Persepsi Bandara Halim Perdanakusuma Jakarta lebih pada nilai komersial dibandingkan fungsi pertahanan dan keamanan negara (hankamneg) terasa kian mantap. Ini karena ada dua momentum terkait Bandara Soekarno-Hatta.
Pertama, ketika digunakan sebagai bandara internasional “sementara” menunggu selesainya pembangunan bandara tersebut tahun 1980. Kedua, sewaktu “optimalisasi pangkalan udara Halim” bagi penerbangan sipil berjadwal tahun 2014.
Hal tersebut sangat disesalkan oleh Chappy Hakim, sehingga terbitlah buku karyanya “Sengketa di Lanud Halim Perdanakusuma”. Menurut mantan KSAU ini, posisi dan kondisi Halim yang berkembang itu ternyata telah menempatkannya tergiring pada posisi yang sangat rawan dari perspektif hankamneg.Dominannya penerbangan sipil komersial pun, kata dia, menjadikan Halim sangat rawan dalam aspek “national security awareness” atau kesadaran akan keamanan nasional.
“Ada dua hal yang sangat prinsip telah diabaikan begitu saja,” tulis Chappy dalam buku yang diluncurkan 29 Juli ini di Jakarta, bertepatan dengan Hari Bakti TNI AU. Dua hal yang terabaikan itu adalah kepentingan latihan dan operasi penerbangan angkatan udara, serta faktor keselamatan penerbangan sipil. Hal ini terbukti, ketika pada 4 April lalu terjadi tabrakan pesawat udara milik Batik Air dan milik TransNusa di landasan Halim.
AM Hendropriyono, Founder & Chairman Hendropriyono Strategic Consulting yang menerbitkan buku mengatakan, Halim yang sangat besar nilai strategis “national security”-nya, sangat tidak layak bila sekadar untuk memfasilitasi kepentingan jangka pendek yang mengejar pertumbuhan penumpang semata. “Diharapkan buku ini dapat membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya nilai kewaspadaan nasional,” tuturnya.
Sumber : Angkasa.com
Author: Reni Rohmawati