Rabu tanggal 12 Agustus 2015, sebuah pesawat PAC 750 XL PK KIG Komala Air, milik PT Komala Indonesia, yang lepas landas dari Bandara Wamena, pukul 8.05 WIT, mengalami kecelakaan di ujung landasan Ninia, Kabupaten Yakuhimo, Papua. Minggu 16 Agustus 2015, pesawat ATR Trigana Air mengalami kecelakaan dalam penerbangan dari Sentani menuju-Oksibil, Papua.
Ditengah kesibukan menjelang peringatan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia ke 70, kita dihadapkan dengan satu kenyataan tragis berupa kecelakaan pesawat terbang yang hanya berselang beberapa hari saja dan diperkirakan menelan puluhan nyawa orang yang tidak berdosa.
Pada tahun 2007 lalu saat Indonesia mengalami begitu banyak kecelakaan pesawat terbang , Presiden Republik Indonesia telah membentuk satu tim yang diberi nama Tim Nasional Evaluasi Keamanan dan Keselamatan Transportasi. Tim yang telah bekerja keras selama 3 bulan plus 6 bulan itu telah menyelesaikan satu bundel tebal rekomendasi kepada Presiden yang berisi saran tindak lanjut dari hasil penelitian mendalam tentang apa gerangan yang telah diduga kuat menjadi penyebab terjadinya begitu banyak kecelekaan.
Garis besar dari hasil penelitian tentang dugaan kuat penyebab terjadinya begitu banyak kecelakaan pesawat terbang saat itu antara lain disebutkan bahwa Indonesia menghadapi masalah serius dalam hal kesiapan sdm penerbangan dan kondisi infrastrukturnya. Kedua hal tersebut terjadi karena beberapa hal yang antara lain adalah lemahnya pengawasan serta kebiasaan menyelesaikan masalah dengan solusi yang tambal sulam alias potong kompas atau bersifat instan.
Solusi yang tidak dicarikan berdasar penelitian terlebih dahulu tentang mengapa bisa sampai terjadinya satu masalah, akan tetapi langsung saja mengambil langkah instan tanpa alasan yang kuat. Solusi yang tidak berdasar kepada “lesson-learned” dan “corrective-action”.
Pertumbuhan yang cepat dari penumpang transportasi udara, hanya disikapi dengan memberikan ijin seluas-luasnya terhadap pengembangan jumlah Maskapai penerbangan dan penambahan jumlah pesawat terbang belaka. Setelah pesawat terbang menjadi banyak, sementara kemampuan infrastruktur yang sama sekali tidak bertambah, maka sangat logis kemudian yang terjadi adalah “delayed” nya begitu banyak penerbangan, terutama di SHIA (Soekarno Hatta International Airport).
Lebih parahnya lagi adalah dari bagaimana kelebihan kapasitas penumpang di SHIA yang terjadi beberapa waktu lalu itu, dengan mudah diatasi dengan hanya memindahkan saja kelebihan kapasitas tersebut ke Lanud Halim. Atas nama “kepentingan-nasional”, Menteri Perhubungan bersama dengan Wakil Presiden kemudian membuka dalam satu upacara seremonial untuk meresmikan kembali Lanud Halim sebagai Airport untuk penerbangan komersial.
Alasan yang dikemukakan antara lain adalah “dulu-juga” Halim pernah dipergunakan untuk “kepentingan-nasional” yaitu untuk penerbangan komersial. Sekedar mengingatkan saja, bahwa dulu memang Halim pernah dipergunakan untuk penerbangan komersial dengan alasan “kepentingan nasional”. Kepentingan nasional saat itu jelas sekali yaitu saat pemerintah tengah menyiapkan Internasional Airport di Cengkareng yang belum selesai untuk dapat digunakan. Sekali lagi, jelas kepentingan nasional saat itu yang dimaksud adalah memberikan kesempatan kepada pemerintah yang tengah bekerja keras menyelesaikan SHIA.
Dengan demikian mudah di pahami, Halim digunakan saat itu untuk kepentingan nasional. Melihat apa yang terjadi belakangan ini, yaitu dengan alasan “kepentingan-nasional” Halim digunakan lagi untuk penerbangan komersial, pertanyaan yang muncul adalah kepentingan nasional yang mana? Masalah nya adalah sangat jelas bahwa Halim diperintahkan untuk memberikan prioritas kepada penerbangan komersial kembali , disebabkan karena manajemen SHIA yang telah gagal total dalam mengantisipasi pertumbuhan penumpang yang terjadi dari tahun ke tahun.
Pertumbuhan penumpang tidak lah mungkin bertambah secara mendadak. Pertumbuhan penumpang terjadi secara berangsur-angsur setiap tahunnya. Pertumbuhan inilah yang sama sekali tidak direspon dengan baik oleh manajemen SHIA dan juga pemerintah. Setelah terjadi begitu banyak keterlambatan penerbangan yang bahkan telah mencapai waktu 12 jam dengan puluhan bahkan ratusan penumpang terlantar, yang terjadi adalah kepanikan dalam mencari solusi. Maka jadilah apa yang diistilahkan sebagai “kepentingan nasional” yang harus dibebankan kepada Lanud Halim untuk menanggung akibatnya. Satu sikap dan tindakan yang sangat “amatiran” dalam pengelolaan industri penerbangan di negeri ini terutama dalam penyelenggaraan angkutan udara nasional.
Contoh besar dan gamblang dari kecerobohan fatal ini adalah satu hal yang terjadi di Ibukota Negara, di depan mata penyelenggara Negara. Kecerobohan fatal yang luput dari perhatian, apalagi dalam konteks pengawasan. Sehingga dengan demikian maka wajar sekali apa yang terjadi di Papua nun jauh disana, akan sulit sekali berada dalam perhatian dan atau pengawasan yang seharusnya dilakukan. Untuk diketahui saja, bahwa sekecil apapun kesalahan yang dibiarkan terjadi dalam penyelenggaraan satu operasi penerbangan, maka ujud nyata yang akan terlihat dipermukaan adalah sebuah “kecelakaan”.
Seberapa banyak dan sedikitnya kecelakaan yang terjadi tentu saja juga akan berhubungan langsung dengan seberapa besar pembiaran kesalahan yang dilakukan. Gambaran dari hal ini dapat terlihat dalam presentasi kecelakaan yang terjadi di satu Negara yang pasti akan berhubungan langsung dengan seberapa besar derajat pengawasan yang dilaksanakannya.
Jadi sekali lagi sebenarnya, kualitas rendah dari manajemen penerbangan nasional telah menghasilkan keadaan dimana kita berhadapan sekarang ini dengan dua hal yang sangat serius yaitu kekurangan sdm penerbangan dan ketertinggalan infrastruktur pendukung operasi penerbangan. Pertumbuhan jumlah penumpang dan barang dalam transportasi udara, hanya dilihat, dinikmati sekaligus dikagumi sebagai satu kemajuan pertumbuhan ekonomi belaka, tanpa diiringi dengan sikap serta tindakan untuk segera berbenah diri dalam mempersiapkan sdm dan infrastruktur yang sangat dibutuhkan dalam menopang kemajuan tersebut. Itulah semua, sebenarnya yang tengah kita hadapi bersama saat ini.
Tidak ada jalan lain, kiranya seluruh pemangku kepentingan dalam dunia penerbangan nasional, harus duduk bersama, menyusun kembali skala prioritas yang harus segera dilakukan dalam hal memperbaiki dunia penerbangan kita yang tengah amburadul. Tanpa ada kesadaran yang kuat untuk mau memahami tentang apa yang tengah kita hadapi bersama, maka akan sulit bagi Indonesia untuk dapat tampil sebagai sebuah Negara yang dipandang mampu dalam menjaga keamanan dan keselamatan penerbangan nasionalnya.
Dua kecelakaan fatal dalam waktu yang hanya beberapa hari minggu lalu itu, hanyalah sekedar satu refleksi dari tingkat keamanan dan keselamatan terbang di negeri ini. Ditengah kondisi seperti itu maka patut disimak lagi dengan baik apa yang pernah dikatakan oleh DR. Judith Orasanu Ph.D seorang peneliti NASA yang kesohor itu yang pernah mengatakan bahwa : “You can’t solve a problem unless you recognize you’ve got a problem and you understand the nature of the problem ! “ .
Pada kenyataannya, memang hanya mereka yang sadar bahwa dirinya tengah bermasalah yang akan tergerak untuk berusaha memecahkan masalah, itupun kalau dia menguasai masalahnya !
Jakarta 17 Agustus 2015
Chappy Hakim
2 Comments
Mohon ijin, sedikit koreksi yang tidak substantif:
“di pahami” pada baris 37 barangkali seharusnya “dipahami”, “Masalah nya” pada baris 39 seharusnya “Masalahnya”, “tidak lah” pada baris 43 seharusnya “tidaklah”, “dipermukaan” pada baris 55 mestinya “di permukaan”
Penempatan tanda baca: titik dua (:), tanda tanya (?) dan tanda seru (!) melekat, tanpa spasi pada kata terakhir suatu kalimat. Jadi yang benar adalah: “… the nature of the problem! “ , bukan “… the nature of the problem ! “.
Terima kasih, semoga berkenan.
Makasih Yung !