COVID-19 laksana seorang wasit yang tengah memberikan instruksi kepada dunia untuk masuk ke waktu jeda, pause atau istirahat sejenak. Betapa ampuhnya Sang Wasit menghentikan sejenak pertandingan yang tengah berlangsung dengan serunya. Keampuhan yang tiada tara, terlihat karena ternyata tidak hanya pertandingan, kompetisi atau apapun namanya semua yang tengah berlangsung di permukaan bumi telah “dipaksa” untuk berhenti sejenak.
Salah satu persaingan yang tengah berlangsung dengan seru adalah apa yang tengah terjadi di dunia penerbangan, berkait dengan perlombaan dalam memproduksi pesawat terbang angkut sipil komersial. Ketika dunia penerbangan sipil dikuasai oleh produk Amerika Serikat dengan pesawat terbang raksasa Jumbo Jet Boeing-747, maka negara-negara Eropa berusaha untuk bersatu padu mengkonsolidasi para pakarnya untuk menjawab tantangan itu. Melihat antisipasi dari kesuksesan B-747 maka diperkirakan telaahan staf para pakar penerbangan sampai pada sebuah kesimpulan bahwa Eropa harus sanggup membuat pesawat terbang yang lebih cepat dari B-747 dan atau juga membuat pesawat terbang yang lebih besar dari B-747. Hanya itulah yang dapat membuat Eropa kemungkinan akan sanggup untuk bersaing dengan merejalelanya B-747 buatan Amerika Serikat di pasar dunia.
Dalam waktu yang relatif singkat, konsorsium negara-negara Eropa yang bergelut dalam bidang teknologi penerbangan berhasil memproduksi 2 jenis pesawat terbang yang lebih cepat dan yang lebih besar dari B-747. Konsep dasar dari produk ini tentu saja adalah untuk menguasai pasar jejaring Angkutan Udara Global untuk orang maupun barang. Maka lahirlah pesawat terbang Concorde, pesawat angkut penumpang yang mampu melesat lebih dari 2 X kecepatan suara. Kecepatan yang jauh lebih cepat dari pesawat terbang B-747 yang hanya mampu terbang dengan kecepatan dibawah 1000 Km perjam. Concorde pesawat terbang angkut supersonic buatan Eropa itu mampu terbang dengan kecepatan lebih dari 2000 Km perjam. Concorde mengalahkan B-747 dengan mutlak dari sisi kecepatan jelajah pesawat angkut penumpang. Sayangnya adalah ternyata Concorde hanya mampu beroperasi dengan sukses sejak penerbangan pertama di bulan Maret tahun 1969 dan mulai beroperasi di tahun 1976 hingga Oktober tahun 2003. Concorde yang hanya di produksi sebanyak 20 pesawat (B-747 sudah diproduksi lebih dari 1500) itu hanya mampu bertahan selama 27 tahun saja. Kesimpulan sementara, dengan berbagai alasan dan argumentasi, maka ternyata orang belum saatnya untuk memilih faktor kecepatan tinggi untuk bepergian.
Produk fenomenal berikutnya setelah menghasilkan pesawat terbang angkut penumpang yang memecahkan rekor dengan kecepatan tinggi, Eropa juga kemudian berhasil dengan sukses memproduksi pesawat terbang sipil komersial yang lebih besar dari pesawat Boeing – 747. Pada tahun 2005, Airbus berhasil menerbangkan pesawat A-380 pesawat terbang angkut raksasa untuk penerbangan sipil komersial yang sering disebut sebagai pesawat terbang Wide-body airliner, double deck aircraft. A-380 sudah berhasil terbang operasional di tahun 2007. Ruang kabin dari pesawat bertingkat dua ini mencapai 550 meter persegi, lebih luas dari 10 Rumah KPR type 45 dan 40% lebih luas dari ruang kabin B-747. Perbedaan kapasitas penumpang yang dapat diangkut A-380 dibanding dengan B-747 adalah lebih dari 150 penumpang. Dengan versi All Economy Class, perbedaannya bisa mencapai sekitar 200 orang. Bernasib sama dengan Concorde, kayaknya A-380 agak sulit untuk dapat bertahan. Baru berhasil di produksi sebanyak 242 pesawat dan terlihat telah banyak maskapai yang mulai menghentikan penerbangan dengan A-380 dan juga menunda pesanan pembelian pesawat Super Jumbo ini. Sekali lagi, ternyata untuk sementara waktu tidak banyak orang yang akan memilih terbang dengan pilihan menggunakan pesawat terbang yang berukuran raksasa.
Kegagalan dari Concorde dan A-380 dialami pula akhirnya oleh pesawat terbang B-747 yang dalam hampir dua dekade ini sudah mulai disingkirkan oleh pesawat-pesawat terbang jarak menengah dan jauh yang irit bahan bakar. Sebuah perkembangan menarik dari munculnya pesawat pesawat terbang untuk jarak menengah dan jarak jauh yang hanya didisain dengan 2 mesin saja yang sekaligus mesinnya sendiri tampil dengan performa irit bahan bakar.
Demikianlah ternyata persaingan tidak memilih tentang kecepatan tinggi dan kapasitas angkut raksasa akan tetapi bergeser pada performa mesin yang irit bahan bakar. Itu sebabnya kemudian belakangan ini persaingan yang terjadi adalah antara Pesawat terbang B-737 dan Airbus A-320 dengan segala variannya. Dalam pertarungan ini, maka justru yang terlihat dipermukaan berhadapan dengan tantangan berat adalah B-737 Max 8. Dua kecelakaan fatal beruntun yang terjadi pada rentang waktu yang sangat dekat telah membuat Boeing untuk sementara tidak dapat melanjutkan lagi produk unggulan yang hemat bahan bakar B-737 Max 8 yang dipandang bermasalah dengan persoalan teknis berkait dengan pengembangan performa mesin yang irit bahan bakar. Ditengah-tengah turbulensi tuntutan tanggung jawab Boeing terhadap produk B-737 Max 8 muncullah COVID-19 yang menghentikan tidak hanya operasional penerbangan global dan produksi pesawat terbang dunia, akan tetapi juga menghentikan hampir setiap aspek kegiatan kehidupan sehari-hari mahluk di permukaan bumi ini. COVID – 19 tampil sebagai wasit yang memberi aba-aba untuk jeda, pause, istirahat sejenak.
Semoga Wabah COVID-19 dapat cepat berlalu…….Amin.
Jakarta 27 Maret 2020 (tulisan : dari berbagai sumber ; gambar : google)
Chappy Hakim
Pusat Studi Air Power Indonesia (PSAPI) / Indonesia Center for Air and Space Power Studies (ICAP)
2 Comments
Terimakasih atas kejelian tulisannya p. Chappy, salut dan appreciate, Semoga terus menulis untuk memberikan pencerahan pada kita. Kiranya wasit covid 19 segera keluar lapangan dunia ini, Tetap sehat dan semangat.
Terimakasih
CH