Ketika Lion Air JT 610 crashed di perairan Karawang, belum banyak pihak yang mempersoalkan tentang produk Boeing 737 MAX 8, mengingat track record dari Maskapai ini yang kerap mengalami kecelakaan. Sebagai catatan pada 2013 sebuah pesawat terbang B-737 Lion Air yang relatif baru walau bukan dari seri MAX 8, masuk ke laut sesaat sebelum mendarat di Bali.
Setelah Ethiopian Airlines mengalami kecelakaan yang dinilai relatif sama penyebabnya dengan Lion Air JT 610, maka gegerlah dunia penerbangan dan seantero negara yang menggunakan pesawat B-737 MAX 8.
Dua kecelakaan tersebut membuat semua pihak kemudian mempertanyakan kredibilitas Pabrik Pesawat Boeing dan tentu saja juga FAA (Federal Aviation Administration) otoritas penerbangan sipil paling terkemuka dan terpercaya selama ini di dunia.
Pertanyaan yang sama yaitu mengapa bisa terjadi produk pesawat terbang mutakhir keluaran pabrik ternama dan lolos uji FAA mengalami kecelakaan yang diperkirakan dengan sebab yang sama hanya dalam waktu beberapa bulan saja.
Beberapa tahun sebelumnya, kecelakaan yang terjadi pada pesawat modern sudah mengundang banyak penelitian antara lain oleh NASA di IOWA University yang kesimpulannya menekankan tentang “Automation Addiction” , ketergantungan Pilot kepada system otomatis dari kendali pesawat terbang dan “Lack of knowledge” dari Pilot terhadap Computer Flight Management System (disebut juga pada NTSB- final investigation report ANA Flight crashed di San Fransisco)
Kasus B-737 MAX 8 telah membuat orang tidak lagi “hanya” melihat kemungkinan kesalahan yang dilakukan oleh operator saja, dalam hal ini terutama pada Pilot, akan tetapi juga dan menjadi terfokus pada “product” atau proses produksi dari sebuah pesawat terbang canggih , modern yang siap pakai dan harusnya aman.
Kemajuan yang sangat pesat dalam produksi pesawat terbang berteknologi mutakhir, ditambah lagi dengan persaingan bisnis yang sangat ketat antar pabrikan, kiranya telah membuat sistem dan atau metoda Pendidikan dan Latihan bagi sdm penerbangan terutama Pilot dan Teknisi dilapangan menjadi terganggu bahkan mungkin tertinggal. Terganggu dalam arti butuh kecepatan juga dalam menyesuaikan diri dengan produk yang baru tersebut, agar tidak ketinggalan yang akan sangat membahayakan dalam sistem pengoperasiannya.
Tidak itu saja, kemungkinan besar persaingan ketat dalam bisnis di tenggarai juga berpotensi untuk melakukan “potong kompas” dalam produksi pesawat terbang modern yang salah satunya adalah dalam hal mesin yang hemat bahan bakar. B-737 MAX 8 dalam salah satu artikel yang beredar disebut konon tidak melalui proses “flight testing” sebagai salah satu persyaratan produksi pesawat terbang dengan modifikasi baru tertentu.
Dalam hal ini menyangkut peralatan baru yang canggih pada model B-737 MAX 8 dan dikenal sebagai MCAS (Maneuvering Characteristics Augmentation System). Faktor MCAS, walau sebenarnya tambahan peralatan canggih ini bertujuan sebagai pengaman untuk mencegah terjadinya stall ( pesawat jatuh) , inilah yang sering disebut-sebut sebagai salah satu penyebab utama yang berkontribusi pada dua kecelakaan B-737 MAX 8 yang terjadi.
Belum diketahui dengan pasti soal “potong kompas” ini, akan tetapi sudah banyak pihak mempertanyakan proses produksi dari pesawat modern dengan modifikasi teknologi tertentu yang belakangan ini memang berjalan dengan sangat cepat.
Walau sudah begitu banyak analisis yang beredar dan terkadang sangat teknis sehingga sulit untuk dapat dicerna, tetap saja untuk mengetahui apa gerangan sebenarnya yang terjadi, kita masih harus menunggu hasil akhir investigasi dari KNKT dan Komite Investigasi Ethiopia.
Pada titik ini KNKT Indonesia tengah berada di persimpangan jalan ketika menghasilkan “Final Report” Lion Air JT-610 untuk memposisikan dirinya sebagai badan Investigasi yang obyektif dan terpercaya atau sebaliknya. Tidak mudah memang, karena hasil akhir KNKT akan menjadi banyak faktor penentu dalam pengambilan keputusan berbagai pihak yang berkepentingan dalam masalah B-737 MAX 8. May God Bless and Keep You KNKT !