuknya traffic pesawat saat take off dan landing di Bandara yang sudah padat tersebut. Pemerintah turun tangan dengan membangun beberapa bandara baru antara lain di Jogyakarta dan Kertajati. Hasilnya, mudah ditebak, Bandara Kertajati sampai sekarang ini masih kosong melompong.
Sebenarnya, realita yang terjadi adalah pertumbuhan dunia penerbangan yang asimetrik sifatnya dalam arti tidak diiringi dengan mempersiapkan infrastruktur penerbangan dan sdm yang mengawakinya. Terlihat sekali dengan permasalahan tentang isu kekurangan tenaga pilot. Diawalnya masalah kekurangan Pilot diatasi dengan mendatangkan tenaga Pilot dari Luar Negeri. Karena hal tersebut tidak dilakukan dengan sebuah perencanaan yang baik, maka tidak lama kemudian terjadi masalah kelebihan Pilot, dan menjadikan banyak sekali lulusan Sekolah Pilot yang menjadi pengangguran.
Kesemua itu adalah sebuah cerminan dari betapa lemahnya manajemen penerbangan secara nasional. Beberapa hal yang patut dicatat untuk bahan introspkesi adalah :
Terjadinya banyak kecelakaan pesawat terbang
Peringkat Keselamatan Penerbangan RI turun ke Kategori 2 FAA
Ban Uni Eropa
Tertangkapnya Pilot dalam kasus sabu sabu
Banyak Maskapai Penerbangan yang gulung tikar al MNA
Temuan ICAO tentang banyak hal yang tidak comply dengan Internasional Standard
Organisasi ATC terpecah-pecah
Lemahnya pengawasan karena kurangnya tenaga Inspektor
Dibentuknya Timnas EKKT
Perkembangan yang cukup positif terjadi di tahun 2017, RI dapat naik peringkat ke Kategori 1 FAA. Ban Uni Eropa selesai. Audit ICAO – Aviation Safety Level RI sudah mencapai “Above global average”.
Pertengahan tahun 2019 muncul isu naiknya harga tiket pesawat terbang. Maskapai yang tinggal sedikit dan relatif hanya terbagi 2 yaitu Garuda dan Lion Group telah dituduh kongkalikong dalam menentukan harga tiket.
Naiknya harga tiket : (sebenarnya harga tiket back to normal)
Perang harga tiket sudah usai, banyak maskapai bangkrut
Peak season bersamaan dengan naiknya kurs USD dan naiknya harga Avtur.
Dengan kategori 1, pengawasan relatif lebih ketat, peluang untuk melanggar aturan menjadi lebih sempit, beberapa cost tidak lagi bisa dihemat.
Ditengah kesibukan dunia penerbangan dan pemerintah mencari solusi kenaikan harga tiket , muncul pandemic covid-19 yang bedampak kepada Industri Penerbangan Global. Dapat dibayangkan betapa “hancurnya” industri penerbangan dalam negeri.
Permasalahan yang dihadapi sebagai akibat Covid-19 antara lain adalah diberlakukannya standar protokol kesehatan, pakai Masker, Jaga jarak dan Sering cuci tangan. Protokol kesehatan tersebut jelas sangat merugikan Maskapai Penerbangan dari segi bisnis. Demikian pula munculnya beberapa ketentuan dan regulasi baru terkait dengan protokol kesehatan dan persyaratan administrasi yang harus dipenuhi oleh para calon penumpang. Dengan regulasi yang standar, maskapai penerbangan hanya mampu memperoleh keuntungan yang marginal, bagaimana pula dengan sekian banyak tambahan regulasi berkait dengan protokol kesehatan. Animo para pengguna jasa angkutan udara menjadi sangat menurun, karena siapa yang mau berlama-lama di airport sampai lebih dari 3 hingga 4 jam untuk jarak terbang yang hanya 1 atau 2 jam saja, misalnya.
Pertanyaannya adalah akan (Kemana arah Dirgantara Indonesia)- Masa Depan Industri Penerbangan di Indonesia
Kita soroti sekarang, arah Dirgantara Indonesia pada dan ,pasca Covid-19 melalui Industri penerbangannya. Sektor yang selama ini selalu disoroti masyarakat luas dan banyak mempunyai pengaruh dalam irama dinamika pembangunan nasional dibidang kedirgantaraan adalah : Maskapai Penerbangan, Pabrik PesawatTerbang PTDI , MRO , Bandara , Infrastruktur penerbangan , ATC dan SDM bidang Aviasi.
Ujung tombak yang paling depan dan sangat menarik perhatian adalah Maskapai Penerbangan dan Pabrik Pesawat Terbang PTDI serta MRO. Khusus mengenai Maskapai Penerbangan tidak banyak perkiraan yang dapat diprediksi dengan batasan protokol kesehatan yang sangat bertentangan dengan pola operasi dari sebuah Maskapai dalam perspektif bisnis. Akan tetapi paling tidak, maka beberapa kajian para ahli yang telah dilakukan banyak pihak dan kesimpulan yang telah dibuat oleh IATA dapat menjadi rujukan. IATA menyimpulkan bahwa baru pada tahun 2023 penerbangan dalam konteks Global Air Transportation system sebagai bisnis dapat pulih kembali. Sementara S&P Global Rating sebuah lembaga financial research and analysis di New York meramalkan pemulihan akan memakan waktu lebih dari 3 tahun. Sistem perhubungan udara nasional dalam hal ini National Air transportation system di Indonesia adalah merupakan sub system dari Global Air Transportation system. Dengan demikian maka transportasi udara di Indonesia tidak akan jauh berbeda dengan prediksi IATA maupun S&P Global Rating, karena parameter yang dijadikan rujukan dalam mengantisipasi dan mengkaji dampak Covid – 19 relatif sama. Kesimpulannya jaring perhubungan udara di Indonesia dalam hal ini, terutama sekali Maskapai Penerbangannya baru akan mampu pulih dalam kurun waktu 3 sampai dengan 5 tahun.
Pabrik Pesawat Terbang PTDI. Untuk diketahui PTDI sudah cukup lama tidak berperan lagi sebagai sebuah pabrik yang menghasilkan pesawat terbang baru setelah memproduksi pesawat terbang CN-235. Tidak pula terdengar proses kaderisasi sdm yang mengawakinya dengan standar skill dan keahlian sebagaimana yang dibutuhkan oleh sebuah pabrik pesawat terbang. Demikian pula nasibnya dengan proses peremajaan peralatan standar yang harus melengkapi sarana bagi proses produksi rancang bangun pesawat terbang, seperti wind tunnel misalnya. Dicoretnya program N-245 dan R-80 dari Proyek Strategis Nasional adalah refleksi dari kekurang percayaan pemerintah dalam memandang potensi keberhasilan dari proyek tersebut. Hal ini diperkuat pula dengan apa yang tengah terjadi dengan proyek N-219 yang sudah sekian kali mundur dari jadwal perencanaan pada proses memasuki tahapan Production Line.
Dengan demikian , masa depan PTDI sebagai pabrik pesawat terbang yang diharapkan dapat menjadi andalan pada operasi penerbangan di dalam negeri cukup berat. Ditambah lagi dengan gejolak Covid-19, maka beban PTDI menjadi semakin berat. Tidak hanya itu, kasus yang melibatkan top manajemen PTDI di KPK semakin memperburuk posisi PTDI sebagai tulang punggung kedirgantaraan nasional
MRO , Maintenance Repair dan Overhaul yang sebenarnya memiliki potensi peluang pasar yang sangat menjanjikan, sampai dengan saat sebelum Covid-19 kondisinya masih belum mencapai posisi yang diinginkan. Kualitas output product dan ketepatan Delivery time masih terus membayangi disamping tentang harga yang dinilai masih belum kompetitif untuk mampu menempatkan MRO di dalam negeri sebagai primadona bagi sektor pemasukan uang negara . Disadari tentu saja beberapa hambatan birokrasi dalam hal pengenaan pajak bagi import spare parts pesawat yang sudah dibebaskan pemerintah, namun implementasi dilapangan ternyata tidaklah semudah yang dibayangkan banyak orang.
Beberapa titik kelemahan yang memerlukan perhatian khusus dalam pengelolaan bidang kedirgantaraan dapat di kemukakan antara lain adalah , belum adanya sebuah blue print, strategic long term master plan dibidang kedirgantaraan nasonal. Demikian pula halnya dengan kebutuhan akan kegiatan R & D bidang kedirgantaraan yang berkait langsung dengan Industri sehingga perencanaan menjadi lebih mudah untuk diwujudkan. Keberadaan Depanri sangat dibutuhkan. Sebuah badan yang memberikan bahan masukan kepada para pengambil keputusan agar kebijakannya dapat dan mudah di implementasikan. Mengalir dengan itu maka sudah waktunya menata ulang sistem pendidikan dan latihan di bidang dirgantara untuk dapat menghasilkan sdm yang dibutuhkan dan siap pakai. Terakhir, perlu dipikirkan tentang pengembangan visi pada masalah-masalah pertahanan keamanan negara dalam proses pengelolaan wilayah kedaulatan negara di udara.
Demikianlah gambaran sekilas dari kondisi Dunia Kedirgantaraan Indonesia ditengah dan pasca gelombang Pandemi Covid – 19.
Jakarta 14 Juli 2020
Chappy Hakim
Pusat Studi Air Power Indonesia