“Tanah airku Indonesia” sering kita ungkap dan dengar. Namun dengan diluncurkannya buku “Tanah Air & Udaraku Indonesia” kata-kata tadi terpatahkan. Sampai-sampai Jaya Suprana, pendiri Museum Rekor Indonesia (Muri), pun berkomentar,”Saya kecewa karena saya selalu disebut tanah airku Indonesia. Ini jadi merepotkan saya”.
Chappy Hakim, penulis buku tersebut, menjawab bahwa hal tersebut sudah seringkali ia ungkapkan. “Kedaulatan Negara kita ini tiga dimensi: tanah, air, udara!” Ia pun menjelaskan tentang buku yang penerbitannya didukung Hendropriyono Strategic Consulting (HSC) itu. “Sebenarnya buku ini adalah kumpuldan dari tulisan-tulisan lepas saya. Artikel-artikel ini pada umumnya tentang defends dan aviation. Memang lebih banyak tentang masalah penerbangan. Dengan judul yang memprovokasi inilah diharapkan orang awam bisa mengetahui dengan lebih mudah masalah-masalah yang sangat teknis di dunia penerbangan,” tuturnya.
Diakuinya bahwa banyak “yang jago-jago” tentang penerbangan di Indonesia, tapi untuk menjelaskan hal yang teknis agak sulit. Di dunia penerbangan memang banyak sekali terminology Internasional yang tidak mudah untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. “Ini satu misi untuk menyebarluaskan secara popular, bagaimana perkembangan pengelolaan wilayah udara kedaulatan Negara kita yang sekarang banyak menghadapi masalah. Ke depan, tantangan dan masalahnya lebih berat lagi,” ungkap Chappy.
Udara terlupakan
Goris Mere , yang menjadi moderator pada acara peluncuran buku pada 29 Juli lalu di Jakarta, mengatakan bahwa masalah udara kelihatanya terlupakan. “Marsekal Chappy Hakim adalah orang yang sejak tahun 1970-an sudah menggemakannya. Dalam diskusi tadi terjadi suatu hal yang hangat. Semua bergerak, ada Ketua DPR, Ketua MPR, Wakil Ketua Komisi 3 DPR, Menko Polkam,” ujarnya menyebut tamu-tamu yang hadir, termasuk Megawati Soekarnoputri, Presiden RI kelima.
Chappy mengungkapkan bahwa dalam kepentingan nasional, kawasan air space Indonesia adalah satu air space yang memiliki potensi komersial paling tinggi pada saat ini di Pasifik. “Bayangkan semua jalur penerbangan komersial dari utara ke selatan dan dari timur ke barat. Itu menggunakan air spave kita yang begitu luas; yang sangat tinggi harganya dari sisi sekuriti dan lebih-lebih dari sisi prosperity. Itu sebabnya, untuk memprovokasi khalayak, terutama orang awam di dunia penerbangan, banyak tulisan lepas saya kumpulkan dan dijadikan satu buku, yang saya kasih judul “Tanah Air & Udaraku Indonesia” biar ada perhatian terhadap udara ini,” paparnya.
Buku ini mengimbau, bagaimana kita bisa mengelola air space, yang dalam manajemen pengelolaan wilayah udara kedaulatan menjadi kuncinya. Sayangnya, kita tidak memiliki acuan bekerja dalam perencanaan panjang atau blue print atau buku putih yang konsisten dan konsekuen dijalankan. Chappy pun menyebutkan pengelolaan yang “amburadul” dan tidak terkoneksi antara penelitian dan pengembangan, industry serta masyarakat penggunanya.
Untuk mengatur tata ruang dalam konteks sekuriti; pertahanan keamanan Negara serta prosperity; penerbangan komersial, tidak bisa dikerjakan sendiri-sendiri tapi harus terpadu.”Itu sebabnya negeri ini sering menghadapi masalah yang kemudian menjadi ‘konyol’ karena tak nyambungnya penelitian, industry, dan implementasi pengguna di masyarakat. Di mana nyambungnya? Gampang. Negara harus punya buku petunjuk atau pedoman, seperti Australia yang punya Australian White Paper,” ucap Chappy.
1 Comment
saya penggemar bapak dan sering membaca buah pikiran bapak, memang bola bumi diciptakan ada daratan, perairan. dan yang menyelimuti bola Bumi tersebut adalah UDARA…., mungkin begitu juga sebaliknya didalam pengaplikasian di lapangan