Beberapa waktu lalu Indonesia dihebohkan dengan penundaan penerbangan maskapai Lion Air yang berlangsung puluhan jam hingga lebih dari tiga hari.
Inilah kejadian penundaan penerbangan terparah sepanjang sejarah penerbangan dunia. Setelah berbagai macam alasan kurang masuk akal yang dikemukakakan, akhirnya pihak Lion Air mengakui bahwa ada kelemahan manajemen, terutama di Bandara Soekarno Hatta.
Kejadian ini tidaklah terjai sekonyong-konyong. Penundaan berkepanjangan merupakan hasil dari tumpukan begitu banyak dan lama kelemahan kinerja manajemen yang dibiarkan tanpa koreksi. Akibatnya fatal ketika tumpukan masalah mencapai puncaknya.
Inilah peristiwa yang dengan gamblang menunjukkan bahwa mekanisme pengawasan internal di Lion Air sama sekali tidak berjalan. Hasil dari berlarut-larutnya kelemahan yang tidak segera diselesaikan dan inilah wujud dari rendahnya tanggung jawab Lion Air terhadapa pengguna jasa angkutan udara.
Bekerja Amatiran
Dengan menjual tiket murah, tidaklah berarti bawah Lion Air boleh bekerja seenaknya. Tidak itu saja, kejadian ini juga telah mencerminkan bawah maskapai penerbangan Lion Air patut dipertanyakan sebagai satu perusahaan yang profesional di bidangnya. Kesan maskapai ini bekerja “amatiran” muncul dari langkah yang diambil saat terjadi keributan yang nyaris menjadi anarki di bandara.
Tak ada petugas Lion Air yang dapat menjelaskan kepada calon penumpang tetnang apa sebenarnya yang terjadi sehingga mengakibatkan penundaan berkepanjangan. Kesan amatiran dari pengelola maskapai makin kuat melihat cara mereka memutuskan pemberian ganti rugi kepada para calon penumpang dengan menggunakan dana pinjaman dari Angkasa Pura 2
Maskapai ini juga dikenal lama sebagai maskapai yang sering dikeluhkan para pelanggan tentang penundaan penerbangan dan juga kehilangan barang di bagasi penumpang.
Mendalami kelemahan manajemen sebenernya sangat mudah diketahui dari beberapa faktor dominan yang terjadi. Misalnya dari berapa rasio jumlah pilot terhadap jumlah pesawat terbang yang dimiliki, serta metode antrean jadwal pilot untuk terbang, cadangan, atau istirahat. Juga bisa dilihat dari metode dalam menyusun antrean pesawat yang akan digunakan untuk terbang disejajarkan dengan antrean pesawat terbang yang harus masuk siklus pemeliharaan.
Kedua hal ini, jika dihadapkan dengan divisi pemasaran yang bertugas mencari penumpang akan memunculkan kesimpulan apakah penerbangan dapat dilaksanakan tepat waktu atau tidak. Pengeoloaan hal itu tidak tidak hanya lemah, tetapi juga tidak harmonis dalam pengoperasian pesawat.
Bagaimana ini mungkin hal itu bisa terjadi selama bertahun-tahun? Menjadi logis jika banyak pihak menilai bahwa maskapai Lion Air memang memperoleh perlakuan “Istimewa” dari pihak regulator, dalam hal ini Kementerian Perhubungan.
Tuduhan itu dijawab Direktur Umum Lion Air dalam sebuah wawancara dengan salah satu stasiun televisi baru-baru ini. Ia mengatakan “Saya sampaikan kepada rekan-rekan di Asosiasi Maskapai Penerbangan Indonesia, INACA (Indonesian National Air Carrier Association) , bahwa anda semua tidak boleh iri kepada Lion Air yang terlihat jauh lebih mudah memperoleh izin dari Kementerian Perhubungan karena dalam urusan izin-izin ini saya sendiri turun tangan untuk mengurusnya.
Perlakuan Istimewa
Dengan jawaban ini, dapat dipahami bahwa manajemen Lion Air, khususnya dalam hal perizinan terkait dengan Kementerian Perhubungan, tidak menjalani mekanisme standar yang berlaku dan dilaksanakan maskapai penerbangan umumnya.
Sesuatu yang sangat tidak lazim bila saja dilihat sebagai satu terobosan out of the box dari pihak manajemen, tetapi sekaligus dapat pula dilihat sebagai tidak adanya delegation of authority atau pendelegasian wewenang sebagaimana layaknya prinsip-prinsip manajemen umum. Bahkan, karena tiket Lion Air dapat dijual dengan harga murah, jurus tersebut bisa dilihat sebagai metode “penghematan” tenaga manusia.
Namun dengan titik tinjau yang lebih fokus lagi, orang akan sampai pada kesimpulan bahwa di Kementerian Perhubungan ternyata izin-izin mudah sekali diperoleh apabila yang mengurus adalah direktur maskapai. Tentu saja semua asumsi itu masih harus dibuktikan tim pencari fakta yang independen dan terbuka.
Apa pun penyebab kejadian penundaan penerbangan yang parah berhari-hari itu, yang jelas telah sangat merugikan harkat dan martabat pemerintah di mata dunia penerbangan Internasional. Di tengah upaya pemerintah meyakinkan semua pihak bahwa Kementerian Perhubungan sebagai pemegang otoritas penerbangan nasional tenagh bekerja keras untuk dapat keluar dari kategori 2 penilaian Badan Penerbangan Federal (FAA), terjadi peristiwa yang sangat memalukan ini. Penilaian FAA merujuk pada regulasi Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO), bahwa Indonesia belum mampu memenuhi persyaratan keamanan dan keselamatan penerbangan Internasional.
Di tengah-tengah pernyataan yang baru saja dikeluarkan pimpinan Perum Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (LPPNPI) bahwa Indonesia sudah dapat menyelesaikan temuan ICAO, lebih dari 90 persen, terjadilah penundaan “ugal-ugalan” yang mencemarkan dunia penerbangan Indonesia.
Komitmen dipertanyakan
Dengan kejadian yang memalukan itu, sangat masuk akal kalau otoritas penerbangan dunia mempertanyakan kembali sampai di mana “Konsistensi” dan terutama “komitmen” Indonesia dalam menangani faktor keselamatan dan keamanan penerbangan sipil.
Pertanyaan ini diikuti pertanyaan lanjutan yang sangat berkait dengan komitmen Indonesia, yaitu “sanksi” apa yang akan dijatuhkan Kementerian Perhubungan sebagai regulator terhadap Lion Air yang telah menelantarkan ribuan penumpang selama berhari-hari.
Ini suatu pertaruhan yang tidak sederhana karena akan sangat menentukan kredibilitas dan kehormatan Indonesia dalam menyelenggarakan transportasi udara nasional, sebagai bagian integral dari sistem transportasi global dan mengacu pada aturan keselamatan penerbangan sipil internasional.
Dalam dunia penerbangan dibutuhkan disiplin tinggi yang tanpa kompromi, pengawasan ketat yang terus menerus dan hukuman efek-jera apabila sampai terjadi pelanggaran.
Sanggupkah kita menjawab aneka pertanyaan itu dan sekaligus menyelesaikan pekerjaan rumah yang menumpuk di depat mata ini?
Chappy Hakim
Chairman CSE Aviation
Dimuat Opini Kompas, Hal 7, Rabu 4 Maret 2015