Salah satu berita paling menarik belakangan ini adalah mengenai kebangkrutan maskapai penerbangan perintis Merpati Nusantara Airlines, Banyak sekali pertanyaan yang datang bertubi-tubi tentang bagaimana hal tersebut bisa terjadi ? Perusahaan Negara yang banyak memperoleh kemudahan dan bersubsidi, bisa gagal total dalam berkiprah dilapangannya sendiri. Untuk dapat sampai kepada jawaban yang “agak mendekati” kebenaran , kiranya perlu kita melihat terlebih dahulu bagaimana dunia penerbangan kita secara keseluruhan sampai dengan saat ini.
Dulu, orang dapat melihat dengan jelas bahwa Maskapai Penerbangan Garuda adalah Maskapai “Sang Pembawa Bendera” Negara Kesatuan Republik Indonesia, Duta Bangsa yang menghubungkan kota-kota besar di dalam dan luarnegeri. Dengan demikian maka terlihat jelas bahwa Garuda memang mengoperasikan pesawat-pesawat terbang yang relatif besar ukurannya . Disisi lain MNA adalah Maskapai yang menerbangi rute-rute terpencil dibanyak daerah yang terisolasi di pelosok negeri ini dan tentu saja harus menggunakan pesawat-pesawat yang kecil ukurannya. Kedua Maskapai dengan tugas yang sangat berbeda, berkiprah dengan misi yang sangat mulia yaitu menjaga keutuhan NKRI dengan jalan merajut jaring-jaring persatuan bangsa dengan jalan menyelenggarakan fungsi pemerintahan di sektor jasa angkutan udara.
Bergeser dari misi
Kini, kita semua menyaksikan bagaimana Garuda yang telah “go public” itu ternyata mulai membeli pesawat-pesawat terbang kecil untuk juga masuk kedalam rute-rute penerbangan “perintis”. Sementara Sang Burung Merpati, MNA ternyata sudah pula memiliki pesawat-pesawat terbang berukuran relatif besar dan bahkan menerbangi rute penerbangan sampai jauh ke luar negeri. Merpati seolah telah meninggalkan daerah-daerah kumuh terpencil di pelosok negeri yang sangat menggantungkan kelangsungan hidupnya dari sektor jasa perhubungan udara.
Sampai disini kelihatan bahwa orientasi dari Sang Garuda dan Merpati ternyata telah cukup jauh bergeser. Sudah menjadi rancu, siapa yang berperan sebagai The Flag Carrier, duta bangsa dan siapa pula yang seharusnya berperan sebagai ujung tombak “pahlawan” sang penembus daerah terpencil dipelosok negeri kepulauan terbesar di dunia ini.
Disisi lain, dari kedua hal tersebut tadi, ada hal yang sangat “menarik-sekali” dalam kancah dunia penerbangan nasional yaitu pertamakali dalam sejarah berdirinya Republik ini, Maskapai Garuda sudah “dikalahkan” oleh Maskapai Penerbangan swasta baik dalam segi jumlah kepemilikan pesawat terbang dan bahkan juga jumlah penerbangan. Garuda, Maskapai Penerbangan milik Pemerintah yang dapat banyak kemudahan dan subsidi yang diperoleh serta telah meraih berbagai penghargaan sebagai indikasi berkualitas standar Internasional dengan usia “beda tipis” dengan usia Pemerintahan RI, dikalahkan oleh maskapai yang baru lahir kemarin sore. Dibalik tumbangnya banyak maskapai pemain lama, muncul pemain-pemain baru yang membawa darah segar dalam industri penerbangan nasional.
Tak semua para pemain baru cukup “lihai” berakrobat dalam bisnis penerbangan yang terlihat glamor, mewah, dan seksi itu. Persaingan yang menjurus ke hal kurang sehat tak dapat dihindarkan sebagai akibat dari terbatasnya pengetahuan tentang dunia penerbangan terutama dalam masalah teknis dari para pengelolanya. Dari “pergumulan” yang demikian “heboh” sepanjang lebih kurang satu dua dekade, hasil akhir sementara adalah, di sektor penerbangan perintis sudah tidak terlihat lagi MNA. Di rute-rute gemuk terlihat satu dua maskapai yang sanggup tampil dengan gagah perkasa. Dan yang paling menonjol adalah “prestasi” satu maskapai yang ternyata memperoleh ijin agak istimewa untuk dapat mengelola tiga perusahaan penerbangan sekaligus yang dapat bermain di penerbangan perintis, penerbangan berbiaya murah dan juga di segmen penerbangan “premium” yang tadinya seolah hanya milik Garuda. Meski demikian seiring dengan itu, prestasi ini memunculkan banyak pertanyaan di media dan kalangan anggota DPR terutama Komisi V, terkait dengan “keberpihakan” dan pilih kasih pemerintah sebagai regulator kepada Maskapai ini. Muncul kesan, mudah-mudahan jauh dari kebenaran, bahwa operator sudah bisa mengatur regulator. Apa sebenarnya yang terjadi dalam hubungan itu, kita tidak tahu.
Ada Yang Salah
Januari 2014 ini kita semua menyaksikan keramaian baru , yaitu “diresmikan” nya kembali Lanud, Pangkalan Udara TNI AU Halim Perdanakusuma, (yang hanya memiliki satu runway saja dan tidak pula memiliki taxiway), untuk melayani penerbangan komersial. Hal ini sebagai akibat dari SHIA, Soekarno Hatta International Airpot kewalahan karena penerbangan disana sudah melebihi tigakali kapasitas kemampuan tampungnya. Seiring dengan itu, keluhan pemakai jasa penerbangan yang berangkat dan datang ke dan dari Jakarta meningkat luarbiasa sebagai akibat keterlambatan pesawat yang bahkan sudah sampai lebih dari 8 jam. Tidak semata kapasitas SHIA, akan tetapi kinerja dari ATC, Air Traffic Control kita memang tengah berhadapan dengan banyak permasalahan.
Mulai dari peralatan di Jakarta yang sudah ketinggalan jaman, dan bahkan lebih tua dari peralatan yang sudah beroperasi di Makassar, sampai kualitas dan jumlah serta kesejahteraan sdm yang tidak standar karena baru saja di satukan dari berbagai institusi yang terpecah beberapa waktu lalu menjadi satu organisasi. Tidak itu saja, sudah menjadi rahasia umum pula bahwa dunia penerbangan Indonesia saat ini sedang menghadapi masalah serius dalam hal kekurangan Pilot. Dengan demikian, jangankan para penumpang, bahkan para “Pilot” dan “controller” ATC yang bertugas di Jakarta kini merasakan beban kerja yang cukup berat. Faktor Keamanan Terbang, belakangan ini sudah sangat memerlukan perhatian serius untuk ditangani “segera”. Lampu kuning tengah berjalan dalam proses berganti menuju lampu merah.
Dari keseluruhan uraian tadi, maka sangat jelas bahwa memang ada yang “salah” dalam manajemen penerbangan nasional belakangan ini. Paling tidak ada penataan Maskapai Penerbangan yang tidak konsisten sehingga orientasi misi menjadi tidak jelas , mana yang perintis dan mana yang untuk kota-kota besar. Disamping itu faktor “pengawasan” yang sangat lemah sehingga menyebabkan SHIA bisa “bablas” melayani sampai tiga kali lipat dari kapasitas kemampuannya serta pembinaan ATC yang terlihat jauh tertinggal dari perkembangan jumlah penerbangan yang terjadi. Bila pengawasan antara Regulator (kemhub) terhadap Operator (Manajemen Bandara dan Maskapai) lemah, sulit untuk berharap pengawasan internal di Manajemen Bandara dan Maskapai dapat berjalan dengan baik. Disini sistem tidak terbangun, apalagi berjalan. Pengalaman memperlihatkan bahwa dalam operasi penerbangan, bila sistem tidak berjalan, maka kesemrawutan akan sangat mudah terjadi. Kelebihan kapasitas dan keterlambatan jadwal penerbangan yang parah adalah contoh sederhana yang dapat terlihat dipermukaan.
Dari gambaran itu, tidak sulit menebak penyebab bangkrutnya MNA. Penataan Maskapai yang tidak konsisten ditingkat Pusat dan Pengawasan yang terlihat “lemah” dihadapkan dengan medan juangnya MNA dilapangan, yang notabene terletak di remote area atau daerah terpencil merupakan faktor yang patut dicermati. Tuntutan yang tinggi dari pasar angkutan udara yang berhadapan langsung dengan rendahnya pelayanan yang dapat di selenggarakan tentu saja, mau tidak mau telah membuka banyak peluang terjadinya “salah-urus”. Kesemua itu mengakibatkan antara lain manajemen ditingkat pusat sulit untuk mendapatkan informasi tentang apa sebenarnya yang terjadi dilapangan, nun jauh di daerah terpencil. Bagaimana hubungan dan mekanisme kerja antara Pilot dengan para Stasiun dan Distrik Manajer dan juga bagaimana hubungan antara para manajer di daerah terpencil dalam berhadapan dengan para calo barang dan penumpang. Pergantian yang begitu sering terjadi dalam jajaran Direksi MNA 2 a 3 tahun terakhir, disamping menunjukkan kapabilitas dan kompetensi para personilnya paling tidak merefleksikan realita di lapangan. Ditambah lagi persaingan antar Maskapai yang tak hanya memperebutkan pasar, tetapi juga ijin rute penerbangan terkait padatnya traffic. Tak sederhana memang, masalah penerbangan nasional di Indonesia, dan juga masalah yang dihadapi MNA. Sudah waktunya, semua para pemangku kepentingan untuk lebih transparan dan duduk bersama mencari solusi tuntas. Mudah-mudahan, tak ada korban lagi, hanya karena “salah urus”.
Jakarta, 18 -2-2014
Chappy Hakim
Sumber: Koran Kompas, Selasa 18 Februari 2014
Kolom Opini halaman 7