Bandar Udara Halim akan mulai melayani penerbangan komersial pada 10 Januari 2014. Ini untuk mengurangi beban SoekarnoHatta International Airport (SHIA) yang sudah mendekati tiga kali melebihi kapasitasnya. Dalam dunia penerbangan yang dikenal padat teknologi diketahui memiliki sifat yang sangat taat asas dalam arti semua kegiatannya diatur dengan aturan-aturan dan ketentuan yang ketat serta tanpa kompromi.
Sedikit saja aturan dilanggar, sebenarnya itu sudah merupakan tindakan yang “membuka” pintu terjadinya kecelakaan. Dalam kondisi yang seperti itu, bila berhadapan dengan masalah, menjadi tidak mudah untuk dapat mengatasinya. Seorang peneliti senior di National Aeronautic and Space Administration (NASA) Dr Judith Orasanu mengatakan, “Dalam dunia penerbangan Anda tidak akan mampu menyelesaikan masalah bila Anda tidak mengetahui bahwa Anda tengah menghadapi masalah dan bila Anda tidak mengetahui anatomi dari masalah yang tengah Anda hadapi.
SHIA dibangun dengan kapasitas untuk melayani 22 juta penumpang setiap tahun, namun pada 2012 saja SHIA sudah harus melayani lebih dari 54 juta penumpang. Itu berarti SHIA sudah dipaksa melayani kapasitas yang sudah hampir tiga kali lipat dari kemampuannya. Ini menyimpulkan bahwa SHIA sudah dikelola melewati aturan yang ditentukan saat dirancang yaitu hanya melayani penumpang sebanyak 22 juta per tahun. Dengan perkataan lain, SHIA sudah dikelola dengan “tidak tahu aturan”.
Seharusnya saat sudah akan melewati 100% kapasitas kemampuannya, atau bahkan sesaat sebelum itu, semua izin penerbangan langsung dibatasi agar tidak terjadi “over-loaded”. Namun, yang terjadi adalah seperti saat ini yaitu begitu banyak keterlambatan penerbangan sebagai akibat kapasitas yang sudah hampir mencapai tiga kali lipat lebih besar. Ditambah lagi dengan beberapa faktor penyebab antara lain kondisi air traffic control (ATC) baik peralatan dan kualitas serta kuantitas sumber daya manusianya.
Sangat disayangkan, solusi dari “salah urus” manajemen SHIA yang menghasilkan proyek over loaded ini adalah memindahkan beberapa penerbangan ke Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Solusi tersebut sungguh sangat memojokkan pihak Halim yang dipaksa untuk berhadapan dengan masyarakat banyak pengguna jasa angkutan udara yang sudah frustrasi di Cengkareng. Akses jalan menuju Halim yang hanya satu dan relatif sempit dipastikan akan menjadi “biang kerok” kemacetan di sekitar Lanud Halim. Seperti yang telah terjadi di Lanud Husein Bandung, beberapa waktu lalu masyarakat pengguna jalan telah memaksa pihak pangkalan untuk membuka akses jalan menembus tengah-tengah kompleks militer pangkalan udara Husein untuk mengurai kemacetan parah yang terjadi di jalan menuju Husein. Hal yang serupa kiranya akan terjadi juga nanti di Halim. Yang juga sangat tidak etis adalah ada tidak kurang dari dua sekolah penerbang yang harus “angkat kaki” dari Halim untuk memberikan jatah penerbangan bagi rute yang dipindahkan dari SHIA.
Belum lagi keberadaan empat skuadron udara di Halim yang dipastikan akan terganggu dengan penambahan penerbangan tumpahan dari Cengkareng. Puluhan tahun rencana kerja dan latihan Angkatan Udara di Lanud Halim terganggu saat status Halim dijadikan International Airport sementara saat menunggu kesiapan SHIA. Saat itu semua latihan telah dipindahkan dengan paksa ke Bandung dan Lampung yang saat ini tidak mungkin lagi dilakukan karena sudah sangat penuh pula trafficnya.
Banyak yang tidak memahami bahwa Halim “bukan hanya” sebuah aerodrome, melainkan juga berfungsi sebagai “sub-system” dari alat utama sistem persenjataan Angkatan Udara. Di Lanud Halim terdapat basis utama dari Markas Besar Komando Pertahanan Udara Nasional, Skuadron Udara, Skuadron Teknik Pemeliharaan Pesawat, dan Batalion Tempur Korps Paskhasau. Semua itu menggunakan Lanud Halim tidak saja sebagai sebuah pangkalan udara, tetapi juga sekali lagi sebagai subsistem pertahanan udara nasional.
Di sisi lain, rancang bangun dari pangkalan udara Halim tidaklah diperuntukkan bagi penerbangan komersial karena di kawasan Halim terdapat dua area kawasan terbang latihan dan tes pesawat udara (pasca-pemeliharaan) di atas Bogor Area dan Pelabuhan Ratu Area. Kegiatan di kawasan ini akan sangat terganggu bila ada kegiatan penerbangan reguler komersial pada jam-jam tertentu. Faktor keselamatan terbang menjadi tidak dapat terjaga dengan baik. SHIA dan Halim memang sama-sama sebuah aerodrome, tetapi dengan peruntukan yang sangat berbeda.
SHIA berorientasi “profit-oriented” atau bisnis mencari keuntungan, sementara Lanud Halim berorientasi kepada “combat-readiness” atau kesiapan tempur. Lebih tidak adil lagi dirasakan adalah SHIA yang telah melakukan kesalahan sehingga terjadi kekacauan penerbangan belakangan ini, kemudian Lanud Halim dipaksa untuk menanggung akibatnya. Masyarakat luas yang tidak begitu paham tentang apa yang sebenarnya telah terjadi akan mudah sampai pada kesimpulan bahwa Angkatan Udara tidak mau membantu kepentingan mereka!
Angkatan Udara dalam hal ini Lanud Halim telah dibenturkan kepada kepentingan orang banyak pengguna jasa angkutan udara berbiaya murah yang kini tengah marak, murah meriah. Alangkah tragisnya. Solusi hendaknya dicarikan dengan terlebih dahulu mencermati akar masalah yang dihadapi agar dapat benar-benar memperoleh keputusan yang tepat. Jangan sampai mengambil keputusan yang gegabah!
Bila hanya memutuskan untuk sekadar memindahkan ke Halim, tidak mustahil kelebihan kapasitas yang sangat membahayakan itu akan terulang kembali di Halim. Kita semua tentu tidak ingin dikatakan sebagai yang pernah diutarakan oleh orang Yunani: Errare humanum est. Perseverare diabolicum (Berbuat kesalahan adalah suatu hal manusiawi. Mengulangi kesalahan adalah perbuatan iblis). ●
Jakarta 7 Januari 2014
CHAPPY HAKIM
Pilot Senior, Pemegang Airlines Transport Pilot Licence (ATPL) No 2391
Sumber : Koran Sindo terbitan hari ini.
21 Comments
Ya gimana om? kayaknya yang sana mikirnya pada telat? hehehe.. btw dari om CH ada pemikiran solusi untuk perihal ini om? saatnya beralih ke badan lebar untuk mengurangi traffic? secara airport sudah banyak yang gede2.
Setuju,pak. Dalam hal ini secara terang-terangan kepentingan keamanan negara dikalahkan oleh kepentingan komersial.
15 tahun saya tinggal di komplek Halim Perdanakusuma membuat saya cukup mengerti bagaimana jadinya bandara vital ini jika dipergunakan sebagai bandara komersial. Bagaimana jika ada keadaan darurat nasional & perlu bantuan segera ke lokasi jika bandara ini jadi tambah sempit & ramai?
Semoga para pembuat keputusan mendapatkan pencerahan & dibukakan pintu hatinya untuk membuat keputusan yang bijaksana.
Tulisannya keren pak chappy,
menurut saya memang seharusnya Pangkalan Udara Halim Perdana Kusuma sebagai bagian dari sistem pertahanan nasional tidak boleh dicampuradukkan dengan kepentingan sipil, atau mungkin dikonspirasikan ini sebagai salah satu melemahkan militer Indonesia setelah AD dibenturkan oleh masalah HAM, AU diperkecil ruang gerak udaranya termasuk hilangnya fungsi Pangkalan Udara Darurat Perang di Tol Jagorawi dengan banyaknya jpo dan layang non tol.
http://www.erepublik.com/id#wandr1p
Serahkan sesuatu hal itu pada ahlinya saya sangat sadar Marsekal adl ahlinya saya dukung pernyataan pak Marsekal ..ini adalah persoalan PERTAHANAN NEGARA bukan sekedar urusan EKONOMI.
Lanud Halim mesti di renovasi dan perluasan.
Nice info
Trus…solusinya apa donk..
Rakyat pengen naek pesawat terbang
Au terganggu
SHIA overload
Angkasa pura berisik
Indonesia malu
Saya setuju sekali sama pengamatan mas chappy yg sangat teliti sampai ke detail2nya dan mudah2an dari para pemangku kewenangan, politikus ada yg baca dan Ngeh terhadap apa yg dilakukan sekarang dgn merotasi sebagian komersil airlines ke halim, dan bagi TNI AU harap bersabar sedikit memang ini tidak adit tapi beginilah republik ini adanya setiap pemangku kewenangan selalu berasumsi dan punya pikiran yang pragmatis terhadap setiap persoalan
Tulisan yang sangat menarik pak Chappy,kebetulan saya setahun yang lalu masih bekerja di salah satau bank BUMN di dekat bandara Halim PK dan tahu persis kalo setiap pagi jam berangkat kantor atau sore pulang kantor macetnya jalanan halim seperti apa.yang ingin saya tanyakan pak apakah pihak TNI AU mempunyai hak untuk menolak supaya bandara halim tidak di pakai untuk penerbangan sipil mengingat disana terdapat banyak asset militer yang sangat vital dan ke khususannya dalam menggelar operasi ataupun latihan militer,trims
setuju..
Bandara SOETTA seharusnya menambah kapasitas terminal dan landasan ke arah laut saja… perumahan elit deket situ aja, bisa koq nambah lahan ke laut.. 😀
mudah2an cepat di cari solusinya sementara kebutuhan transportasi udara semakin meningkat tajam
turut prihatin dan sedih dg negeri ini yg dikelola dg cara amatiran dan instan.pdhl pak presiden berlatar belakang militer.yang jelas,pemerintah skrg sudah tdk bisa diharapkan lagi yg memang begini adanya.
setuju…banget pak Chappy Hakim…, pemindahan bandara commercial ke bandara utk kepentingan negara dan sangat strategis fungsinya, suda salah kaprah….dan membahayakan pertahanan negara.. Sebenernya solusi untuk jangka pendek sambil menunggu di bangunnya perluasan bandara atau bandara alternatif, kurangi aja jumlah pesawat yg dari segi usia dan keselamatan penerbangan sudah tidak laik terbang……dan kembalikan lagi harga tiket ke harga sewajarnya….yaitu di bawah harga batas minimum yang ditetapkan pemerintah untuk suatu rute tertentu. Karena perang harga tuk tiket pesawat (alias tiket murah) tidak menyelesaikan masalah keruwetan bandara dan ada kecenderungan pihak operator akan mengabaikan unsur perawatan pesawat karena mengejar setoran agar mencapai BEP flight untuk rute tertentu atau revenue perusahaan secara keseluruhan……….
setuju sekali pak Chappy Hakim, bahwa pemindahan sebagian beban bandara komersial ke bandara yg diperuntukkan tuk pertahanan negara sudah salah kaprah banget. Solusinya: sambil menunggu perluasan bandara di CGK atau pembangunan bandara alternatif, kurangi aja jumlah pesawat yg sudah tidak laik terbang baik dari segi usia maupun dari segi perawatan pesawat yg kesemuanya itu tuk unsur keselamatan. Dan solusi kedua, Evaluasi kembali harga tiket pesawat tuk seluruh operator penerbangan utk di sesuaikan dengan batas minimum level harga yg ditetapkan pemerintah utk setiap rute rute flight agar tidak ada lagi kejar setoran tuk memenuhi BEP suatu rute atau tuk Revenue perusahaan tapi dgn menurunkan harga yg tidak sewajarnya.
negara jiran pasti tersenyum membaca tulisan jendral….
Saya suka sekali tulisannya Pak. Mencerahkan masyarakat awam. Saya jadi sadar bahwa fungsi pertahanan dan pengamanan ibukota negara mesti menjadi prioritas utama. Salam, dadang
mestinya pemerintah memperhatikan perkembangan bandara2 lain untuk dijadikan bandara internasional, untuk penerbangan umroh saja seluruh indonesia hrs melalui Soeta…. percepat pembuatan bandara di jawa barat. Apakah mungkin juga membuat bandara di karawang ato cikampek……. perjalanan ke bandara soeta aza dr bekasi hrs spare waktu 4 jam sebelum jam terbang……. macet…. cape deh…… ayo jangan ditunda2 bikin bandara baru……
Good..!! Para pengambil keputusan di republik kita pada gak paham persoalannya.
Terus suarakan marsekal…!! Sy dukung.
Sebagai orang awam, saya juga bertanya-tanya tanpa fakta. Kenapa lanud militer diminta jadi landasan sipil ? Kan di situ pasati ada rahasia, jadwal terbang yang tak terduga, latihan, dll. Nanti kalau ada mata-mata menyamar jadi penumpang bagaimana ? Apa para jenderal tak bisa menolak-nya ? Saya kira solusi paling tepat ya … percepat buka landasan internasional lagi didekatnya (Jawa Barat).
Terima kasih atas infonya pak CH
alangkah bijaksana nya jika bapak memberikan solusi atas permasalahan ini bukan hanya mengkritisi apa yg terjadi.
sebagai pilot senior suara anda tentunya akan sangat didengar oleh para pelaku bisnis dan pemerintah.
semoga bapak dapat memberikan solusi ya.
salam
Saya memang masih jauh dari “bijaksana”, tetapi tentang saran? saya sudah serahkan saran solusinya di tahun 2007 kemudian di tahun 2010, kemudian bulan yang lalu, kemudian hari ini di Jakarta Post halaman 6 , selamat membaca !