Pada satu kesempatan dalam perjalanan terbang menuju satu tujuan penerbangan domestik, saya sempat singgah disatu bandara untuk transit. Penerbangnya, seorang anak muda dengan penampilan yang gagah. Mengenakan seragam Pilot lengkap dengan tanda pangkat empat garis emas di pundaknya, yang menunjukkan bahwa ia adalah Captain Pilot dari pesawat penumpang besar dan baru, milik salah satu maskapai penerbangan dalam negeri. Secara kebetulan, karena saya mengenalnya dengan baik, kami berjalan beriringan menuju terminal, sambil ngobrol tentang antara lain kebanggaannya telah menjadi Captain Pilot dari pesawat dengan kapasitas penumpang yang lebih dari 200 orang tersebut. Dalam perjalanan sejenak kemudian terdengar dering Handphone nya, yang ternyata datang dari isterinya. Terdengar, bahwa isterinya mengabarkan bahwa anaknya sakit, panas yang tinggi. Kemudian terdengar instruksinya ,agar segera membawa anaknya kerumah sakit, namun dengan catatan, jangan ke Rumah Sakit besar, tetapi cukup ke Puskesmas saja.
Waktu saya tanyakan mengapa ke Puskesmas, jawabannya adalah , pernah dibawa ke Rumah Sakit Besar di dekat rumahnya dan ternyata biayanya sangat tinggi. Ia mengatakan anggaran rumah tangga nya tidak cukup leluasa untuk dapat menyisihkan dana berobat bagi keluarganya ke Rumah sakit Besar. Ironis sekali, seorang yang bertanggung jawab menerbangkan pesawat seharga jutaan dolar, sekali gus menanggung keselamatan begitu banyak nyawa penumpang, untuk berobat anaknya saja harus wanti-wanti ke Isterinya agar dibawa ke Puskesmas saja agar dapat memperoleh layanan dan obat yang murah harganya.
Tanpa bermaksud untuk membanding-bandingkan penghasilan penerbang kita dengan para penerbang di luar negeri, namun patut kiranya dipikirkan, bagaimana seorang dengan tanggung jawab yang begitu besar dalam pelaksanaan tugasnya, sudah sewajarnya berada dalam kondisi yang nyaman dalam kehidupan sosialnya.
Saat ini, tanpa dapat dicegah, telah begitu banyak penerbang Indonesia yang bekerja di luar negeri. Mereka banyak berada di beberapa negara lain seperti Korea. Malaysia ,Thailand dan bahkan juga di Singapore Airlines serta beberapa Negara Afrika dan lain lain. Yang mengharukan justru ada pula yang bekerja di Bangladesh dan Vietnam, yang ternyata memberikan kesejahteraan jauh lebih besar dari apa yang mereka peroleh di negerinya sendiri.
Dari banyak berdiskusi dengan beberapa dari mereka, ternyata sebagian besar mereka sebenarnya lebih menginginkan bekerja di negerinya sendiri. Mereka tidak muluk-muluk untuk menonjolkan nasionalisme nya, namun cukup mengatakan bahwa apabila mereka dapat memperoleh separuh saja dari apa yang mereka dapatkan di luar negeri, maka mereka akan lebih memilih berada di Indonesia saja. Alasannya pun begitu simple, mereka lebih senang berdekatan dengan keluarga dan sanak familinya. Disisi lain mereka juga mengutarakan bahwa perlakuan yang mereka peroleh dari manajemen perusahaan penerbangan di luar negeri jauh lebih manusiawi dari apa yang mereka alami di negerinya sendiri.
Sekedar untuk mengetahui salah satu dari mereka yang bekerja di luar negeri, pendapatan yang mereka peroleh setiap bulannya tidak kurang dari 9000 US Dollar. Bahkan ada beberapa maskapai yang memberikan gaji sebesar 12.000 sampai 15.000 US Dolar per bulan. Belum terhitung beberapa fasilitas dan jaminan sosial yang mereka peroleh, baik untuk jaminan kesehatan bagi dirinya maupun keluarganya. Dari sisi materi, mereka memperoleh jaminan yang lebih dari cukup. Kesemuanya itu telah membuat kualitas kerja mereka pun otomatis meningkat. Gairah kerja dengan perasaan yang nyaman tentu saja akan meningkatkan kinerja seseorang. Disisi lain rasa tanggung jawab dan perasaan memiliki pun akan tumbuh dengan wajar sebagai konsekuensi logis dari jaminan yang mereka peroleh. Lebih dari itu, perhatian yang diberikan oleh pimpinan perusahaan terhadap kinerja mereka, ternyata begitu besar. Sampai-sampai keberadaan anak dan isteri pun tidak luput dari perhatian pihak manajemen.
Lebih dari itu, ternyata atmosfer bekerja juga sangat menentukan dalam memilih tempat bekerja. Perasaan bahwa pesawat yang diterbangkannya dirawat sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan berada dalam pelayanan orang-orang yang tepat dibidangnya turut menjadi factor penentu. Juga pengawasan terhadap berbagai aspek yang menyangkut keamanan terbang telah pula mempengaruhi kenyamanan mereka bekerja di luar negeri. Profesionalitas dari penanganan teknis yang berkait dengan system pemeliharaan dan terutama pergantian suku cadang yang genuine tentu saja lebih membuat mereka nyaman bekerja.
Tidak sedikit yang mengutarakan kepada saya bahwa mereka sebenarnya takut bekerja di Indonesia dengan kondisi perhatian terhadap keamanan terbang yang masih belum memenuhi standar Internasional. Pengaturan lalu lintas udara yang belum berada dalam satu komando dan pengawasan kelaikan udara yang masih kelihatan longgar adalah beberapa yang mereka utarakan sebagai alasan untuk lebih baik terbang di luar negeri. Belum lagi melihat kondisi radar dan alat bantu navigasi lainnya yang sudah banyak kadaluwarsa. Demikian pula keamanan di Bandara, terutama dalam penanganan barang-barang kargo yang akan dimuat ke pesawat terlihat masih banyak perlu diperbaiki. Namun untuk banyak hal yang menyangkut keamanan dan keselamatan terbang , mereka akui sudah terlihat adanya gejala – gejala menuju perubahan dan perbaikan, terutama sepanjang tahun 2007 ini.
Yang masih memperihatinkan mereka sampai dengan saat ini adalah “bayaran” dan jaminan sosial serta perhatian dari pimpinan perusahaan yang masih jauh dari harapan. Kondisi seperti ini patutlah kiranya menjadi perhatian kita semua. Karena kemajuan dunia penerbangan di dunia akhir-akhir ini telah melangkah begitu cepat. Apa bila tidak ada perubahan yang mendasar dari masalah ini dalam waktu dekat, maka dikhawatirkan, akan banyak sekali penerbang kita yang akan hengkang ke luar negeri. Beberapa Negara Arab, belakangan ini telah memborong begitu banyak pesawat baru dan kesemuanya itu tentu saja memerlukan tenaga penerbang. Para penerbang Indonesia, yang bertugas dibeberapa Negara, sudah dikenal sebagai penerbang yang keterampilannya diatas rata-rata. Mereka juga memilki kelebihan lain dibandingkan dengan para penerbang orang “bule” yang biasanya sangat “cerewet”.
Sudah waktunya, para pimpinan perusahaan penerbangan kita, dan juga pihak regulator mulai memikirkan tentang hal ini. Tidak saja bahwa masalah ini akan sangat berhubungan dengan keselamatan dan keamanan terbang, akan tetapi juga berkait langsung dengan kebutuhan penerbang di dunia yang dalam waktu dekat mendatang ini yang akan sangat jauh meningkat. Dapat dibayangkan, apabila beberapa Negara berhasil membujuk para penerbang kita untuk pindah keluar negeri, maka kita akan kewalahan untuk dapat memperoleh gantinya.
Celakanya, apabila benar-benar menjadi kenyataan, maka tidak mustahil terjadi bahwa kita akan mendatangkan para penerbang “bule” dari luar negeri yang justru bayarannya akan jauh lebih mahal dari standar gaji mereka di luar negeri, karena kita berada dalam posisi yang memerlukan. Kita belum memiliki aturan yang baku dalam tata hubungan kerja antara para penerbang dengan pemilik perusahaan. Hal inilah yang menyebabkan system penggajiannya pun kemudian menimbulkan banyak hal yang negatif. Sering terjadi para penerbang muda kita berpindah-pindah dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya, hanya karena masalah penggajian yang tidak baku.
Para Operator dan juga Regulator, dalam hal ini Departemen Perhubungan perlu segera membenahi masalah ini. Persoalannya adalah, jangan sampai road map menuju ‘safety” yang telah disusun dengan rapi, kemudian terganjal dengan munculnya masalah lain yang mempengaruhi kelangsungan hidup penyelenggaraan penerbangan nasional. Akhirnya memang harus diperhitungkan korelasi antara Profesionalisme dengan Nasionalisme, yang secara langsung maupun tidak langsung akan banyak terpengaruh oleh aspek kesejahteraan seseorang.