Kecelakaan pesawat terbang yang sering terjadi belakangan ini telah membuat banyak orang menjadi takut terbang. Banyak teman saya bertanya tentang hal ini.Saya selalu menjawab bahwa pesawat terbang adalah, moda angkutan yang paling aman didunia. Banyak data dari hasil survey yang menyatakan tentang hal ini. Sekali lagi, pesawat terbang adalah moda angkutan yang paling aman. Hanya saja perlu ditambahkan disini, bahwa “aman” baru akan diperoleh apabila pengoperasian suatu penerbangan mengikuti semua aturan, ketentuan dan regulasi yang ada.
Dalam penerbangan, ada beberapa hal penting yang dapat diuraikan disini untuk memudahkan pemahaman tentang betapa amannya bepergian dengan pesawat terbang. Yang pertama adalah Pesawat Terbang nya itu sendiri. Pesawat terbang dibuat dari satu rancang bangun yang telah mendapatkan pengakuan atau pengesahan dari pihak berwenang, namanya “approved design”. Kemudian “approved design” ini dibuat dan dilakukan rangkaian panjang dari bermacam-macam ujicoba termasuk dengan menggunakan “wind tunnel” atau terowongan angin. Setelah memenuhi syarat, biasanya memakan waktu bertahun-tahun, dibuatlah pesawat terbang tersebut dan kepada pesawat ini diberikan sertifikat yang namanya “production certificate”.
Selanjutnya, pihak yang menggunakannya dalam hal ini operator atau maskapai penerbangan diwajibkan memiliki C of A untuk pesawat yang akan dioperasikannya. C of A adalah Certificate of Airworthiness yang harus diperbaharui setiap tahun. C of A ini adalah untuk memastikan bahwa pesawat terbang itu “conformed to type design” dan “safe for operation”, yaitu masih dan harus selalu sesuai dengan kondisi yang telah ditentukan pabrik dan aman untuk dipakai. Salah satu ujud nyata dari kedua persyaratan itu adalah apa yang kita kenal dengan ‘maintenance” atau siklus pemeliharaan. Apabila maskapai penerbangan tersebut sudah memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut dan juga beberapa ketentuan yang diberlakukan barulah perusahaannya berhak memperoleh “AOC” atau Air Operator Certificate.
Berikutnya adalah orang yang menerbangkannya, yaitu penerbang atau pilot. Pilot dalam hal ini harus memenuhi dua syarat yaitu, “basic requirement” dan “operational requirement“. Persyaratan mendasar adalah penerbang itu, selain harus sehat persyaratan fisik tertentu (antara lain tidak buta warna) dan sehat rohani, adalah lulusan dari sekolah penerbang yang diakui, dan selain itu dia juga harus memenuhi syarat-syarat lainnya. Antara lain, bila untuk menjadi co pillot harus memenuhi syarat jumlah jam terbang tertentu, demikian pula untuk menjadi Captain Pilot atau “pilot in command“ harus memenuhi syarat jumlah jam terbang tertentu pula. Masih ada lagi, yaitu para penerbang ini pada setiap 6 bulan sekali harus melakukan tes ulang kesehatan badan dan menjalani latihan terbang “profisiensi” dan “simulator” untuk mengulang keterampilannya dalam terbang yang “basic’ sifatnya dan juga mengenai kondisi keadaan darurat atau “emergency procedures“ . Ini semua harus dilakukan sebagai persyaratan untuk dapat menerbangkan pesawat, selain tentunya harus memiliki “pilot licence”. Inilah bedanya penerbang dengan sopir angkot. Supir angkot mengemudi di darat dan penerbang di udara. Sopir angkot cukup untuk hanya memperoleh SIM saja, sementara seorang penerbang harus dan masih dituntut banyak persyaratan-persyaratan lainnya. Jadi apabila ada orang yang tidak atau belum mengetahui bedanya supir angkot dengan penerbang, disinilah mungkin dapat dipahami perbedaan yang seperti bumi dan langit itu.
Disamping itu ada pula sarana penunjang atau infra struktur seperti “airport” atau “aerodrome”, alat bantu navigasi dan ATC atau Air traffic Control. Kesemua ini pun ada persyaratan-persyaratan tertentu yang harus dipenuhi.
Pesawat terbang, Pilot dan seluruh infra struktur diharuskan memenuhi persyaratan keamanan terbang seperti yang tercantum dalam regulasi yang dikeluarkan oleh ICAO, International Civil Aviation Organization. Jadi Penerbangan , karena sifatnya yang sangat internasional, harus tunduk kepada hukum internasional. Republik Indonesia sebagai negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, telah menandatangani “Chicago Convention” yang berarti secara otomatis tunduk kepada semua peraturan yang dikeluarkan oleh ICAO sebagai badan yang bernaung dibawah PBB, dalam urusan penyelenggaraan penerbangan. Untuk “contracting state“, negara anggota ICAO, termasuk Republik Indonesia maka pemerintah negara yang bersangkutan dalam hal ini pemerintah RI ditugaskan bertindak sebagai Regulator atau Otoritas Penerbangan yang bertanggung jawab terhadap dipatuhinya seluruh aturan, ketentuan dan regulasi yang dikeluarkan oleh ICAO. Dengan demikian maka seluruh Maskapai penerbangan, Penerbang, pengelola infra struktur penerbangan, seluruhnya berada dibawah pengaturan dan pengawasan Pemerintah , dalam hal ini Departemen Perhubungan RI.
Secara Internasional, dalam waktu berkala yang ditetapkan sesuai program kerjanya, FAA Federal Aviation Administration, badan otoritas penerbangan Amerika Serikat, melakukan penilaian terhadap seluruh anggota ICAO apakah mematuhi atau tidak standar keamanan terbang yang telah ditentukan. FAA sudah menjadi badan dunia yang banyak dijadikan panutan diseluruh dunia, karena kredibilitasnya yang tinggi dalam masalah pengawasan dan juga sebagai otoritas penerbangan dari negara yang paling banyak memproduksi pesawat terbang angkut di dunia ini. Secara berkala mereka mengeluarkan publikasi dari hasil pengawasan dan penilaiannya yang bernaung dalam satu perencanaan dan dikenal sebagai IASA atau International Aviation Safety Assesment Program. Dari penilaian dan pengamatannya, maka negara-negara anggota ICAO dibagi untuk masuk menjadi 2 kategori. Kategori 1 yang berarti “meets ICAO safety standards” yang berarti aman atau “safe” dan Ketegori 2 yang disebut sebagai “does not meet ICAO safety standards” yang berarti tidak aman atau “unsafe”.
Agak kurang beruntung bagi Republik Indonesia, telah lebih kurang dua tahun ini sampai dengan publikasi terakhir yang dikeluarkan FAA pada tanggal 25 bulan 9 tahun 2008, Indonesia berada di Kategori 2 alias “tidak aman”. Ini mungkin yang menyebabkan kita semua menjadi “takut terbang”? Dua kecelakaan dalam dua minggu pada dua pesawat yang sama jenisnya serta dari maskapai penerbangan yang sama seolah membenarkan apa yang telah menjadi penilaian dari FAA selama ini.
Harus diakui bahwa pekerjaan rumah membenahi industri penerbangan nasional, masih banyak yang musti diselesaikan. Tidak hanya tentang pesawat terbangnya, akan tetapi juga terhadap para penerbang dan maskapai penerbangan terkait yang bermuara pada manajemen Air Lines yang bersangkutan. Demikian pula yang menyangkut infra struktur (aerodrome, alat bantu navigasi dan ATC) yang masih berada dibawah standar internasional . Dan juga kredibilitas otoritas penerbangan nasional yang masih memerlukan penyempurnaan disemua lini.
Tugas kita semua tentunya untuk membantu agar seluruh pekerjaan besar ini dapat diselesaikan dengan baik , agar harkat dan kehormatan Indonesia dibidang penerbangan di panggung global dapat terangkat kembali.
Mudah-mudahan.