TOPIK populer belakangan ini adalah munculnya sebuah peraturan tentang tata cara beli mobil yaitu harus menyertakan “surat pernyataan punya garasi”. Dari berbagai respons yang muncul, dalam garis besarnya selalu ada dua kubu yang kontra dan pro.
Bagi yang setuju, pada umumnya mewakili mereka yang merasa sangat terganggu selama ini dengan mobil. Mereka adalah yang ruang publik di sekitar kediamannya banyak dipergunakan untuk parkir mobil para tetangga yang tidak memiliki garasi.
Sedangkan mereka yang tidak setuju adalah sangat keberatan dengan aturan tersebut, yaitu mengapa beli mobil harus bawa surat keterangan punya garasi? Apakah berikutnya nanti akan keluar pula sebuah aturan bagi mereka yang akan membeli pakaian harus membawa juga surat pernyataan memiliki lemari pakaian?
Intinya adalah peraturan tersebut sangat tidak logis. Mereka menekankan, tentang mengapa yang membeli mobil yang harus dibatasi, sementara sang penjual mobil berada dalam ruangan yang sangat bebas?
Terlepas dari pro dan kontra masalah aturan tersebut, sebenarnya ada sebuah pelajaran yang menarik yang dapat diperoleh dari keluarnya aturan tersebut. Sebuah pemikiran tentang betapa banyak sekali hubungannya antara mobil dengan garasi dan ruang publik.
Ada sebuah jaring penghubung yang semakin lama menjadi semakin erat dan rapat yang kemudian memunculkan permasalahan serius. Apabila hal ini didalami lebih jauh lagi, maka sebenarnya masyarakat para pengguna mobil dan otoritas pemerintah pengelola ruang publik secara tidak langsung mendapatkan pelajaran betapa produk teknologi ternyata memang tidak bisa ditangani secara sepotong-sepotong.
Contoh sederhana yang dapat disajikan adalah tentang sebuah tulisan menarik mengenai kisah seorang miliarder yang menginginkan dan kemudian berhasil memiliki “private luxury jet aircraft”, pesawat terbang jet mewah pribadi.
Saat ditanyakan kepadanya, kapan saat yang paling berbahagia berkenaan dengan “private jet” yang Anda miliki? Jawabannya sangat mengejutkan. Dia mengatakan bahwa saat yang paling membahagiakan adalah di kala sang “private jet” sudah laku terjual lagi.
Jawaban singkat yang mengandung banyak makna. Ternyata bukan soal pengeluaran uang yang tinggi, akan tetapi lebih kepada “kurangnya pengetahuan” yang dimilikinya tentang pesawat terbang.
Sang miliarder ternyata baru tahu bahwa memiliki sebuah jet pribadi tidak berarti dia bisa berangkat setiap saat dia mau bepergian. Pesawat terbang ternyata memiliki prosedur standar dari penggunaan yang sangat bergantung kepada jam terbang yang akan digunakan.
Berikutnya lagi, Ia juga baru tahu bahwa pesawat terbang tidak cukup untuk isi oli dan isi bahan bakar kemudian terbang. Pesawat terbang ternyata punya standar siklus perawatan yang rada rumit berkenaan dengan mesin dan peralatan navigasi serta kerangka pesawat beserta sistem air conditioning di cabin dan lain-lainnya.
Pesawat terbang ternyata memerlukan pilot yang setiap 6 bulan harus dicek ulang keterampilannya dan juga dicek ulang kondisi kesehatannya. Sang Pilot ternyata juga harus melaksanakan “refreshing training” bila pada kurun waktu tertentu tidak terbang alias nganggur.
Pilot ternyata harus mempersiapkan terlebih dahulu pesawat terbang yang akan digunakan untuk terbang, bersama dengan petugas teknik yang bertanggung jawab terhadap kesiapan pesawat untuk terbang. Pendeknya “sangat ribet”, jauh di luar perkiraannya yang mengira bahwa punya pesawat terbang sendiri menjadi lebih mudah.
Akhirnya sampai kepada kesimpulan bahwa jauh lebih “simple” bepergian dengan maskapai penerbangan saja. Maka dijuallah pesawat terbang jet mewah pribadi yang ternyata hanya membuat pusing belaka.
Menjual pesawat terbang ternyata juga baru diketahui bahwa tidak mudah, maka jadilah saat yang paling berbahagia adalah pada saat sang pesawat terbang “laku-terjual kembali”.
Itu semua sekadar gambaran bahwa ternyata dalam abad teknologi ini, semua keputusan yang diambil harus berkolerasi erat dan berlandas kepada knowledge. Pengambilan keputusan tanpa memiliki cukup pengetahuan yang melatarbelakanginya, dipastikan akan menghasilkan sebuah kondisi yang “chaotic” alias amburadul.
Contoh ekstrim dari hal ini adalah peran CEO dari pabrik pesawat terbang dan atau CEO dari maskapai penerbangan serta juga pemegang otoritas penerbangan. Penerbangan adalah refleksi dari ujud kemajuan teknologi yang membutuhkan pengetahuan mendalam untuk dapat sukses dalam mengelolanya.
Mereka yang sukses adalah mereka yang pasti memiliki “aviation background knowledge” yang cukup, atau mereka yang memiliki tim solid dalam jajaran manajemennya yang menguasai dengan baik pengetahuan tentang penerbangan. Sejarah mencatat tentang banyak hal tentang itu semua.
Jadi sekali lagi, mengapa beli mobil harus membawa surat pernyataan punya garasi di rumah, itu adalah “pelajaran mahal” dari sebuah perjalanan panjang pengelolaan yang kurang ditopang oleh latar belakang pengetahuan yang cukup. Kita semua harus mau peduli terhadap fenomena ini.
Seorang Novelis kenamaan bernama William Thomas Gaddis mengatakan bahwa: “Kebodohan adalah hasil dari sebuah pengembangan yang tidak disengaja dari sebuah ketidakpedulian.”
[wp_ad_camp_1]