Amerika Serikat 2001
Sesaat setelah kejadian 911, Amerika Serikat melakukan kaji ulang mendalam tentang mengapa sampai kejadian itu bisa terjadi. Peristiwa 911 di tahun 2001 berupa empat rangkaian serangan teroris terkoordinasi hari Selasa 11 september 2001, ternyata dilakukan menggunakan 4 pesawat terbang komersial dari maskapai Amerika Serikat sendiri yaitu American Airlines dan United Airlines. Tragedi itu telah disebut antara lain sebagai “September 11 attacks”. Sesaat setelah kejadian, semua Air Force Base disiagakan menghadapi serangan dari udara, semua penerbangan komersial dan non komersial dilarang terbang. Satu pukulan berat bagi sistem keamanan nasional Amerika. Sejak itu Amerika merasa bahwa ternyata untuk keamanan nasionalnya, United States of America tidak cukup hanya memiliki Pentagon (Army, Navy, Marine Corps, Air Force, and Coast Guard), FBI dan CIA saja. Hasil kaji ulang tentang peristiwa 911 telah mengantar Amerika memutuskan untuk membangun institusi baru yang dinamakan sebagai Departement of Homeland Security dan kemudian disusul dengan membentuk badan baru yang antara lain untuk memperkuat FAA, Federal Aviation Administration dibidang keamanan transportasi nasional,dikenal sebagai TSA,Transportation Security Administration .Seluruh jaringan transportasi ditertibkan, semua jalur penerbangan komersial ditata ulang terutama koridor take off dan landing yang akan berada dalam pengawasan yang sangat ketat. Intinya, jalur penerbangan komersial didalam negeri telah dimasukkan dalam list atau daftar “national potential threat”. Semua Aerodrome, terutama gedung terminal airport penerbangan komersial berada dibawah pengawasan yang “super-ketat”.
Indonesia 2013
Setelah kejadian 911 di Amerika yang sangat tragis di tahun 2001 terjadi banyak perubahan di seluruh dunia. Salah satunya adalah bahwa peristiwa tersebut telah menyadarkan hampir seluruh Negara di permukaan bumi ini tentang ancaman serangan teroris yang dapat terjadi setiap saat. Itu menyebabkan pengamanan di hampir seluruh International Airport penyelenggara penerbangan komersial berubah drastis menjadi super ketat. Seluruh jaringan kegiatan penerbangan komersial langsung berada dalam pengawasan yang ketat sekali. Banyak perubahan dilakukan untuk mengantisipasi agar jangan sampai peristiwa semacam 911 dapat terjadi dinegeri mereka masing-masing.
Sementara itu yang terjadi di Indonesia , sebagai akibat dari pertumbuhan penumpang pengguna jasa angkutan udara yang sangat pesat (tumbuh 10 -15% per tahun) , telah terjadi “chaos” dari penyelenggaraan penerbangan sipil terutama di Cengkareng yaitu delay penerbangan yang begitu parah, bahkan ada yang sampai 12 jam. Mengatasi hal ini, pemerintah terpaksa turun tangan dengan mengambil keputusan sebagai berikut :
Kamis, 21 November 2013. Pemerintah telah memutuskan mengoptimalkan kembali Bandara Halim Perdanakusuma sebagai bandara komersial pada awal tahun 2014, untuk mengurangi kepadatan jumlah lalu lintas penumpang di Bandara Soekarno-Hatta yang mencapai 146.000 orang per hari.
Ada dua catatan yang patut disayangkan dari keputusan ini yaitu pada saat sebelum mengambil keputusan tidak dilakukan terlebih dahulu diagnosa terhadap permasalahan yang terjadi. Tidak pernah terdengar untuk dilakukan kajian (semacam fact finding) mengapa bisa sampai terjadi delay yang begitu parah di Internasional Airport Cengkareng. Berikutnya adalah, keputusan memindahkan saja kelebihan penumpang dengan memutuskan Halim untuk dibuka kembali sebagai bandara komersial dilakukan tanpa persiapan sama sekali. Halim yang merupakan home base dari 4 skadron udara dan 1 skadron teknik pemeliharaan pesawat terbang plus skadron Paskhasau sebenarnya sudah sangat sempit dengan kondisi yang hanya memiliki Runway 1 buah, tidak terdapat Taxi-Way dan pelataran parkir pesawat yang jauh dari memadai. Sebagai Pangkalan Udara dia juga sudah terbebani dengan keberadaan kegiatan penerbangan Khusus/Charter dan General Aviation serta kegiatan kenegaraan lainnya seperti penerbangan VVIP Kepala Negara dan Tamu Negara setingkat. Tentu saja untuk hal ini, bila ditanyakan mengapa ke Halim? Maka jawaban klise yang standar pasti akan muncul adalah : “Untuk Kepentingan Nasional”.
Kepentingan Nasional
Pada tahun 1980-an, Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma demi kepentingan nasional untuk pertamakalinya digunakan sebagai bandara yang melayani penerbangan komersial. Apabila ditanya kepentingan nasional yang mana, maka jawabannya memang jelas dan gamblang yaitu kepentingan nasional seperti yang tercantum dalam GBHN dan Repelita tentang peningkatan dan pemindahan Kemayoran sebagai Internasional Airport ke Cengkareng yang pembangunannya membutuhkan waktu lama. Pada tenggang waktu menunggu penyelesaian Bandara Cengkareng, dan juga karena Kemayoran sudah mulai penuh maka untuk menjaga derajat keselamatan penerbangan, Halim ditingkatkan kemampuannya untuk dapat berperan sementara sebagai International Airport. Untuk membangun Cengkareng disaat itu sudah ada beberapa studi kelayakan yang hasilnya antara lain sbb :
Pada akhir Maret 1975, sebuah kajian tentang International Airport baru pengganti Kemayoran menyetujui rencana pembangunan 3 landasan pacu, jalan aspal, 3 bangunan terminal internasional, 3 terminal domestik dan 1 terminal Haji. Terminal domestik bertingkat tiga dibangun antara 1975-1981 dengan biaya US$465 juta dan sebuah terminal domestik termasuk apron dari 1982-1985 dengan biaya US$126 juta. Sebuah proyek terminal baru, diberi nama Jakarta International Airport Cengkareng (kode: JIA-C), dimulai.
Walau tidak sesuai benar dengan kajian yang dilakukan namun pembangunan Cengkareng telah berhasil dilaksanakan dengan baik. Itu sebabnya, maka kita pernah mengetahui bahwa memang benar Halim pernah berstatus sebagai bandara yang melayani penerbangan komersial untuk kepentingan nasional yaitu saat menunggu selesainya pembangunan Airport di Cengkareng.
Dengan memahami hal ini tentu saja bila kini Pangkalan Udara Halim dipergunakan (untuk kepentingan nasional) kembali sebagai bandara komersial maka pertanyaannya adalah kepentingan nasional yang mana? Kiranya agak sulit untuk menjawab pertanyaan ini, karena terlihat bahwa Halim dipergunakan kembali sebagai bandara komersial adalah lebih kepada atau lebih untuk kepentingan komersial dibanding untuk kepentingan nasional. Kepentingan nasional pada tahun 1980-an sangat jelas sandaran referensinya adalah rencana pembangunan nasional. Sementara terminologi untuk kepentingan nasional di tahun 2013 agak sulit mencari sandaran referensi nya, kecuali untuk mengakomodasi urusan komersial semata. Sementara itu diakhir masa pemerintahan SBY, Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional Republik Indonesia (DEPANRI). sebuah lembaga yang menangani masalah strategis tentang udara dan keudaraan telah masuk dalam daftar lembaga-lembaga Negara yang dinilai tidak berguna untuk kemudian dibubarkan.
Demikianlah, bila Amerika Serikat pasca 911 membentuk 2 institusi baru dalam jajaran pemerintahannya dan meningkatkan pengawasan terhadap seluruh aktifitas penerbangan komersial dengan meningkatkan kesiagaan Angkatan Udaranya, maka di Indonesia yang terjadi adalah, justru dipindahkannya penerbangan komersial ke Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma yang dipastikan akan mengambil porsi kegiatan penerbangan operasi dan latihan unsur skadron udara di Halim yang fasilitasnya terbatas itu. Disisi lain sebuah institusi yang sudah eksis dalam menangani penerbangan dan antariksa pada tingkat strategis, Depanri, dibubarkan.
Indonesia 2015
Perkembangan terakhir, belakangan ini, muncul surat keputusan MA tentang Lanud Halim, dan sementara itu banyak masyarakat melihat perubahan yang sangat signifikan di Bandara Halim yaitu beroperasinya pesawat-pesawat terbang Lion dan Batik Air memenuhi Bandara Halim Perdanakusuma. Ada kesan bahwa Halim telah menjadi “home-base” dari Lion dan Batik Air. Bahkan rumor yang beredar dari sumber yang layak dipercaya, kini di Halim tidak hanya sebagai bandara yang harus mengakomodasi kelebihan slot penerbangan di Cengkareng, akan tetapi sudah merupakan sarana penambahan slot penerbangan yang baru. Sebagai ilustrasi, penerbangan komersial take off dan landing pada bulan Januari 2015 telah mencapai lebih dari angka 2000. Sementara di bulan Oktober 2015, angka tersebut telah meningkat dua kali lipat yaitu lebih dari 4000 take off dan landing, di Halim yang hanya memiliki 1 runway saja itu. Dengan kepadatan 4000 take landing di satu landasan dalam sebulan, dapat dibayangkan kemana gerangan unsur skadron udara di Halim untuk dapat menjalankan latihan dan operasi penerbangan? Masih adakah pihak yang mau memikirkan tentang bagaimana “kebanggaan” para pilot muda “Indonesian Air Force” di Halim yang harus menyingkir ketepian untuk memberikan kebebasan pada penerbangan komersial? Realita ini jelas sekali menimbulkan banyak pertanyaan yang menanti jawaban. Apakah memang Halim sudah atau akan segera beralih status menjadi Bandara sipil? Lalu bagaimana dengan nasib Halim sebagai pangkalan Angkatan Udara . Jawaban yang tegas telah disampaikan oleh Kepala Staf Angkatan Udara dalam pernyataannya baru-baru ini yaitu antara lain bahwa : Halim akan tetap sebagai Pangkalan TNI Angkatan Udara.
Penegasan Kasau adalah sebuah refleksi dari ketegasan seorang prajurit saptamarga yang selalu akan taat atas perintah atasan. Angkatan Udara tidaklah mungkin “complain” tentang hal ini, lebih-lebih untuk persoalan yang ditempatkan dibawah bendera “kepentingan nasional”, walau kali ini kepentingan nasional tersebut terlihat jelas sekali sebagai lebih menjurus kepada kepentingan komersial. Bila benar-benar untuk kepentingan nasional yang jelas seperti di tahun 1980an, kiranya tidak ada yang menjadi persoalan.
Benar sekali bahwa tidak ada yang salah bila Halim dipergunakan juga untuk penerbangan komersial, akan tetapi untuk keperluan tersebut akan jauh lebih bijaksana bila sebelumnya dipersiapkan terlebih dahulu peningkatan fasilitas yang ada agar tidak begitu mengganggu keberadaan “sang penghuni rumah” (skadron udara dan skadron teknik pemeliharaan serta skadron paskhasau) yang kini terlihat sebagai terpinggirkan. Jauh lebih penting lagi adalah juga untuk mempersiapkan terlebih dahulu faktor keamanan (security) karena disana terdapat banyak instalasi penting yang rawan terhadap “sabotase” dan “terror”. Masalah Halim yang muncul belakangan ini pada hakikatnya hanyalah merupakan dampak ikutan dari amburadulnya pengelolaan penerbangan sipil nasional terutama Airport Cengkareng. Sungguh menyedihkan karena Halim yang harus menanggung akibatnya.
Hiruk pikuk dan kegaduhan di Halim pada kenyataannya adalah sekedar perwujudan dari “tip of the Iceberg”, puncak gunung es yang akar permasalahannya bukan sekedar terjadi salah urus dalam manajemen Cengkareng Airport, akan tetapi juga ada masalah besar dari pegelolaan ruang udara wilayah kedaulatan Indonesia secara keseluruhan yang memang masih kurang mendapat perhatian. Wilayah udara Indonesia belum tercantum di UUD 1945 (yang sudah beberapa kali di-amandemen) sebagai wilayah kedaulatan NKRI. Indonesia sendiri sejak tahun 2007 lalu hingga saat ini masih belum dapat memenuhi (kembali) persyaratan keselamatan penerbangan sipil Internasional seperti yang ditentukan oleh ICAO (International Civil Aviation Organization). Ini mengakibatkan FAA (Federal Aviation Administration) menurunkan Indonesia ke kelompok Negara kategori 2 (Un-Safe) dan Uni Eropa melarang Maskapai Penerbangan Indonesia terbang ke Eropa. Belum lagi masalah FIR Singapura dan pekerjaan besar dari keinginan Indonesia untuk memperoleh kembali keanggotaannya dalam ICAO Council member. Kesemua itu adalah rangkaian data dan fakta yang terhidang terbuka dihadapan kita semua.
Tidak bermaksud menyalahkan siapapun, tetapi sepertinya masih dibutuhkan sebuah lembaga yang dapat bekerja lintas Kementrian seperti Depanri (Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional Republik Indonesia) sebagai salah satu solusi untuk mengelola wilayah udara nasional secara komprehensif di tataran strategis dan jauh dari pola irama kerja yang tambal sulam. Ini memang memerlukan kerja keras dan kerja cerdas dengan mendahulukan kepentingan bangsa dan Negara diatas segalanya. “Country before Self”. Kiranya hanya dengan bermodalkan pikiran dangkal, wawasan sempit serta memiliki interest lain yang dapat memandang semua itu sebagai sekedar sebuah “issue” yang “tendensius” dan “provokatif”. Ini memang masalah kesadaran berbangsa yang memerlukan perjuangan dan keberanian, perjuangan yang tidak mengenal lelah. Tidak mudah memang bagi mereka yang sudah terlanjur merasa “nyaman” berada di “comfort-zone” untuk mengakui atau mau melihat bahwa memang benar telah terjadi kesalahan dan kemudian tergerak untuk bangkit berjuang kembali. Di era sekarang ini memang sudah lebih banyak lagi orang yang terjangkit virus “EGP” (Emang Gue Pikirin). Mudah-mudahan tulisan sederhana ini dapat dipahami dengan baik dalam alam pikiran yang jernih. Pikiran jernih yang dapat menyuburkan, memelihara dan bahkan meningkatkan spirit untuk masih mau berjuang !
Semoga pula masih teringat seruan dari seorang tokoh bangsa kesohor yang berkata ”for the fighting nation there is no Journeys end”
Jakarta 5 Nopember 2015
Chappy Hakim
1 Comment
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Paket cetakan presisi dari Perum Peruri didistribusikannya pada 33 perwakilan Provinsi melalui Pelud Halim PK atau Cengkareng ?
Apabila datang paket cetakan kertas kualitas presisi berhologram dari luar negeri (Boston atau Australia), apakah ada mekanisme khusus pada paket-paket tersebut dari pesawat charter di Pelud Halim PK
Atas perhatiannya saya sampaikan terima kasih