Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti tak terima sikap pemerintah China yang mengintervensi penegakkan hukum pada kapal pencuri ikan berbendera China, yakni KM Kway Fey 10078, di Laut Natuna. Kapal ini melanggar regulasi “Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing”.
Menurut Susi, sikap China yang menyebut perairan Natuna sebagai wilayah historical traditional fishing ground milik China dinilai tidak benar. “Klaim pemerintah China tidak betul dan tidak mendasar,” ujar Susi dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Selasa (22/1/2016).
Jauh dari rasa inferior atau rendah diri, justru Menteri Perikanan Susi Pudjiastuti mengancam akan membawa China ke Mahkamah Internasional menyusul protes Indonesia atas langkah kapal penjaga pantai China di laut Natuna pada akhir pekan lalu.
Negeri ini memang kurang berkeinginan untuk mau belajar dari sejarah. Sudah puluhan, ratusan bahkan mungkin ribuan tahun lalu kawasan Nusantara dan Asia Timur jauh sudah menjadi sapi perahan negara-negara kolonial, karena tidak memiliki kekuatan laut yang cukup kuat untuk membendung dalam menghadapi serbuan kekuatan laut negara-negara Barat.
Hingga detik ini, kita bahkan tidak mampu membangun sebuah kekuatan laut untuk menjaga kedaulatan negara di laut. Perairan kita dijarah para pencuri ikan dan kekayaan laut lainnya serta nelayan-nelayan kita kerap ditangkapi petugas keamanan laut negara tetangga.
Menteri Susi telah bertindak untuk berusaha mengembalikan kedaulatan, dignity, kehormatan milik Sang Ibu Pertiwi di perairan Nusantara.
Perairan di laut Natuna yang terletak tidak jauh dari kawasan Selat Malaka adalah kawasan rawan perbatasan Negara Republik Indonesia. Kawasan tersebut merupakan lintasan logistik pelayaran Internasional paling ramai yang sekaligus bersinggungan dengan banyak perbatasan Negara tetangga.
Apa yang dikerjakan oleh Menteri Susi sebenarnya akan jauh lebih ringan apabila dibantu dengan pengawasan dan pengamatan dari udara. Kawasan perbatasan rawan dari sebuah negara di mana pun akan selalu diawasi dan diamati dengan ketat melalui udara.
Pengamatan yang dikenal antara lain dengan kegiatan Patroli Udara rutin penjaga keamanan perbatasan. Sayangnya di kawasan Selat Malaka dan daerah perairan Laut Natuna, wilayah udaranya sudah sejak tahun 1946 berada dibawah kekuasaan otoritas penerbangan Singapura.
Itulah yang menyebabkan, jangankan patroli udara wilayah perbatasan, sedangkan menghidupkan mesin saja pesawat terbang kita di Natuna harus memperoleh ijin terlebih dahulu dari pihak otoritas penerbangan Singapura.
Lebih parah lagi, karena ada sementara para pihak yang masih bersikeras, bahwa kondisi demikian itu bukanlah masalah kedaulatan namun hanya soal keselamatan penerbangan semata.
Diikuti dengan argumentasi yang menyesatkan bahwa ada juga wilayah negara lain yang pengaturan wilayah udaranya berada di otoritas penerbangan kita yaitu di Pulau Christmas dan di atas Timor Leste.
Sebuah pendapat sesat karena menyamakan begitu saja nilai strategis kawasan pulau Christmas dan Timor Leste dengan area Selat Malaka. Tidak itu saja, dikuatkan pula dengan argumentasi bahwa kita memang belum memiliki cukup dana dan sumber daya manusia yang berkualitas untuk mampu mengerjakan tugas mengatur lalu lintas penerbangan di Selat Malaka itu.
Bayangkan, sudah sejak tahun 1946 mereka tetap masih merasa belum berkemampuan! Benar-benar satu refleksi dari sikap rendah diri alias inferior.
Kawasan perbatasan rawan atau perbatasan kristis (critical border) di Selat Malaka sebagian besar terdiri dari perairan. Critical border dalam perjalanan sejarah dunia terbukti sangat besar berpotensi bagi kemungkinan terjadinya sengketa perbatasan (border dispute) yang sangat mungkin dapat menimbulkan terjadinya perang.
Dengan demikian maka di Selat Malaka, seyogyanya harus dijaga sebuah kekuatan laut yang mumpuni, yang mampu menjaga kedaulatan negara di laut. Namun harus diingat bahwa betapapun besarnya kekuatan laut akan menjadi sia-sia apabila tidak memperoleh perlindungan udara. Kekuatan laut menjadi tidak berarti samasekali tanpa hadirnya air superiority dan air supremacy.
Gebrakan yang dilakukan oleh Menteri Susi dalam usahanya akhir-akhir ini untuk membasmi kapal-kapal pencuri ikan, antara lain dengan menenggelamkan kapal pencuri ikan yang memasuki wilayah territorial Indonesia sebenarnya merupakan upaya yang utuh dari penegakkan kedaulatan negara di laut.
Sayangnya, dalam kasus insiden di Laut Natuna, terbukti bahwa tanpa dukungan dari unsur kekuatan udara maka pekerjaan Menteri Susi menjadi sangat tidak mudah.
Namun harus diakui sebagai sebuah realita bahwa dengan segala kelebihan dan kekurangannya, kiranya Menteri Susi yang memimpin Kementrian Kelautan dan Perikanan patut di acungi dua jempol.
Kinerja Kementrian Kalautan dan Perikanan telah menunjukkan sebagai sosok dengan postur yang berdiri paling depan dalam jajaran garda penjaga kedaulatan negara di laut.
Sepertinya, dengan kondisi pengaturan lalu lintas udara di wilayah kedaulatan Republik Indonesia pada kawasan Selat Malaka yang telah berlangsung sejak 1946 berada di pihak asing, dan juga masih banyaknya penerbangan tanpa ijin diwilayah RI, maka kita memang memerlukan satu lagi menteri setara dengan Menteri Susi yang harus memimpin Kementrian Keudaraan dan Pesawat terbang.
Kementrian yang unjuk kerjanya tampil dan berada pada jajaran garda terdepan dalam mengawal kedaulatan negara di udara.
Oleh : Chappy Hakim
(Dimuat di – Kompas.com , Editor – Wisnu Nugroho)