Untuk kesekian kalinya Indonesia gagal untuk kembali menjadi “anggota dewan” di ICAO (International Civil Aviation Organization) pada bulan September 2016 lalu di Montreal.
Dengan demikian maka sejak tahun 2001 hingga saat ini usaha yang dilakukan Indonesia untuk duduk kembali menjadi anggota “member council” di ICAO masih belum membawa hasil.
Terakhir Indonesia duduk dalam “anggota dewan” di ICAO pada tahun 1998. Penentuan “anggota dewan” ICAO dilaksanakan setiap 3 tahun sekali. Sebenarnya harapan untuk dapat kembali menjadi “anggota dewan” di ICAO pada September lalu cukup besar.
Beberapa alasan diantaranya adalah bahwa Indonesia baru saja berhasil duduk kembali pada jajaran negara-negara di kelompok kategori 1 penilaian FAA (Federal Aviation Administration).
Seperti telah diketahui bersama bahwa sejak tahun 2007 Indonesia telah terpuruk ke kategori 2 yang berarti bahwa Indonesia dinilai oleh FAA sebagai negara yang tidak memenuhi persyaratan “Civil Aviation Safety Regulation” seperti yang ditentukan oleh ICAO.
Kerja keras beberapa tahun belakangan ini sudah membuahkan hasil yaitu Indonesia sudah diakui kembali oleh FAA sebagai negara yang “comply” dengan International Civil Aviation Safety Standard dari ICAO, walau tentu saja masih ada beberapa catatan yang mengiringinya.
Keberhasilan ini tentu saja akan memberikan nilai tambah bagi Indonesia dalam upayanya untuk meraih kembali status “anggota dewan” di ICAO.
Pada sisi lain, selama lebih kurang setahun belakangan, untuk pertama kalinya dalam sejarah, Menteri Perhubungan menunjuk seorang utusan khusus guna berkeliling melobi negara-negara anggota ICAO lainnya agar mau mendukung Indonesia menjadi “anggota dewan” ICAO.
Sebagai seorang yang sudah banyak dikenal di kancah global dan juga sebagai figur “diplomat” yang cerdas, sang utusan khusus bersama tim, walau belum banyak berkubang dalam masalah-masalah aviation telah bekerja keras untuk memperoleh dukungan dalam upaya tersebut.
Sebuah usaha yang patut dihargai dan diapresiasi dari seorang Menhub yang telah berusaha sungguh-sungguh untuk menaikkan derajat Indonesia di pentas penerbangan sipil global.
Targetnya adalah Indonesia kembali ke Kategori 1 FAA sekaligus dapat meraih status “anggota dewan” lagi di ICAO.
Sampai titik ini, jelas sudah terlihat kesungguhan Indonesia dalam mengejar kehormatannya di dunia penerbangan sipil Internasional. Sayangmya , baru kategori 1 FAA yang berhasil diraih sedangkan status “anggota dewan” ICAO belum diperoleh kembali.
Apapun hasilnya, kita patut berbangga hati dan menghargai pencapaian dari kerja keras dalam 2 tahun belakang itu.
Status negara anggota ICAO yang duduk dalam anggota dewan memiliki arti yang sangat penting dalam berbagai aspek. Salah satu diantaranya adalah dapat berperan sekaligus lebih diperhitungkan dalam berbagai kebijakan yang akan dikeluarkan oleh lembaga penerbangan internasional tersebut.
Ada beberapa kriteria bagi negara untuk dipilih sebagai anggota dewan ICAO, diantaranya dinilai telah memberikan kontribusi nyata bagi perkembangan “global air transportation system”.
Di samping itu penilaian juga dilihat dari seberapa besar dan strategisnya kolom udara yang dimiliki oleh sebuah negara. Sebagai catatan, dalam kurun waktu tahun 1968 hingga 1998, Indonesia duduk mapan sebagai “anggota dewan” ICAO.
Dalam rentang waktu itu, Indonesia tercatat memiliki cukup banyak kontribusi kepada dunia penerbangan internasional dalam pengembangan sistem transportasi udara di pentas global khususnya di kawasan.
Satu diantaranya, Indonesia dengan konsisten mengembangkan dengan baik tatanan pendidikan bagi generasi muda di banyak sektor bidang pendidikan dan latihan penerbangan sipil.
Kala itu API (Akademi Penerbangan Indonesia) yang bernaung di bawah Kementrian Perhubungan dan kemudian berubah menjadi LPPU (Lembaga Pendidikan Perhubungan Udara) mampu menghasilkan tenaga-tenaga berkualitas kelas dunia, antara lain pilot , teknisi dan tenaga ATC (Air Traffic Controller).
Pengakuan di tingkat internasional itu indikasinya adalah API/LPPU memperoleh kepercayaan dari cukup banyak negara yang mengirimkan anak-anak mudanya untuk belajar dan berlatih di API/LPPU milik Kementrian Perhubungan.
Demikian pula pengelolaan industri penerbangan sipil nasional secara keseluruhan dapat dikelola dengan taat azas yang secara relatif terlihat dari disiplin tinggi dari para pelaku stake holder penerbangan.
Kegiatan pengawasan yang sangat baik terhadap kinerja maskapai-maskapai penerbangan nasional serta kecelakaan yang dinilai masih berada dalam batas ambang batas yang wajar.
Dengan alasan tersebut maka kedudukan Indonesia sebagai “anggota dewan” di ICAO dapat dipandang sebagai sebuah “keharusan” berkenaan dengan performance dari tampilan dunia penerbangan sipil Indonesia pada waktu itu.
Dalam penggalan waktu itu tidak pernah terdengar adanya upaya lobi-lobi yang dilakukan oleh Indonesia dalam usahanya untuk duduk sebagai anggota dewan di ICAO.
Sekali lagi penekanannya adalah, dengan unjuk kerja yang “prima” maka kemungkinan besar upaya lobi-lobi tidak harus dilakukan dengan cara-cara yang istimewa.
Lobi memang pasti tetap dibutuhkan, namun performa “prima”, menampilkan kualitas kerja kiranya akan menjadi sebuah faktor yang sangat menentukan dalam memberikan keyakinan kepada negara-negara lain bahwa Indonesia memang negara yang sangat penting untuk duduk dalam anggota dewan di ICAO.
Siapa saja yang menjadi diplomat dipastikan akan dengan senang hati hadir dalam jamuan makan istimewa yang lengkap dengan sajian “wine” untuk kemudian mengutarakan janji-janji akan mendukung upaya tuan rumahnya.
Akan tetapi bila saatnya tiba memberikan suara , kiranya sajian makan malam dengan aroma wine sekelas apapun agak sulit untuk dapat diandalkan, karena prosesi pengumpulan suara berlangsung dengan cara tertutup.
Mudah-mudahan dari kegagalan yang telah berulang kali itu, kita dapat memetik pelajaran berharga untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Strategi perjuangan tampaknya perlu disesuaikan dengan mengikuti perkembangan yang terjadi. Tekad untuk bersama-sama meningkatkan kualitas dunia penerbangan kita harus dicanangkan ulang agar lebih mudah dapat mencapai cita-cita bersama.
Kementrian Perhubungan yang tengah menghadapi tantangan yang cukup besar kiranya sangat memerlukan dukungan yang sungguh-sungguh dari berbagai pihak terkait untuk dapat meraih kembali performa kelas dunianya.
Tahun ini, kita sudah berhasil masuk ke kategori 1 FAA. Tantangan berikutnya adalah menata ulang kemampuan dalam mengontrol wilayah udara kedaulatan nasional agar dapat berada dalam genggaman penuh dari otoritas penerbangan Indonesia sendiri.
Indonesia yang memiliki wilayah udara yang sangat luas dan bernilai strategis, ternyata hingga kini belum juga memperoleh kepercayaan dunia untuk duduk dalam ”anggota dewan” di ICAO.
Bisa saja salah satu penilaiannya adalah, sebagai negara yang memiliki wilayah udara yang luas itu, ternyata Indonesia masih dinilai belum mampu mengelolanya sendiri.
Contoh yang tampak di depan mata adalah beberapa wilayah udara kedaulatan Indonesia masih memerlukan bantuan negara lain, yaitu Singapura dan Malaysia dalam manajemen peyelenggaraan tata kelola pengaturan lalu lintas udara penerbangan sipilnya.
Wilayah udara Indonesia memang sangat luas dan bernilai strategis, namun kita belum terlihat dapat menunjukkan kemampuan yang sesuai dengan luas wilayah udaranya. Sebuah tantangan yang sangat melekat kepada “dignity” sebuah bangsa.
Perjuangan ke arah itu masih harus dilanjutkan sampai kehormatan dan kebanggaan sang Ibu Pertiwi dan Bapak Angkasa dapat diraih kembali.
Kompas.com
Editor : Wisnubrata