Jumat (29/7/2016) siang, saya sempat meluncurkan buku berjudul “Sengketa di Lanud Halim Perdanakusuma”.
Buku ini adalah rangkuman dari catatan-catatan saya tentang Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma yang telah dimasukkan dalam kajian strategis di HSC (Hendropriyono Strategic Consulting).
Atas inisiatif Chairman dari HSC, Bapak Hendropriyono, kumpulan catatan tersebut kemudian dibuat menjadi sebuah buku.
Pada kesempatan peluncuran tersebut yang mengambil tempat di Kelab Eksekutif Persada Halim Perdanakusuma, telah hadir banyak teman dan sahabat serta handai tolan, serta beberapa tokoh yang memiliki perhatian cukup besar terhadap masalah-masalah keudaraan.
Terlihat antara lain Prof. Dr. Hikmahanto Juwana, ahli Hukum Internasional, profesor termuda dalam sejarah Fakultas Hukum Universitas Indonesia Dr. Yasidi Hambali, ahli hukum dan politik kedirgantaraan Dr. Kusnadi Kardi dari Air Power Club Indonesia, pakar hukum laut internasional Prof. Dr. Hasjim Djalal, beberapa duta besar, dan tokoh-tokoh lainnya.
Di samping itu, di antara yang hadir terlihat juga conductor beken “Twilite Orchestra” Addie MS.
Di samping ritual peluncuran buku pada tanggal 29 Juli 2016 tersebut, Prof. Dr. H.E. Saefullah Wiradipradja, S.H., LL.M., seorang guru besar dan ahli hukum udara dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, telah menyempatkan diri pula untuk membuat resensi khusus dari buku “Sengketa di Lanud Halim” tersebut.
Berikut ini adalah tulisan Profesor Saefullah Wiradipradja:
Resensi atas Buku Marsekal Chappy Hakim “Sengketa di Lanud Halim Perdanakusuma”
Oleh Prof (em) Dr. E. Saefullah Wiradipradja, S.H., LL.M.
Guru besar Hukum Udara dan Ruang Angkasa FH UNPAD
Buku “Sengketa di Lanud Halim Perdanakusuma” karangan Marsekal Chappy Hakim (mantan KSAU), menurut pendapat saya, adalah buku yang sangat perlu dibaca dan dipahami oleh mereka yang menaruh perhatian terhadap atau berhubungan dengan masalah penerbangan, termasuk para akademisi, karena menyangkut kepentingan berbagai pihak.
Dunia penerbangan dewasa ini bukan hanya kebutuhan golongan elit masyarakat tertentu saja, tapi sudah merupakan kebutuhan masyarakat luas, baik dari kelompok pemerintahan, pengusaha, mahasiswa, pegawai biasa, petani, nelayan, pedagang kecil, dan sebagainya, misalnya saja bila mereka akan menunaikan ibadah haji/umroh.
Buku ini membahas masalah pelabuhan udara (airport), dan secara khusus tentang pangkalan udara (lanud) militer yang juga digunakan oleh penerbangan sipil-komersial.
Pelabuhan udara (airport) adalah sarana vital bagi dunia penerbangan. Tanpa pelabuhan udara pesawat udara, baik sipil maupun militer, tidak mungkin dapat terbang (take off) atau mendarat (landing), atau untuk pemberangkatan (embarkasi) dan tujuan (disembarkasi/destinasi) para pengguna penerbangan.
Sebagai titik-tolak pembahasan buku ini adalah peristiwa (incident) tabrakan antara pesawat Batik Air dengan pesawat Trans Nusa pada tanggal 4 April 2016. Juga disinggung kejadian pada tanggal 7 April 2016 tentang hampir terjadi tabrakan antara pesawat Batik Air dengan pesawat Trans Wisata.
Kasus-kasus tersebut menyadarkan kita bagaimana faktor keamanan dan keselamatan penerbangan dan sekaligus membuka mata kita bagaimana pengelolaan pelabuhan udara di negara kita. Khususnya pengelolaan pelabuhan udara yang digunakan untuk kegiatan militer dan kegiatan penerbangan sipil-komersial.
Marsekal Chappy Hakim, dalam buku ini membahas tentang status dan fungsi pelabuhan udara Halim Perdanakusuma, sebagai Pangkalan Udara (Lanud) Militer milik TNI Angkatan Udara RI yang juga difungsikan sebagai pelabuhan udara (bandar udara) sipil-komersial, sebagai akibat bandara Sukarno-Hatta sudah overloaded.
Demikian penting dan strategisnya peran pelabuhan udara (airport) bagi kegiatan penerbangan, baik sipil maupun militer, maka faktor keamanan dan keselamatan penerbangan merupakan conditio sine quanon bagi kehidupan dunia penerbangan itu sendiri.
Tanpa adanya jaminan keselamatan dan keamanan penerbangan tidak mungkin ada orang atau badan atau siapapun yang akan menggunakan jasa penerbangan.
Prof. (em) Dr. Diederiks-Vershoor, guru besar Hukum Udara dari Universitas Leiden, Belanda menyatakan beberapa permasalahan berkaitan dengan pelabuhan udara, sebagai berikut:
a. Problems concerning the ownership of the airport, physical obstacles in the surrounding area, easements, etc.;
b. The liability of the airport operator in case of accidents, a liability which in most cases comes under civil law. It must be
remembered , though, that this liability is quite distinct from that incurred by the air traffic control services;
c. The juridical form for airport-management (e.g. incorporation), and for allied requirements such as responsibility for maintenance; and
d. The legal relationship between the users of the airport and the airport management, and their relationship “vis-à-vis” the government authorities, the airport police, etc. [1]
Permasalahan yang dikemukakan oleh Prof. Diederiks-Verschoor di atas sangat relevan dengan persoalan yang diungkap dalam buku yang ditulis Marsekal Chappy Hakim kali ini.
Jadi buku ini mengemukakan permasalahan yang sangat aktual yang terjadi di pelabuhan udara Indonesia.
Permasalahan yang sama itu juga menjadi perhatian para ahli penerbangan secara internasional.
Dengan demikian, peristiwa yang terjadi di pelabuhan udara (Lanud) Halim Perdanakusuma tanggal 4 dan 7 April 2016 tersebut sudah diketahui dan menjadi perhatian dunia penerbangan internasional.
Karena itu, penyelesaiannya perlu ditangani secara serius dan tuntas. Apabila tidak, pengaruhnya akan berdampak pada pandangan internasional terhadap dunia penerbangan nasional Indonesia.
Selanjutnya, perlu diperhatikan pula bahwa berdasarkan UU Penerbangan No. 1 Tahun 2009, Bandar Udara dan Lanud yang digunakan secara bersama harus memperhatikan hal-hal berikut:
a. Kebutuhan pelayanan jasa transportasi udara;
b. Keselamatan, keamanan, dan kelancaran penerbangan;
c. Keamanan dan pertahanan negara; serta
d. peraturan perundang-undangan [2].
Selain itu Bandar udara dan Lanud yang digunakan secara bersama itu harus ditetapkan dengan Keputusan Presiden [3].
Perlu diteliti apakah penggunaan Lanud Halim Perdanakusuma sebagai Bandara Sipil-Komersial sudah ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Presiden?
Kekeliruan atau ketidaktepatan dan tidak dilakukan dengan serius penanganan masalah ini akan berdampak ketidakpercayaan luar negeri kepada dunia penerbangan Indonesia.
Hal ini dengan sendirinya akan berpengaruh signifikan ke dalam berbagai bidang, seperti pariwisata, hubungan perdagangan internasional, hubungan (timbal-balik) penerbangan internasional, dan sebagainya.
Dengan demikian, jelas akan merugikan dan berdampak negatif pada perekonomian Indonesia, lebih jauh lagi akan berdampak luas terhadap kehidupan negara Indonesia di masa depan.
Apa yang disampaikan Marsekal Chappy Hakim dalam buku ini merupakan peringatan dini (early warning) terhadap berbagai kemungkinan yang tidak diharapkan oleh Indonesia di masa depan, khususnya bagi dunia penerbangan dan perekonomian bangsa kita.
1 I.H.Ph. Diedriks_Verschoor, Intorduction to Air Law, Eight Revised Edition, Kluwer Law International, The Netherlands, 2006., p. 32.
2 Lihat UU Penerbangan, Pasal 57 (3).
3 Ibid, Pasal 259.
Demikianlah tulisan dari Profesor Saefullah yang sarat makna. Teriring ucapan terima kasih banyak kepada Bapak Saefullah yang di sela-sela kesibukannya masih sempat juga untuk menulis resensi buku saya dengan pendekatan yang sangat positif. Thanks a lot Prof!
Dalam kesempatan ini saya ingin menyampaikan juga banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah memungkinkan diterbitkannya buku “Sengketa di Lanud Halim” serta terselenggaranya dengan meriah acara peluncuran buku di Persada Halim Perdanakusuma tanggal 29 Juli 2016.
Mudah-mudahan buku tersebut dapat bermanfaat bagi siapa saja yang berkepentingan dalam urusan penerbangan di negeri ini.
Jakarta, 30 Juli 2016
Editor : Tri Wahono – kolom kompas.com tanggal 31 Juli 2016
Ikuti Tulisan Chappy Hakim tentang Halim