PESAWAT Air Asia dengan nomor penerbangan QZ 535 rute Perth (Australia) menuju Denpasar (Bali, Indonesia) terpaksa putar balik pada Minggu (15/9/2017).
Hal itu terjadi karena pesawat Airbus A320 itu tiba-tiba mengalami kendala teknis, “jatuh” dari ketinggian 34.000 kaki ke ketinggian 10.000 kaki dalam waktu beberapa menit saja.
Beberapa media massa, termasuk media online, mengabarkan tentang kepanikan yang terjadi saat pesawat terbang Air Asia QZ 535 itu mengalami gangguan teknis.
Seperti biasa, kejadian seperti ini selalu saja mengundang banyak pertanyaan dari orang awam tentang apa sebenarnya yang terjadi.
Pada setiap terjadi kecelakaan pesawat terbang, dipastikan banyak orang yang ingin dengan segera mengetahui apa yang menyebabkan terjadinya kecelakaan tersebut.
Dari kondisi yang seperti inilah, maka wajar saja kemudian banyak orang membuat analisis sendiri-sendiri dengan latar pengetahuan yang dimilikinya masing-masing untuk mengambil kesimpulan tentang apa sebenarnya yang menjadi penyebab terjadinya kecelakaan.
Tidak ada yang salah dengan itu semua. Akan tetapi, yang amat disayangkan adalah akan muncul pemahaman yang belum tentu benar, bahkan menyesatkan terhadap analisis yang beredar.
Mengapa demikian? Karena, analisis yang dilakukan belum berdasar kepada data-data yang akurat atau valid, di samping akan sangat tergantung kepada kompetensi individu yang melakukan analisis tersebut.
Setiap negara pasti memiliki badan penyelidik keamanan transportasi dengan nama yang berbeda-beda. Amerika menyebutnya sebagai NTSB atau National Transportation Safety Board dan Indonesia dikenal dengan nama KNKT, Komite Nasional Keselamatan Transportasi.
Badan inilah yang memiliki kompetensi melakukan penyelidikan terhadap penyebab terjadinya kecelakaan. Para anggota penyelidik penyebab kecelakaan harus memenuhi persyaratan dan memegang sertifikat sebagai investigator dari instansi yang berwenang.
Hanya KNKT dan atau NTSB-lah yang memiliki hak untuk membaca kotak hitam pesawat terbang yang mengalami kecelakaan. Dengan demikian, maka jelas sekali bahwa bila kita ingin mengetahui penyebab terjadinya kecelakaan, kita harus sabar menunggu hasil penyelidikan dari NTSB atau KNKT. Semua analisis yang dilakukan oleh orang dan atau badan selain dari KNKT pasti akurasinya patut dipertanyakan.
Khusus mengenai kejadian Air Asia QZ 535 yang dikabarkan “jatuh” dari 34.000 feet ke 10.000 feet, dapat dipastikan bahwa kabar tersebut adalah tidak benar.
Pesawat terbang dibangun dengan bentuk dan wujud yang seperti kita saksikan adalah sebuah bentuk yang “aerodinamis”. Bentuk yang seperti itu menjadikan pesawat terbang tidak bisa “jatuh”, dalam arti jatuh seperti batu secara vertikal.
Bentuk pesawat terbang menjadikannya, apabila jatuh, dia akan gliding atau meluncur dengan sudut kemiringan tertentu, bergantung pada berat pesawat saat itu. Sekali lagi, pesawat terbang tidak bisa jatuh seperti batu yang jatuh secara vertikal.
Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa dia “jatuh” dari ketinggian 34.000 kaki ke 10.000 kaki hanya dalam hitungan beberapa menit?
Jawaban sederhana adalah apabila pesawat terbang yang tengah terbang tinggi sekitar 34.000 kaki mengalami gangguan pada sistem pengaturan udara dan tekanan dalam kabin (Aircraft Air Conditioning and Pressurization System), maka prosedur keadaan darurat mengharuskan pesawat terbang secepat mungkin turun ke 10.000 kaki.
Mengapa begitu? Karena, pada 34.000 kaki dengan gangguan sistem pengaturan udara dan tekanan kabin, maka akan terjadi kondisi kekurangan oksigen dan kekurangan tekanan udara yang membahayakan nyawa manusia.
Pesawat terbang harus segera diturunkan ke 10.000 kaki agar dapat memperoleh kadar oksigen dan tekanan udara yang normal. Itu mungkin yang terjadi sehingga tindakan pilot yang menurunkan pesawat terbangnya dengan cepat dirasakan seperti “jatuh”.
Ini adalah semata dugaan dari atau berdasar pada apa yang diberitakan oleh berbagai media. Tentang apa sebenarnya yang terjadi, sekali lagi kita harus bersabar menanti hasil dari penyelidikan KNKT-nya Australia dan atau Malaysia.