Garuda menghubungkan dalam dan luar, Merpati untuk kota terpencil.
VIVA.co.id – Pengamat penerbangan, Marsekal (purn) Chappy Hakim, melihat industri penerbangan di Indonesia semakin kacau. Dia berkaca pada kasus delay maskapai Lion Air, yang lebih dari 24 jam dan menelantarkan ratusan penumpangnya.
Hal itu dikatakannya, dalam diskusi Perspektif Indonesia, di Menteng Jakarta Pusat, Sabtu 21 Februari 2015.
“Perkembangan dunia penerbangan kita semakin hari semakin suram. Cerminan culture basic-nya, yaitu senang bekerja tanpa rencana,” kata mantan Kepala Staf Angkatan Udara TNI itu.
Dia mengatakan, di awal era kemerdekaan, saat Presiden Soekarno, sekitar 1960 hingga 1970, maskapai Indonesia tertata dengan sangat rapi.
“Ada Garuda yang merupakan ambassador of Indonesia, menghubungkan kota-kota besar di dalam dan luar. Ada Merpati Nusantara, dia agen pembangunan. Menghubungkan kota-kota terpencil,” katanya.
Di sela-sela itu, ada kesempatan untuk maskapai lainnya karena visi saat itu adalah Our National Air Power.
Saat itu, kata dia, dibentuk Dinas Angkutan Udara Militer. Dengan sejumlah maskapai, yang menghubungkan berbagai daerah terpencil.
“Karena negara kepulauan membutuhkan sistem komunikasi transportasi dari udara,” katanya.
Saat itu juga, jelas Chappy, dibentuk badan yang bernama Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional atau Depandri. Badan ini dipimpin langsung oleh Presiden dengan sejumlah menteri, termasuk Menteri Luar Negeri.
Namun, memasuki Reformasi tahun 1999 hingga 2000, ada liberalisasi. “Ada liberalisasi aturan untuk memudahkan mendirikan maskapai dan membeli pesawat,” katanya.
Banyak yang berbondong-bondong membuat pesawat dan membeli pesawat. Sayang, karena modal yang tidak terlalu besar dan SDM juga belum mampu, dipakailah teknologi dari luar negeri.
Bandara Soekarno Hatta juga, tidak mampu menampung lonjakan penumpang. Sebab, tidak pernah diperhatikan, bertambah banyaknya maskapai maka semakin banyak penumpangnya.
“Jadinya amburadul,” kata dia.
[wp_ad_camp_1]