(Gambar Google)
Dalam dua sampai tiga dekade belakangan ini, angka kecelakaan pesawat terbang sudah jauh menurun sebagai akibat dari kemajuan teknologi penerbangan yang sangat pesat. Akan tetapi, sejak 10 tahun belakangan telah terjadi beberapa kecelakaan tragis pesawat terbang produk teknologi mutakhir yang sulit dipercaya. Dua kecelakaan fatal terakhir yang dialami Lion Air dan Ethiopian Airlines telah mengundang tanda tanya besar dari konsumen pengguna jasa angkutan udara diseluruh dunia. Ternyata kemajuan teknologi dalam dunia penerbangan yang berjalan sangat cepat itu telah memperlihatkan betapa peran human factor menjadi sangat dominan dalam hal terjadinya kecelakaan.
.
(Gambar : Google)
Tiga kecelakaan pesawat terbang modern sebelum tragedi Lion Air dan Ethiopian Airlines menunjukkan fenomena menarik dari hasil investigasi yang telah dilakukan tentang penyebab dari terjadinya kecelakaan fatal pada pesawat terbang produk teknologi mutakhir. Ketiga kecelakaan tersebut adalah peristiwa Turkish Air yang crashed saat menjelang mendarat di Schippol Amsterdam, Air France 447 yang masuk laut di perairan Atlantik dan Asiana Airlines yang menabrak dinding landasan saat akan mendarat di San Fransisco. Dari hasil penyelidikan tentang penyebab ketiga kecelakaan tersebut terdapat benang merah sama yang menyebutkan mengenai gejala automation addiction dan lack of knowledge Pilot terhadap Computer Flight Management system.
Khusus mengenai Pilot Automation Addiction, telah dilakukan riset cukup mendalam antara lain di IOWA University yang disponsori oleh NASA. Riset menyebutkan tentang ketergantungan yang berlebihan dari Pilot terhadap system kendali otomatis pesawat terbang telah berakibat turunnya keterampilan Pilot dalam menerbangkan pesawat terbang secara manual. Pilot telah berkurang basic flying skill nya dalam hal terbang manual karena terlalu menggantungkan kepada sistem otomatis kendali pesawat terbang modern.
Tentang lack of knowledge Pilot terhadap Computer Flight Management system, belum terdengar ada studi yang mendalam untuk menganalisisnya. Kesimpulan sementara dari ketiga kecelakaan yang terjadi dapat dikatakan bahwa kecepatan laju modernisasi teknologi penerbangan telah membuat metoda education and training bagi awak yang akan mengoperasikannya tertinggal. Muncul gap atau kesenjangan dari kecepatan laju kemajuan teknologi dengan penyesuaian metoda pendidikan dan latihan bagi sdm yang akan mengawakinya. Kesenjangan inilah yang telah membuka peluang terhadap kemungkinan terjadinya kecelakaan pesawat terbang.
Pada kasus dua kecelakaan pesawat Boeing 737-8 Max, terbukti bahwa selain terjadi gap atau kesenjangan dari laju kemajuan teknologi penerbangan dengan metoda pendidikan dan latihan sdm yang akan mengawakinya, ternyata terdapat faktor lain yang muncul belakangan. Faktor itu adalah kurang adanya komunikasi antara pabrik pembuat pesawat dengan operator dan atau Maskapai Penerbangan dalam hal ini para Pilot dan Teknisi calon pengguna di lapangan. Kasus Boeng 737 Max 8 pada akhirnya telah memaksa pihak pabrik dan juga otoritas penerbangan untuk melakukan komunikasi yang lebih intens dengan user dalam hal ini para Pilot dan Teknisi yang akan mengawakinya di lapangan. Pola laju kemajuan teknologi yang diterapkan dalam dunia penerbangan terutama pada sistem kendali pesawat terbang, mau tidak mau memang harus dikomunikasikan jauh lebih awal pada sebelum pesawat terbang beroperasi. Kiranya kasus B-737 Max 8 telah memberikan pelajaran yang sangat mahal untuk dibayar dalam proses modernisasi teknologi pesawat terbang. Realitanya, perlombaan untuk menerapkan mesin pesawat terbang yang irit bahan bakar telah menelan korban ratusan nyawa. Semoga kedepan hal tersebut tidak terulang kembali.
Seattle 15 November 2019
Chappy Hakim
Pusat Studi Air Power Indonesia