Pabrik Pesawat Terbang Boeing secara resmi telah memutuskan untuk menghentikan produksi B-737 MAX 8, menyusul kecelakaan fatal yang dialami pesawat tersebut di Indonesia dan di Ethiopia. Salah satu yang menjadi akar masalahnya adalah MCAS (Maneuvering Characteristic Augmentation System) yang berkait dengan pengembangan sistem otomatisasi kendali pesawat terbang modern di era digital ini. Dari banyak pemberitaan terkesan bahwa sistem kendali pada pesawat MAX 8 ternyata tidak diketahui keberadaannya serta prosedur penanganannya oleh para Pilot. Beberapa pihak, termasuk asosiasi Pilot di Amerika Serikat bahkan cenderung telah “menuduh” bahwa pihak Pabrik menyembunyikan sistem baru yang dikembangkan dan diterapkan dalam pesawat MAX 8. Tidak begitu jelas tentang hal ini karena sangat teknikal sekali untuk dapat membahasnya di forum yang terdiri dari sebagian besar orang awam.
Yang dapat dipetik pelajaran disini adalah, bahwa sangat jelas untuk dapat diduga, bahwa ternyata proses penyempurnaan dari sistem otomatisasi kendali pesawat terbang yang dilakukan Boeing (dalam hal ini MAX 8) tidak atau kurang melibatkan para Pilot yang nantinya akan mengoperasikan sistem kendali pesawat terbang dimaksud. Paling tidak kesan itu menjadi sangat menonjol dari merujuk pada banyak pemberitaan yang mendiskusikan masalah MCAS tersebut.
Berikut ini, tidak bermaksud untuk membandingkan antara Boeing dengan Airbus, akan tetapi sekedar melihat saja sejenak dengan apa yang pernah terjadi di pabrik Pesawat Terbang Airbus puluhan tahun lalu. Ketika itu di akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970 Garuda Indonesia berniat untuk membeli pesawat terbang Airbus A– 300. Dalam proses perundingan untuk pengadaan pesawat Airbus tersebut Wiweko sang Direktur Utama Garuda Indonesia ketika itu melontarkan gagasan bagi pesawat Jumbo Jet yang hanya di awaki dua orang saja agar menjadi lebih efisien. Sebuah proses yang tidak mudah, akan tetapi kemudian berhasil dibentuk tim bersama Garuda dengan pihak Airbus untuk mewujudkan Pesawat Jumbo berawak 2 orang yang kemudian dikenal dengan sebutan Forward Facing Crew Cockpit (FFCC). Tidak mudah untuk dapat meyakinkan pabrik sekelas Airbus untuk merubah disain kokpit bagi produk pesawat terbangnya yang baru. Disinilah istimewanya Wiweko seorang Indonesia yang selain berpengalaman dalam mengembangkan penerbangan sipil komersial di Burma pada era kemerdekaan dan memiliki kemampuan terbang seorang diri dengan pesawat Beechcraft dari pabriknya di Wichita Kansas Amerika Serikat menembus samudera pasifik ke Jakarta. Ia juga telah berhasil merancang pesawat terbang tanpa mesin di awal tahun kemerdekaan RI. Puncak prestasinya adalah berhasil meyakinkan dan mempengaruhi Pabrik Pesawat Terbang sekelas Airbus untuk mau bekerjasama dalam satu tim dan menghasilkan pesawat Jumbo Jet yang hanya dikendalikan 2 orang saja.
Tidak saja Airbus yang awalnya menentang ide ini, akan tetapi juga FAA dan banyak otoritas penerbangan lain yang tidak setuju dengan ide tersebut atas nama Aviation Safety. Yang menakjubkan adalah setelah Aribus dan Indonesia mengoperasikan sistem 2 awak kokpit bagi pesawat terbang berbadan lebar, maka kini pada kenyataannya seluruh dunia mengakui bahwa FFCC adalah “the best Cockpit design ever”. Kokpit terbaik yang pernah dirancang untuk pesawat terbang berbadan lebar. Sebuah karya anak bangsa yang patut dibanggakan.
Berangkat dari tata kerja tim gabungan Airbus dan Garuda Indonesia, maka cikal bakal dari modernisasi sistem kendali pesawat terbang yang dilakukan ketika itu memang mengharuskan untuk mendengarkan terlebih dahulu apa yang diinginkan oleh Pilot dalam terbang ber 2 saja pesawat sekelas Jumbo Jet. Tentu saja dalam hal ini dalam pola rancang bangun sistem otomatisasi sistem kendali pesawat terbang berkait dengan menghilangkan peran “flight engineer” di kokpit yang berarti penambahan beban kerja bagi Pilot. Dipercaya bahwa dengan bermula kepada sebuah mekanisme pembaruan sistem otomatisasi kendali pesawat terbang modern yang diawali dengan mendengarkan terlebih dahulu pendapat dari Pilot yang akan menerbangkannya, kemudian terbangun budaya standar dalam setiap tahap penyempurnaan penyemprnaan selanjutnya yang akan dilakukan oleh Airbus terutama dalam hal penyempurnaan sistem otomatisasi kendali pesawat terbang yang baru. Kultur untuk mengikut sertakan Pilot dalam hal modernisasi sistem kendali pesawat terbang dalam kerangka menyongsong kemajuan teknologi modern. Mungkin hal inilah yang kurang diterapkan oleh pihak Pabrik Pesawat Boeing, bila merujuk kepada apa yang tertulis dalam pemberitaan di media massa belakangan ini, khusus tentang MCAS.
Apapun itu, minimal ada pelajaran yang dapat dipetik dari berhentinya produksi pesawat unggulan Boeing B-737 MAX 8. Untuk hal yang lebih teknis tentu saja akan memberikan persepsi berbeda, akan tetapi setidaknya gambar besar yang terlihat belakangan ini adalah lebih kurang demikian adanya. Yang tidak kalah penting pula adalah kemudian kita dapat diingatkan kembali tentang betapa tinggi prestasi yang telah dicapai oleh seorang Wiweko bagi perkembangan dunia kedirgantaraan di permukaan bumi ini. Sebuah pencapaian spektakuler dari anak bangsa yang kini telah beristirahat dalam keabadian di makam sederhana di Jeruk Purut Jakarta Selatan. Alfatihah untuk bapak Wiweko insan Dirgantara yang gagah berani dan telah mempersembahkan nama harum bagi Ibu Pertiwi dan Bapak Angkasa………Indonesia……. di teater International Aviation.
Jakarta 28 Desember 2019, 1310wib
Chappy Hakim
Pusat Studi Air Power Indonesia.
2 Comments
Dalam konteks B737 Max 8, memang seharusnya pabrik a/c setiap akan meluncurkan produk barunya melakukan diskusi yg lbh intens dgn a/l, agar jelas para pilot di a/l (yg mungkin berminat) utk mempersiapkan training (product knowledge & turunannya, khususnya yg berkaitan dgn kesiapan mengoperasikannya krn prerequisite yg diperlukan), juga utk orang2 maintenance, dan utk company a/l lbh kpd mengevaluasi seberapa besar COMMONALITY yg didisain oleh pabrik a/c yg dpt signifikan menekan operating cost. Atau dalam praktek yg lazim dlm hubungan pabrik a/c dgn a/l, keberadaan AWG (airline working group) agar lbh intens, jangan ada kesan “sombong” dari pihak pabrik a/c.
Dalam konteks FFCC Airbus B4 yg pertama kali masuk jajaran armada GA, betul sekali bgmn alm pak Wiweko sangat “keras” dgn rencananya….(kasarnya) “barang di ente, duit di ane…kalo mau dibeli…ikut maunya GA dgn FFCC dan itu a/c hanya mau dipakai “daylight flight” jd kurangin semua yg biasa utk “night flt”, jadi Unit Cost makin berkurang. Itu Mr. Winkleman (maaf kalo salah tulis) sbg orang Airbus yg biasa bicara dgn alm pak Wiweko, bolak balik France-Ind’sia (JKT) utk menggolkan pembelian AB4 oleh GA dgn disain FFCCnya. Pada saatnya thn 1982an AB4 dtg, di skedul antara lain JKT-MES p.p., kita buat kelas bisnis dgn tarip 30-35 % diatas ekonomi, dgn kursi dan service yg standard ekonomi, dan tokh laku keras…. kan yg duduk di depan gak bisa liat kebelakang krn di tutup gordijn…..kutipu kauuu…..tapi pax-nya bilang “ini medan bung…..” hehehe….
Dengan segala hormat.
Judul yang diangkat kurang mencerminkan isi uraian
Tantangan di Dunia Penerbangan saat ini dan ke depan adalah muatan Automation. Dalam berbagai sisinya. Belum lagi membayangkan implementasi Artificial Inteligent pada pesawat masa depan.
Implementasi siatem otomasi secara masive akan menjadi persoalan tersendiri. Pilot yang bertanggungjawab atas penerbangannya akan cenderung terbuai oleh layanan otomasi. Hal ini hanya akan teratasi dengan penguasaan teknis yang intense disertai pemahaman yang tepat atas MAN/MACHINE INTERACTION.
Bahwa betapapun canggihnya mesin otomasi, ia tetap saja TOOL bagi Pilot. Pilot tetap menjadi MASTER
Hanya dengan itu, maka peningkatan efisiensi dapat dicapai dengan tetap menjaga safety
Tabik
Capt. Noor Wahjudie