SEMUA negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara otomatis menjadi anggota International Civil Aviation Organization (ICAO).
Setiap negara wajib menunjuk satu institusi resmi mewakili pemerintahannya yang akan berperan sebagai pemegang otoritas penerbangan nasional. Otoritas ini biasanya dipegang oleh departemen transportasi, di Indonesia adalah Kementrian Perhubungan.
Di dunia ini ada dua otoritas penerbangan nasional yang sangat dihormati, disegani, dan sangat berkuasa yaitu Federation Aviation Administration (FAA) di Amerika dan European Aviation Safety Agency (EASA) bersama dengan Aviation Safety Commision (ASC) di Eropa.
Kedua otoritas tersebut mewakili negara yang paling banyak memproduksi pesawat terbang terutama pesawat terbang sipil komersial. Kedua otoritas penerbangan tersebut juga mewakili negara yang paling banyak melakukan research and development di bidang penerbangan (aviation).
Seluruh dunia, dalam penyelenggaraan penerbangan sipil komersial, harus tunduk kepada regulasi yang dikeluarkan oleh ICAO. Dengan catatan, setiap negara mengacu pada konvensi Chicago tetap memiliki kedaulatan yang komplet dan eksklusif.
Larangan terbang maskapai Indonesia
Pada sekitar tahun 2007, di Indonesia terjadi serangkaian kecelakaan pesawat terbang fatal yang mengundang banyak pertanyaan di dunia penerbangan Internasional.
Setelah dilakukan audit ternyata otoritas penerbangan Indonesia dinilai tidak memenuhi syarat regulasi keselamatan penerbangan seperti yang dikeluarkan oleh ICAO.
Penilaian ini membuat FAA segera menurunkan tingkat keselamatan penerbangan di Indonesia ke kategori 2 yang artinya masuk dalam kelompok negara-negara yang belum mampu memenuhi syarat keselamatan terbang internasional.
Langkah ini disusul dengan larangan terbang bagi seluruh maskapai penerbangan Indonesia ke Eropa oleh otoritas penerbangan Uni Eropa (UE).
Larangan ini berpedoman pada hasil audit ICAO dan FAA yang menilai bahwa pengelola penerbangan di Indonesia tidak mampu memenuhi persyaratan keselamatan terbang internasional.
Artinya, penerbangan yang dikelola Indonesia dianggap tidak aman atau berbahaya. Itu sebabnya maskapai penerbangan Indonesia dilarang masuk ke Eropa.
Sementara itu, yang agak aneh adalah mereka tidak melarang maskapai UE untuk terbang ke Indonesia yang dinilainya sebagai tidak aman.
Disisi lain, mereka tetap juga menjual banyak pesawat terbang Airbus kepada Indonesia yang otoritas penerbangannya dinilai tidak memenuhi syarat keselamatan terbang.
UE mengatakan bahwa larangan yang dikenakan kepada Indonesia adalah berdasar kepada penilaian FAA dan ICAO. Pada titik ini, maka sebenarnya sangat jelas bahwa persoalan tidak berada di UE akan tetapi berada di Indonesia sendiri.
Dengan demikian tidak ada gunanya sama sekali Indonesia melakukan lobi-lobi diplomatik agar larangan terbang tersebut dicabut.
Sebabnya sederhana sekali, tanpa mengurangi penghargaan terhadap Kementerian Luar Negeri yang juga sudah turut bekerja, masalah pengelolaan keselamatan terbang tidak dapat diselesaikan dengan cara diplomasi.
Masalahnya berada di pihak otoritas penerbangan Indonesia yang dinilai tidak mampu memenuhi persyaratan keselamatan terbang internasional.
Kerja keras Indonesia
Dalam merespons masalah rumit ini, Presiden Republik Indonesia membentuk Tim Nasional Evaluasi Keselamatan dan Keamanan Transportasi dengan Keppres No. 3 Tahun 2007 tertanggal 11 Januari 2007.
Dunia penerbangan Indonesia dibawah koordinasi Kementerian Perhubungan sebagai pemegang otoritas dan regulator penerbangan sipil bekerja keras berbenah diri selama lebih kurang 10 tahun.
Akhirnya pada Agustus 2016 FAA menyatakan secara resmi bahwa Indonesia sudah kembali masuk kategori 1. Artinya, Indonesia masuk kelompok negara yang sudah memenuhi persyaratan keselamatan terbang Internasional seperti yang ditentukan oleh ICAO.
Tidak itu saja , pada bulan November 2017 ICAO bahkan mengumumkan hasil audit yang menyatakan tingkat keselamatan penerbangan di Indonesia sudah mencapai angka di atas rata-rata dunia.
Merujuk pada prestasi itu, pencabutan larangan terbang atas semua maskapai Indonesia yang diumumkan ASC bersama EASA pada 14 Juni 2018 seharusnya sudah keluar 2 tahun lalu saat Indonesia dinyatakan masuk kembali ke kelompok negara dengan kategori 1.
Lantas, kenapa baru diumumkan Juni ini? Apakah UE menganut standar ganda yang kita sendiri tidak mengetahui apa gerangan maksudnya?
Martabat sebuah bangsa memang berada ditangan bangsa itu sendiri. Good bye larangan UE yang sudah tidak memiliki dasar hukum lagi. Tantangannya bagi Indonesia adalah bagaimana kita menjaga hasil yang sudah memuaskan ini.
Seperti kita ketahui bersama bahwa dunia penerbangan Indonesia hingga kini masih menghadapi banyak tantangan ke depan.
Akhirul kalam, selamat dan salut serta penghargaan yang tinggi kepada Kementerian Perhubungan dan jajarannya serta semua instansi terkait yang sudah berhasil mengangkat kembali martabat Indonesia dalam kancah penerbangan global.