Hari Rabu tanggal 9 Oktober 2019 di Gedung Serba Guna & Laboratorium Terintegrasi Politeknik Penerbangan Surabaya Jl. Jemur Andayani I/73, Wonocolo Surabaya, telah diselenggarakan Seminar Nasional Inovasi Teknologi Penerbangan.
Penyelenggara : Kementrian Perhubungan, Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Perhubungan, Politeknik Penerbangan Surabaya.
Berikut adalah naskah yang saya sampaikan dalam kesempatan tersebut, sebagai Keynote Speaker:
Pendahuluan.
Penerbangan sebagai salah satu sistem transportasi di kenal sebagai moda angkutan yang cepat dan aman. Dibandingkan dengan moda angkutan darat dan laut, maka moda angkutan udara adalah merupakan sebuah sistem transportasi yang sangat melekat dengan teknologi, dalam hal ini teknologi mutakhir.
Moda angkutan darat dan laut sudah cukup lama usianya yaitu ratusan bahkan ribuan tahun telah digunakan banyak orang. Sangat berbeda dengan transportasi udara yang baru berumur 116 tahun , yaitu dimulai sejak Wright Bersaudara berhasil menerbangkan pesawat terbang bermesin pertama di dunia pada tanggal 17 Desember tahun 1903.
Sangat berbeda dengan sistem angkutan darat dan laut, maka akselerasi kemajuan teknologi dalam dunia penerbangan sangat cepat sekali. Tahun 1903 pesawat terbang pertama di dunia yang berhasil diterbangkan oleh Wright Bersaudara hanya mampu terbang pada ketinggian dan jarak tempuh beberapa meter saja. Hanya 66 tahun setelah itu manusia sudah memiliki kemampuan membuat pesawat terbang dengan kecepatan yang melampaui 3 X kecepatan suara dan bahkan juga telah mampu mendaratkan manusia di permukaan bulan. Sebuah laju dari percepatan kemajuan teknologi yang sangat “fantastis”.
Dengan usia yang relatif masih sangat muda diiringi dengan laju kemajuan teknologi yang sangat pesat, maka para ahli di bidang penerbangan jumlah nya masih sangat sedikit. Demikian pula di Indonesia.
Tantangan Dunia penerbangan yang melekat erat dengan teknologi menuntut sebuah lingkungan kegiatan yang taat azas. Menuntut keteraturan dalam tata laksana kerja yang sangat detil. Menuntut disiplin yang tinggi tanpa toleransi. Ciri utama dalam dunia penerbangan adalah aktifitas yang mengacu kepada aturan , regulasi, prosedur, ketentuan, undang-undang dan rujukan yang berlaku. Dunia penerbangan menuntut disiplin yang tanpa kompromi. Disiplin yang tinggi tidak mungkin dapat ditegakkan tanpa dilakukannya pengawasan ketat yang terus menerus. Pengawasan ketat yang terus menerus tidak akan efisien bila tidak dilakukan tindakan hukum dengan efek jera bila terjadi pelanggaran.
Realita yang di hadapi Pada kenyataannya di Indonesia kita masih berhadapan dengan masalah disiplin yang rendah, pengawasan yang sangat longgar dan kurangnya tindakan tegas pada saat terjadinya pelanggaran. Itu semua yang menyebabkan budaya keselamatan atau “Safety Culture” di Indonesia masih belum terbangun dengan baik. Banyak sekali contoh dari hal ini dan salah satu yang sangat mudah dilihat adalah tentang bagaimana yang terjadi sehari-hari dalam kesibukan lalulintas di jalan raya. Kebiasaan sehari-hari yang sangat kontradiktif dari sebuah tuntutan yang di butuhkan dalam kegiatan di dunia penerbangan.
Sepanjang tahun 2007 sampai dengan tahun 2017 Indonesia di turunkan peringkatnya oleh FAA (Federal Aviation Administration) otoritas penerbangan Amerika Serikat yang paling kredibel dan berpengaruh di dunia penerbangan, masuk kedalam negara-negara kategori 2. Hal ini berarti bahwa Indonesia dinilai tidak mampu untuk “comply”, memenuhi persyaratan keselamatan penerbangan internasional seperti yang diberlakukan oleh ICAO (International Civil Aviation Organization). Akibatnya semua pesawat terbang Indonesia dilarang terbang ke Amerika Serikat. Uni Eropa menyusul dengan melarang pula seluruh Maskapai Penerbangan Indonesia untuk terbang ke Uni Eropa. Salah satu temuan yang menonjol ketika itu adalah penilaian bahwa Otoritas Penerbangan Indonesia kurang memiliki tenaga Inspektor Penerbangan, baik kualitas maupun kuantitas.
Manajemen dalam pengelolaan penerbangan di Indonesia menghadapi masalah besar dalam lebih kurang 2 dekade belakangan ini. Pertumbuhan penumpang setiap tahunnya yang demikian tinggi, tidak diiringi dengan penyiapan sdm penerbangan dan infrastruktur nya. Refleksi dari hal tersebut terlihat dari demikian semrawutnya alur take off landing pesawat terbang di bandara-bandara tertentu di tanah air. Terjadi kelebihan kapasitas daya tampung penumpang di Bandara-bandara besar di Indonesia. SDM penerbangan , terutama Pilot, ATC dan Teknisi Pesawat terbang jauh dari mencukupi. Belakangan muncul pula fenomena “nganggur” nya banyak Pilot lulusan Sekolah Penerbang di Indonesia. Mismanagement alias salah urus telah terjadi dalam pengelolaan penerbangan secara nasional di Indonesia. Dalam hal ini yang terjadi adalah pertumbuhan penumpang yang sangat tinggi tidak diikuti dengan penyiapan sdm serta infrastruktur penerbangan. Kesenjangan inilah yang menyumbangkan pula peneyebab dari turunnya faktor keselamatan penerbangan di negeri ini.
Safety Versus Kemajuan Teknologi. Faktor keselamatan penerbangan di dunia belakangan ini menghadapi tantangan besar sebagai akibat akselerasi kemajuan teknologi penerbangan yang sangat cepat. Dunia tengah menghadapi sebuah sistem transportasi cerdas sebagai hasil dari teknologi tinggi yang di terapkan dalam dunia penerbangan modern. Kemajuan teknologi yang bergerak cepat ternyata memperoleh rangsangan yang sangat berpengaruh yaitu dari persaingan usaha pabrik-pabrik pesawat terbang raksasa. Hal ini memunculkan kerawanan dalam operasi penerbangan yang sangat sensitive dalam menghadapi kemungkinan terjadinya kecelakaan. Kemajuan teknologi penerbangan telah membuat kesenjangan yang besar terhadap sistem pembinaan latihan dan pendidikan bagi sdm yang mengawakinya. Padahal masalah utama dalam konteks suksesnya operasi penerbangan yang aman dan nyaman akan sangat tergantung kepada “man behind the gun”.
Otomatisasi dari sistem kendali pesawat terbang telah mengakibatkan banyak kecelakaan. Dari hasil investigasi terhadap kecelakaan fatal akhir-akhir ini yang dialami pesawat terbang super modern mencatat dua hal penting dalam “final report” nya yaitu sebuah fenomena yang di beri judul “Automation Addiction” dan kurang nya background knowledge dari Pilot dalam mengoperasikan sistem Flight Management Computer yang terpasang di sistem kendali pesawat terbang modern. Dunia penerbangan tengah berhadapan dengan apa yang sering dikatakan sebagai beralihnya keterampilan Pilot dari terbang manual ke sistem otomatis. Berubahnya ujud Pilot dengan Basic Pilot Flying Skill kepada ujud dari Pilot yang berperan sebagai operator atau “The Button Pusher”.
FAA (Federal Aviation Administration) beberapa tahun lalu baru saja merilis sebuah laporan setebal 279 halaman yang merupakan hasil penelitian panjang dari sebuah “working group” dengan topik “Pilot addicted to Automation”. Dikatakan antara lain : “The FAA reports stresses the risk that future accidents could occur as comercial airline pilots become overly reliant on automated computer system in the cockpit and lose their hands on, manual flying skills”.
Kebiasaan yang terlalu mengandalkan sistem otomatis telah menarik perhatian para ahli sebagai salah satu penyebab yang dominan dari terjadinya kecelakaan pesawat terbang. Lebih jauh lagi mengenai hal ini, ternyata NASA (National Aeronautics and Space Administration), badan penerbangan dan antariksa Amerika Serikat telah pula membiayai jutaan dollar sebuah penelitian yang intensif bekerjasama dengan IOWA University yang memakan waktu lebih dari 3 tahun dalam topik masalah hubungan pilot, sistem otomatis dan kecelakaan pesawat terbang.
Dr Thomas Mach Schnell yang memimpin tim riset itu menjelaskan bahwa ketergantungan yang berlebihan terhadap sistem otomatis telah menurunkan dan banyak mengganggu konsentrasi pilot dalam menerbangkan pesawat. Dia juga menambahkan, bahwa hasil penelitian menunjukkan bahwa para pilot pesawat modern telah menjadi sangat tergantung pada sistem otomatis di kokpit. Studi tersebut juga memberikan hasil penemuannya bahwa 60% dari kecelakaan yang terjadi belakangan ini ternyata disebabkan karena kesalahan dalam mengoperasikan “flight management computer”.
Seorang pakar NTSB menerangkan bahwa banyak Pilot yang menerbangkan pesawat terbang modern sangat mahir dalam mengoperasikan sistem otomatis dalam mengendalikan pesawat akan tetapi banyak yang kurang mengenal dengan baik anatomi dari bagaimana sistem otomatis itu bekerja. Artinya, banyak Pilot yang kurang dapat memahami dan menghayati dengan benar kapan atau bila saatnya terbang dengan menggunakan sistem otomatis dan bila saatnya pesawat terbang harus dikendalikan dengan cara manual atau hands on.
Kemajuan teknologi terutama teknologi penerbangan memang bersifat dinamis dan bergerak dengan sangat cepat. Hal tersebut bertujuan terutama sekali dalam meningkatkan upaya keselamatan terbang akan tetapi sekaligus menuntut pengetahuan yang memadai dari mereka yang menggunakannya.
Kuncinya memang akan kembali, sekali lagi pada “man behind the gun” yang berarti fungsi dari pendidikan dan latihan menjadi semakin mengemuka. Nah itulah tantangannya bagi semua insan yang bergerak dalam bidang penerbangan.
Sebuah tantangan besar dunia penerbangan dalam menghadapi sistem pengendalian yang serba otomatis, sistem transportasi cerdas. Dunia memang tengah menyongsong era The Cyber World dengan ciri utamanya “Artificial Inteligent” .
Jawaban satu-satunya dalam hal ini adalah upaya mengejar ketertinggalan sistem metoda pendidikan dan latihan dalam menyiapkan sdm yang sesuai tuntutan kemajuan teknologi mutakhir dunia penerbangan modern.
Jakarta 9 Oktober 2019
Chappy Hakim
Pusat Studi Air Power Indonesia.