Daerah Selat Malaka, di wilayah udara kedaulatan Republik Indonesia, termasuk kawasan di atas pulau Natuna, Tanjung Pinang sampai di sekitar Riau kepulauan pengaturan lalu lintas udaranya berada di pihak otoritas penerbangan Singapura. Wilayah udara ini berada atau menjadi bagian dari FIR (Flight Information Region) Singapura.
Dengan status yang demikian, maka semua penerbangan di wilayah udara tersebut diatur oleh pihak otoritas penerbangan Singapura.
Jangankan berbicara tentang rute penerbangannya, bahkan sejak dari menghidupkan mesin saja, pesawat terbang di wilayah itu harus memperoleh ijin terlebih dahulu. Dengan perkataan lain dapat disebut bahwa pergerakan operasi penerbangan di situ, walau berada di rumah sendiri, kita harus meminta ijin terlebih dahulu kepada Singapura.
Sebuah kejanggalan yang sangat amat aneh bin ajaib.
Artinya adalah, dalam melakukan operasi penerbangan di wilayah itu, Indonesia berhadapan dengan banyak keterbatasan dan ketergantungan, karena kekuasaan mengatur lalu lintas udara berada di otoritas penerbangan Singapura.
Hal ini sudah berlangsung sejak tahun 1946 yaitu sejak bahkan Singapura sebagai negara pun belum ada di permukaan bumi ini. Sayangnya hingga saat ini, sudah lebih dari 70 tahun kita merdeka, kondisi itu masih belum berubah juga.
Yang menyedihkan adalah, sampai saat ini masih juga ada beberapa pihak yang melihat itu sebagai hal yang biasa-biasa saja. Dikatakan bahwa hal itu adalah sebagai masalah yang hanya berhubungan dengan “Aviation Safety” belaka.
Wilayah udara FIR itu bukan soal kedaulatan tetapi masalah “Aviation Safety.” Itu biasa, banyak negara-negara di Eropa yang wilayah kedaulatannya juga di atur oleh negara lainnya. Di Indonesia juga, ada wilayah kedaulatan Australia disektor Christmas Island yang pengaturannya berada dibawah Otoritas penerbangan RI, jadi biasa dan tidak apa-apa karena sekali lagi itu hanya masalah safety.
Kita sendiri dalam hal mengurus wilayah udara di Soekarno-Hatta saja belum bisa beres, jadi untuk apa mengurus FIR Singapura? Apabila diserahkan juga, kita tidak akan mampu untuk mengurusnya
Banyak yang tidak menyadari, bahwa RI adalah merupakan negara terbesar dan terluas di kawasan Asean. RI adalah terletak pada lokasi yang sangat strategis terutama dalam konteks perhubungan udara di kawasan Asean.
Dari sisi ini saja, tentunya sangat tidak layak bila pengaturan wilayah udara kedaulatan RI diserahkan begitu saja kepada satu negara kecil di kawasan perbatasan yang sangat padat dalam konteks jalur perdagangan global serta berbatasan dengan banyak negara lain di sekelilingnya.
Ini lebih dari sekedar mengandung makna strategis, komersial dan komoditi semata, akan tetapi lebih jauh dari itu, ini adalah masalah kehormatan sebagai bangsa, masalah nasionalisme, masalah harga diri, masalah patriotisme, masalah kebanggaan sebagai bangsa besar, masalah keperdulian terhadap kebanggaan sebagai bangsa bahari (ingat kita adalah negara kepulauan terbesar di seantero jagad ini).
Kita bukanlah Eropa! Ini adalah masalah dignity! Masalah kesadaran berbangsa, kesadaran akan sikap bermartabat sebagai satu nation! Kebanggaan sebagai Saya Orang Indonesia!
Belum lagi bila kita sudah memasuki pembahasan tentang kecintaan terhadap negara bangsa yang otomatis membuat setiap warga negaranya memiliki tugas melekat untuk mempertahankan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia!
Tidak bisa disangkal oleh siapapun dan oleh teori manapun tentang sistem pertahanan negara yang bisa mengatakan bahwa kawasan Selat Malaka adalah bukan kawasan perbatasan kritis yang bernilai sangat strategis/critical border yang harus menjadi bagian utama perhatian RI dalam menggelar sistem pertahanan nasionalnya.
Ingat, penyebab perang terbesar yang terjadi sepanjang sejarah dunia, utamanya adalah “border dispute”. Jadi, sangatlah naïf, bila kemudian ada yang berkata dengan enteng bahwa itu hanya soal biasa dan itu hanyalah soal “aviation safety” belaka.
Mereka ini tidak menyadari benar tentang nilai strategis dan nilai ekonomi dari wilayah udara kedaulatan Republik Indonesia di wilayah Selat Malaka tersebut. Nilai Strategis dan nilai ekonomi yang bersandar kepada nilai harga diri kita sebagai sebuah bangsa.
Apabila coba dijelaskan tentang arti penting ini, maka mereka justru mengatakan dengan tanpa beban sama sekali bahwa tidaklah menjadi masalah yang perlu menjadi perhatian. Dan lebih parah lagi, biasanya dilanjutkan dengan penjelasan bahwa tidak mengapa, karena toh kita tidak atau belum memiliki cukup dana serta tidak atau belum memiliki cukup tenaga ahli profesional yang sanggup untuk mengerjakan semua itu yang sampai kini masih dikerjakan oleh pihak Singapura.
Di sinilah tercermin refleksi dari satu sikap yang sangat merendahkan diri sendiri.
Dr Paul Gitwaza mengatakan bahwa, “Inferiority complex begins when you agree that you are nothing. No one is responsible or author of it except yourself.”
Masalah dana dan masalah sumber daya manusia adalah dua hal yang dapat diperjuangkan tergantung kepada kemauan kita sendiri, banyak jalan dan cara untuk memperolehnya tergantung sekali lagi kepada kemauan dan spirit serta semangat juang kita.
Sayangnya, kemauan dan spirit atau semangat juang memang tidak terdaftar dalam kamus orang-orang yang rendah diri.
Ayo bangun, ayo berjuang! Rasa rendah diri adalah jalan tol menuju bangsa kuli!
Jakarta 14 Maret 2016
Chappy Hakim