Dalam pernyataan baru-baru ini, menteri perhubungan mengatakan akan mengambil tindakan kepada siapa saja yang seharusnya bertanggung jawab terhadap penyebab terjadinya kecelakaan. Penjelasan ini menanggapi kasus dari tenggelamnya kapal laut dengan lebih dari 200 korban di perairan sulawesi dan tabrakan lokomotif yang terjadi beberapa waktu lalu.
Pernyataan ini, menunjukkan adanya sedikit kemajuan dalam model menghadapi begitu banyaknya kecelakaan transportasi yang terjadi di negeri ini. Sebelumnya, yang terjadi adalah, langsung saja mengatakan bahwa kecelakaan terjadi karena kapal atau pesawat tua, karena landasan licin , karena runway tidak ada RESA (runway end safety area) nya, karena cuaca dan lain-lain. Herannya lagi yang memberikan penjelasan itu adalah pejabat terkait dan dengan gagah memberikan penjelasan tanpa didukung data hasil penyelidikan terhadap kecelakaan yang terjadi. Sebagai contoh , tempo hari sempat muncul perdebatan tentang kelaikan pesawat tua. Ini pun dikeluarkan oleh seorang pejabat terkait dengan tujuan menyembunyikan penyebab kecelakaan yang sebenarnya. Mengapa demikian? karena issue pesawat tua paling mudah ditangkap oleh orang awam. Selain itu, pejabat tersebut sebenarnya sangat mengetahui bahwa penyebab dari kecelakaan tersebut adalah sebagian besar ,sebagai akibat dari ulah bawahannya sendiri yang terlalu sering menyelesaikan masalah dengan para operator dengan model “penyelesaian secara adat”. Unsur lainnya adalah berupa ulah nakal dari para operator yang ingin meraup keuntungan dengan cara mengurangi komponen beaya yang berkait dengan keselamatan, karena memang difasilitasi oleh oknum-oknum terkait.
Muncullah tempo hari teori-teori yang menyebutkan bahwa pesawat tua itu memang banyak berpotensi untuk terjadinya kecelakaan, bila dibanding dengan penggunaan pesawat yang masih baru. Teori ini memang tidak bisa dibantah, karena kemajuan teknologi senantiasa berkembang ke arah yang lebih baik dalam arti proses penyempurnaan yang terjadi adalah merupakan proses perbaikan dari apa yang telah dialami di lapangan oleh produk sebelumnya. Akan tetapi jangan lupa, bahwa kecelakaan yang sering terjadi di Indonesia ini, penyebabnya adalah bukan karena pesawatnya sudah tua. Ini bisa dilihat dari hasil penyelidikan di KNKT (Komite Nasional Keselamatn Transportasi). Apabila ada akses masyarakat untuk melihat hasil penyelidikan ini, maka akan terlihatlah betapa “menyeramkannya” sistem transportasi kita dikelola. Lebih bodoh lagi kalau memang sudah tau pesawat tua membuat kecelakaan, lalu kenapa diberikan ijin untuk digunakan?
Contoh-contoh dari hal ini, sampai sekarang pun sebenarnya sudah sangat transparan. Lihat saja pada kecelakaan tenggelamnya kapal laut di perairan pare pare, baru-baru ini. Terdapat puluhan penumpang yang hilang di laut, namanya tidak tercantum di Manifes Penumpang. Ini saja sudah menggambarkan kecerobohan yang sangat keterlaluan. Menurut aturan yang berlaku, semua penumpang dan barang yang dapat dimuat ke kapal adalah hanya penumpang dan barang yang sudah didaftarkan di manifes penumpang dan di manifes barang. Mengapa kemudian ini bisa terjadi ? Ya itu tadi, pelaksanaan aturan lebih banyak diselesaikan “secara adat” dibanding seharusnya ditegakkan sesuai aturan. Inilah kerjasama yang paling kompak yang dilakukan antara operator (pemilik kapal) dengan regulator (otoritas transportasi) selama ini. Pasangan “ganda” terkuat yang selama ini sudah menghasilkan begitu banyak kecelakaan dan nyawa yang melayang. Masih juga ada bantahan yang mengatakan bahwa bisa saja nama itu berbeda dari nama yang ditulis di manifes dengan nama asli nya. Ini benar-benar pernyataan bodoh yang sangat menipu masyarakat luas. Andaikan hanya satu dua penumpang, mungkin bisa diterima oleh akal sehat, akan tetapi bagaimana dengan jumlah yang puluhan jumlahnya ?
Apabila peraturan ditegakkan, sangat mustahil nama penumpang akan berbeda. Pada setiap tiket seharus nya disalin sesuai dengan nama yang tercantum di KTP atau tanda pengenal lainnya dari si penumpang. Apabila terjadi sesuatu, sangat bisa dipastikan keluarga yang bersangkutan akan dengan mudah mengenalinya. Demikian pula pada saat penumpang dipanggil untuk menaiki kapal, seharus nya masih ada proses pengecheckan nama penumpang dengan kartu identitasnya. Dengan demikian, tidak akan ada penumpang yang tidak tercantum di manifes yang dapat naik ke kapal. Sesederhana itu saja, dan dapat diperkitakan dengan mudah bahwa proses ini tidak berjalan. Nanti apabila ada kecelakaan barulah kemudian masalahnya menjadi perhatian.
Beberapa waktu yang lalu, ada instruksi yang keras terhadap para penumpang pesawat domestik untuk diperiksa sebelum berangkat dan naik ke pesawat, apakah nama yang tercantum di “boarding pas” sesuai dengan yang ada di KTP yang bersangkutan. Pada waktu itu yang dikemukakan terutama sekali adalah berkait dengan maraknya tukang catut karcis, selain faktor keselamatan penerbangan. Pada awalnya para penumpang banyak juga yang “ngomel”, akan tetapi kemudian secara bertahap muncul juga kesadaran dari mereka. Namun , apa yang terjadi berikutnya adalah, pelaksanaan hal tersebut hanya berlangsung 3 minggu saja, kemudian ya biasa lagi , “selonong boy” alias tidak ada lagi pemeriksaan KTP atau ID card. Cukup memperlihatkan “boarding pas” dan setiap orang kemudian bebas melenggang masuk pesawat. Dan hal-hal seperti ini selalu saja berulang, “capek deh” !
Sekali lagi, nanti apabila terjadi kecelakaan, barulah menjadi perhatian lagi.Dan sekali lagi, disini terlihat jelas, bahwa penegakkan aturan seharusnya dilakukan dengan disiplin yang tinggi. Apabila ada pelanggaran, seharusnya pula ditindak dengan tegas. Tidak diselesaikan “secara adat” ! Hukuman harus diberikan kepada yang bersalah sesuai dengan perbuatannya.
Mudah-mudahan, pernyataan menhub yang akan menindak tegas para pelaku kesalahan yang menyebabkan kecelakaan, benar-benar dilakukan oleh seluruh jajarannya sesuai agama dan kepercayaan masing-masing.