Saudara-saudara Sekalian,
Perkenankanlah saya memberikan gambaran terlebih dahulu tentang mengapa masalah FIR, dalam hal ini masalah pengelolaan ruang udara dan antariksa atau “air and space management” belakangan ini menjadi begitu mengemuka dalam kontestasi hubungan antar bangsa sekaligus menjadi masalah yang sangat penting dan bahkan menjadi pertaruhan “hidup-mati” bagi eksistensi sebuah negara.
Saudara-saudara sekalian,
Dengan kemajuan teknologi penerbangan yang sangat cepat sekali, sejak diterbangkannya pesawat terbang bermesin pertama oleh Wright Bersaudara pada tanggal 17 Desember 1903 maka dunia yang begitu luas telah menjadi “sempit”, telah menjadi “dekat”, sekaligus telah menjadi “rawan”. Mekanisme perang telah berubah drastis menjadi “perang total” karena tidak ada lagi lokasi yang dapat dijadikan tempat persembunyian. Pada saat yang bersamaan putaran roda ekonomi menjadi tidak bisa terbendung berkembang secara “global” dan “massif”. Perkembangan Teknologi Dirgantara telah menjadikan aspek “prosperity” lebih-lebih aspek “security” dalam konteks komunikasi global menjadi “jauh lebih tajam” dibandingkan pada era sebelumnya.
Itulah sebabnya, maka negara-negara didunia telah dipaksa untuk menerima “nasib” nya masing-masing sesuai dengan “seberapa luas wilayah udara yang dimilikinya atau dapat dikuasainya”. Logika yang terbangun disini, maka negara kecil pasti “hanya” memiliki wilayah udara yang “sempit”, sementara negara yang besar otomatis akan memiliki wilayah udara yang “luas”. Sebuah realita yang sulit dihindari karena secara internasional logika yang berkembang ini telah didukung oleh dasar hukum Internasional jauh sebelum perkembangan teknologi modern belakangan ini. (Konvensi Chicago 1944 dan konvensi – Undang-Undang, ketentuan serta aturan-aturan turunannya).
Kesimpulan awal dari uraian ini adalah, sebuah kenyataan bahwa dengan kemajuan teknologi yang membuat semakin tajamnya aspek “security” dan “prosperity” yang banyak ditentukan oleh faktor “air and space management”, faktor pengelolaan wilayah udara kedaulatan yang dimilikinya, maka negara-negara kecil akan sangat tergantung terhadap atau kepada negara-negara besar dalam upaya menuju ke cita-cita yang ingin dicapainya. Bukan sebaliknya. Itu sebabnya, maka negara-negara kecil yang hanya memiliki ruang udara yang sempit selalu berusaha melebarkan ruang geraknya dengan berbagai macam cara dan “mati-matian” sifatnya, karena mereka menginginkan atau memperjuangkan dua hal penting bagi negerinya yaitu “rasa aman” dan “kemakmuran bangsanya”. (banyak contoh tentang hal ini).
Saudara saudara sekalian,
Berikut ini mari kita sama sama mencermati tentang FIR atau Flight Information Region. FIR adalah sebuah terminologi atau istilah yang banyak digunakan dan berada dalam lingkup Ilmu Pengetahuan tentang pengelolaan ruang udara berkait dengan operasi penerbangan. Sebuah mata ajaran yang diberikan lebih kurang dalam kurun waktu 1 semester di lembaga pendidikan “Air Traffic Controller” atau Pengatur Lalu Lintas Udara, dan di “Flying School” atau Sekolah Pilot. Sebuah istilah yang sangat teknis melekat dalam konteks prosedur sistem operasional penerbangan.
Dengan demikian, kiranya yang dapat mengerti dengan baik dan mampu menghayati makna dari FIR itu “hanya” para Pengatur Lalu Lintas Udara dan para Pilot. Diluar dari kedua profesi tersebut, dengan beberapa pengecualian, maka menjadi “agak sulit” untuk dapat bisa mengerti dan menghayati tentang apa itu FIR dengan segala hal yang mempengaruhinya. Tanpa sama sekali bermaksud “merendahkan” mereka yang belakangan ini banyak berbicara tentang FIR, sebagian besar telah “sangat keliru” mengutarakannya. Kekurang pahaman tentang ini telah menyebabkan meluasnya kekeliruan tentang arti dan makna dari FIR. Bahkan dalam titik tertentu menjadi “sangat jauh melenceng” yang berpotensi memunculkan “salah tafsir” atau membentuk pemahaman yang “misleading”. Namun hal tersebut dapat dipahami dan dimaklumi karena materi ajaran 1 semester keluar dari mereka yang bahkan sangat awam terhadap permasalahan teknis prosedur operasi penerbangan. Bagi Pilot dan ATC sekalipun yang pengalaman jam terbangnya terbatas, akan sangat berbeda pemahamannya tentang FIR yang berkaitan dengan persoalan pengelolaan wilayah udara dalam hubungannya dengan operasi penerbangan. Belum lagi berbicara hubungannya masalah yang berkait dengan penerbangan sipil dan operasi penerbangan militer. Masalah penerbangan sipil komersial dengan operasi penerbangan dalam konteks “National Air Defence System”. Sekali lagi amat sangat dipahami dan dimaklumi pada masa belakangan ini muncul banyak sekali yang berkomentar tentang FIR dengan didasari atau dilandasi latar belakang pengetahuan yang sangat terbatas. Kadang, mohon maaf tidak bermaksud melecehkan menjadi agak “janggal” untuk menghindarkan dalam menggunakan kata “lucu” terdengarnya. (banyak contoh yang tidak usah disebutkan disini untuk menjaga etika forum diskusi)
Saudara-saudara Sekalian Yang Saya Hormati,
FIR baru saja muncul dipermukaan dan mengundang pembicaraan masyarakat luas sejak awal tahun 2000-an. Bahkan dapat dikatakan bahwa banyak orang baru mulai tahu tentang FIR pada tahun 2015, ketika Presiden Republik Indonesia mengeluarkan instruksi kepada jajarannya dengan ujung tombak Kementrian Perhubungan untuk segera mengambil alih FIR Singapura. Sebuah Instruksi yang sangat “mengagetkan” berbagai pihak, bahkan Menteri Perhubungan sendiri menyatakan beberapa waktu sebelum Instruksi Presiden keluar, bahwa masalah FIR belum akan menjadi prioritas dari program kerja Kementrian Perhubungan dengan alasan antara lain bahwa kita belum siap SDM dan Dana untuk hal tersebut. Sayangnya tidak pernah terdengar kapan akan menjadi prioritas program kerja, dan upaya apa yang akan di lakukan dalam hal mempersiapkan SDM dan Dana untuk persoalan FIR Singapura. Jadi dalam hal ini masalah FIR masih dalam kategori “relative” barang baru. Sebagai barang baru tentu saja masih banyak yang belum mengetahui dengan benar apa itu FIR, pada sisi lainnya sebagai “barang baru” maka dia menarik dan menjadi “pusat perhatian “ bagi banyak pihak yang ingin pula turut mengetahuinya.
Saudara saudara Sekalian,
Pertama kali saya mengetahui tentang FIR SIngapura adalah ketika saya bertugas sebagai Pilot Angkatan Udara Republik Indonesia di tahun 1973 terbang di atas perairan kepulauan Riau wilayah udara kedaulatan Indonesia. Pada saat itulah saya berhadapan untuk pertama kali dengan sebuah mekanisme prosedur operasi penerbangan yang berlaku di wilayah udara kedaulatan Indonesia yang ternyata berada dibawah otoritas penerbangan Singapura. Sejak itulah saya mulai mempersoalkan masalah FIR Singapura di Skadron Udara, Wing operasi 001 sesuai dengan posisi saya sebagai Pilot Junior dalam jajaran Skadron Udara, dibawah Komando Paduan Tempur Udara Angkatan Udara RI. Saya mengangkat masalah ini bertahun-tahun hingga dalam posisi saya sebagai Kepala Staf Angkatan Udara dengan mengajukannya ke Panglima TNI ketika itu Jenderal TNI Endriartono Sutarto, di tahun 2002.
Puluhan tahun para pilot Indonesia , Sipil dan Militer mengalami perlakuan yang sangat “sulit untuk dapat diterima” dari banyak hal yang disebabkan oleh Otoritas Penerbangan Singapura di Wilayah Udara Kedaulatan Indonesia. Puluhan tahun mereka harus tunduk dalam pergerakan di halamannya rumah sendiri pada instruksi dari otoriotas penerbangan asing. Puluhan tahun mereka menerima perlakuan yang “tidak pantas” dilakukan oleh otoritas penerbangan negera lain terhadap pergerakan mereka di wilayahnya sendiri. “Penderitaan” ini tidak mudah dapat dipahami bagi mereka yang tidak mengalaminya sendiri. Bila mau digali, banyak sekali “perlakuan” tidak pantas yang di alami oleh orang Indonesia dalam konteks status FIR Singapura. (banyak contoh yang dapat dilihat dibanyak tulisan, antara lain di buku FIR di Kepulauan Riau wilayah Udara NKRI, yang baru saja di launching 10 Agustus 2019).
Angkatan Udara adalah institusi yang bertugas menegakkan Kedaulatan Negara di Udara. Betapa dalam melaksanakan tugasnya yang berhubungan dengan komunikasi antar Negara terlihat seperti sebuah Angkatan Udara yang sangat “tidak berdaya” dalam melaksanakan tugas pokoknya yang memiliki nilai universal sebagai penjaga kedaulatan negara di Udara. Di teater global eksistensi Angkatan Udara Indonesia terlihat sebagai sebuah Angkatan Udara yang “aneh” yang “cacat” yang terkesan tidak memiliki kemampuan sama sekali ketika mengemban tugas pokoknya dalam menjaga kedaulatan negara di udara. Pada sisi lainnya dalam upaya keras meningkatkan dan membangun kekuatan postur pertahanan, Angkatan Udara telah bekerja keras sepenuh tenaga untuk dapat meraih kemampuan menjalankan amanah menjaga kedaulatan negara di udara. Tidak hanya berlatih keras bermandikan keringat dan darah, bahkan cukup banyak nyawa yang melayang dalam upaya melakukan latihan-latihan operasi penerbangan menuju “standard air combat readiness” yang di persyaratkan dalam menyiapkan kesiapan tempur Angkatan Udara. Di Forum Internasional, Angkatan Udara RI sangat merasa “dilecehkan” sebagai sebuah Angkatan Udara yang tidak memiliki kemampuan menjaga kedaulatan negaranya di udara. (contohnya adalah penentuan danger area oleh singapura di wilayah udara kedaulatan RI).
Para Pilot pesawat terbang Indonesia diluar Angkatan Udara mengalami nasib yang sama akibat dari pengelolaan wilayah udara kedaulatan RI yang berada dalam otoritas penerbangan Singapura. Banyak yang di rugikan dengat status seperti itu yang sekali lagi sulit dipahami oleh mereka yang tidak mengalaminya sendiri.
Oleh sebab itulah , maka Perintah Presiden di tahun 2015 yang lalu telah menjadi angin segar bagi dunia penerbangan Indonesia sebagai sebuah harapan besar laksana menyongsong hari kemerdekaan setelah sekian puluh tahun “terjajah” oleh otoritas penerbangan asing diwilayah udara kedaulatannya sendiri.
Saudara saudara sekalian,
Instruksi Presiden keluar di tahun 2015, dapat dilihat dari kutipan berita detik.news sebagai berikut :
Presiden Jokowi menginstruksikan agar Flight Information Region (FIR) yang selama ini dikuasai oleh Singapura segera diambil alih.
“Arahan Presiden, bahwa kita dalam 3-4 tahun ini mempersiapkan peralatan-peralatan dan personel yang lebih baik. Sehingga ruang udara kita dapat dikelola sendiri oleh Indonesia,” ujar Menhub Ignasius Jonan dalam jumpa pers di Kantor Presiden, Jl Veteran, Jakarta, Selasa (8/9/2015).
Sayangnya hingga hari ini, kita semua belum pernah mendengar penjelasan resmi pemerintah tentang sudah sejauh mana pelaksanaan instruksi Presiden tersebut ditindaklanjuti. Tidan hanya soal pengambilalihan FIR, akan tetapi juga tentang mempersiapkan peralatan dan personil yang lebih baik.
Pada sebelum keluar Instruksi Presiden, maka tulisan-tulisan saya di berbagai media selalu saja ada tanggapan dari pihak Singapura antara lain beredar di media Singapura dan Indonesia sendiri. Tanggapan datang dari beberapa pihak antara lain dari eks Dubes Singapura di Indonesia dan beberapa pihak lainnya. Inti dari garis besar alasan yang dikemukakan bahwa FIR adalah hanya masalah keselamatan penerbangan Internasional semata yang tidak ada hubungannya dengan kedaulatan negara, dan klaim danger area diwilayah kedaulatan RI yang harus diakui sebagai “traditional training area”, sebuah terminologi yang tidak ada dasar hukumnya. Demikian pula tentang disamakannya dengan wilayah udara Timor Leste dan pulau Christmas nya Australia yang jelas sangat berbeda, karena hal tersebut adalah semata kehendak dari Timor Leste dan Australia, yang setiap saat dapat dikembalikan kepada sang Pemilik, tanpa ada resistensi dari Indonesia. Tidak pula sama apa yang terjadi dengan Uni Eropa yang sudah menjadi satu negara terpadu sistem administrasi pemerintahannya, termasuk dalam sistem pertahanan keamanan negaranya.
Setelah Instruksi Presiden keluar , saya tidak melihat lagi respon pihak Singapura tentang FIR, selain kunjungan resmi Wakil Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanannya yang datang beberapa waktu setelah keluar Instruksi Presiden tersebut. Kunjungan yang bernada “konfirmasi” tentang Perintah Presiden mengenai FIR tersebut. Dapat dipahami, bahwa dengan keluarnya Perintah dari seorang Presiden, maka itu sudah menjadi “sikap politik” negara yang berkait dengan “National Interest”, dalam arti sudah tidak bisa ditawar lagi. Singapura sangat memahami sikap Presiden itu dan kemudian mereka tidak lagi menyuarakan apapun tentang FIR Singapura. Pasti yang dilakukan kemudian adalah proses konsolidasi internal agar Instruksi Presiden RI tersebut tidak akan “merugikan” mereka pada saat pelaksanaannya di lapangan.
Sebaliknya yang terjadi adalah, di dalam negeri kemudian ada beberapa pihak yang dengan lantang menyuarakan dalam menanggapi Instruksi Presiden itu dengan argumen-argumen yang mirip dan bahkan sama dan sebangun dengan apa yang pernah dikemukakan oleh pihak Singapura. Hal inilah yang terkesan bahwa sudah ada pihak yang justru mewakili kepentingan Singapura di dalam negeri dalam proses pelaksanaan Instruksi Presiden tentang FIR. Ini adalah sebuah fenomena yang “sangat maha aneh”.
Logikanya, bila ada perintah Presiden yang berkait dengan “National Interest” atau “National Policy”, maka semua orang Indonesia, sesuai posisi masing-masing harusnya berupaya keras untuk mencari argumen dasar alasan atau apapun yang mendukung agar pelaksanaan Instruksi Presiden dapat dijalankan dengan cepat dan baik. Bukannya justru menghambat pelaksanaan Instruksi Presiden yang bahkan terkesan sudah menjadi “agen” atau perwakilan otoritas penerbangan Singapura dalam mempertahankan posisinya sebagai pengelola FIR di wilayah kedaulatan negara di udara dalam kawasan teritorial NKRI. Apalagi dengan argumentasi yang sangat “naif” tentang tidak ada hubungannya FIR dengan kedaulatan Negara dan soal Traditional Training area. Tidak ada sebuah negara pun yang akan memperoleh pendelegasian otoritas mengelola FIR, bila negara tersebut bukan sebuah negara yang berdaulat. Lalu bagaimana bisa mengatakan FIR tidak ada hubungannya dengan kedaulatan negara? FIR SIngapura mencakup wilayah udara kedaulatan negara NKRI, apakah ini dapat diartikan pula sebagai tidak ada hubungannya dengan kedaulatan ? dan banyak lagi hal yang sangat janggal yang hanya memperlihatkan dari sebuah refleksi tentang betapa “khawatir” nya pihak Singapura bila wilayah udara kedaulatan NKRI secara penuh dan eksklusif di lola sendiri oleh pemerintan Indonesia.
Saudara seudara sekalian, sudah menjadi fakta dari sebuah realita, negara kecil memang harus menerima kenyataan bahwa wilayah udaranya sempit dan negara besar wilayah udara nya lebar. Logikanya kemudian adalah negara kecil bila ingin menggunakan wilayah udara yang lebih luas untuk keperluan membangun bangsanya dalam aspek pertahanan keamanan dan memakmurkan rakyatnya, sudah seharusnya berbaik-baik hati kepada negara yang lebih besar, bukan sebaliknya. Wilayah Udara kedaulatan NKRI adalah wilayah udara yang mengandung arti strategis dalam konteks National Security dan bernilai sangat tinggi bagi upaya meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Prinsip ini tidak bisa di tukar dengan bahwa Singapura adalah Investor terbanyak di Indonesia juga tidak bisa ditukar dengan hutang budi karena Singapura sudah membantu proses pengakuan dunia Internasional bagi Negara Kepulauan dalam UNCLOS 1982 .
Sudah layaknya negara-negara di dunia ini untuk hidup berdampingan dengan harmonis dengan landasan “mutual respect”, “mutual understanding” dan “mutual cooperation”
Setiap negara memang sudah seharusnya berhubungan baik satu dengan lainnya, harus saling menghormati dan harus saling mengerti dalam perjalanan bersama menuju dunia yang aman dan sejahtera. Namum patut digaris bawahi bahwa hal tersebut tidaklah bisa dengan jalan menyerahkan wilayah kedaulatannya kepada negara lain. Masih banyak cara lain untuk melakukan penyelenggaraan hubungan baik antar bangsa yang resiprokal, mutual understanding dan mutual respect.
Saudara saudara sekalian,
Marilah kita bersama menyamakan langkah, menyatukan pendapat dalam penjabaran Perintah Presiden mengambil alih FIR Singapura. Marilah kita melihat masalah Perintah Presiden ini sebagai sebuah pola penyelesaian masalah yang sudah puluhan tahun tidak memperoleh perhatian sebagaimana mestinya. Perintah Presiden berangkat dari complain dan atau keluhan dari banyak pihak terutama aparat penegak hukum dan kedaulatan negara di udara, yaitu Angkatan Udara Republik Indonesia. Untuk itu seyogyanya kita semua harus senantiasa berusaha keras untuk mencari landasan hukum, alasan serta argumentasi yang masuk akal dan logis dalam melaksanakan Perintah Presiden Republik Indonesia. Sudah saatnya kita semua mengakhiri dalam mengemukakan argumentasi atau apapun yang justru terllihat dan terkesan sebagai mewakili kepentingan Singapura di wilayah udara kedaulatan NKRI, sebagai “mengkhianati” kepentingan nasional Indonesia dalam upaya mengembalikan martabat bangsa di wilayah udara kedaulatannya.
Saya ingin mengakhiri uraian ini dengan permohonan maaf yang sebesar-besarnya bila ada hal yang terasa kurang berkenan di hati. Saya hanya ingin mewakili “jeritan” penderitaan terutama dari para insan pengawal dirgantara Indonesia yang telah selama puluhan tahun dilecehkan dalam konteks melaksanakan tugas pokoknya, menegakkan kedaulatan negara di udara diatas wilayah kepulauan Riau. Wilayah Udara Kedaulatan NKRI.
Sekian dan Terimakasih,
Jakarta 22 Oktober 2019
Chappy Hakim
Pusat Studi Air Power Indonesia