Ada beberapa masalah yang masih kurang dipahami oleh banyak orang. Dalam dua buku terakhir yang saya terbitkan, ternyata juga mengundang pertanyaan beberapa pihak terutama mengenai masalah pertahanan dan masalah penerbangan. Buku terakhir saya dengan judul “Quo Vadis Kedaulatan Udara Indonesia” yang telah diluncurkan pada 17 Desember 2012, telah mengundang saudara Sudrajat untuk menuliskan resensi nya di Harian detik. Bagaimana isinya ? berikut ini saya kutipkan secara lengkap, tulisan itu yang saya tujukan sebagai rasa terimakasih saya.
Catatan : beberapa topik bahasan dalam tulisan ini juga menjadi isu menarik dalam diskusi Pagi dan Siang tadi dalam Seminar Air Power di Persada Lanud Halim Perdanakusuma yang sempat dihadiri oleh Menteri Pertahanan Republik Indonesia.
Singapura Mendikte Kedaulatan Negara
Sebagai negara besar, ternyata Indonesia belum sepenuhnya berdaulat atas wilayahnya sendiri. Di laut, pencurian ikan oleh nelayan asing berlangsung leluasa. Di darat, patok-patok perbatasan dengan negara tetangga banyak yang hilang. Di udara? Tak cuma kerap dicundangi Amerika Serikat dan Australia karena pesawat tempur mereka kerap hilir-mudik di udara Indonesia tanpa permisi, negara mungil seperti Singapura pun ternyata masih mendikte kita.
Pada 1991, misalnya, Menteri Pertahanan dan Keamanan Jenderal L.B. Moerdani sempat terapung-apung selama belasan menit di udara Natuna. Hal itu terjadi karena pesawat TNI Angkutan Udara yang ditumpanginya tak kunjung bisa mendarat di Pangkalan Udara TNI AU di Ranai, Natuna. Bukan karena cuaca buruk atau kondisi pangkalan supersibuk, melainkan lantaran otoritas penerbangan Singapura tak kunjung member izin.
Semua maskapai sipil di Batam pun tak bisa bergerak leluasa, meski hanya melakukan penerbangan antarkota di wilayah Nusantara. Semua pesawat udara baru bisa lepas landas dan mendarat bila otoritas penerbangan di Changi, Singapura, memberi restu. Kenyataan tersebut bisa kita baca dalam buku ini, di bawah sub-pembahasan “Langit Garuda dalam Cengkeraman Singa”. Judul tersebut diambil dari liputan khusus Batam Pos edisi 18 Maret 2012. Upaya merebut kembali kedaulatan udara Indonesia dari Singapura, menurut Chappy Hakim, penulis buku ini, telah berlangsung sejak 1993. Dan tentu saja masih terus diperjuangkan.
Pada bagian lain, Chappy juga menguraikan betapa para perwira TNI AU tak cuma dikenal sebagai pilot andal, tapi juga perancang pesawat yang mumpuni. Sementara selama ini masyarakat cuma mengenal B.J. Habibie sebagai arsitek CN-235 dan N-250, sebelumnya ada Wiweko Soepono, yang merancang desain kokpit pesawat cukup untuk dua orang saja. Karya mengagumkan tersebut digunakan hingga sekarang, dan Airbus pernah berniat menggunakan nama Wiweko sebagai hak paten. Selain itu, ada Yum Soemarsono, yang menciptakan helikopter pada 1948, atau sembilan tahun setelah Igor Sikorsky dari Uni Soviet menerbangkan pesawat helikopter pertama di dunia. Juga ada Nurtanio, yang menciptakan “Si Kumbang” pada 1954, dan diulas di sejumlah media dirgantara terkemuka di Amerika dan Eropa. Dia pun menciptakan “Belalang” dan “Si Kunang”.
Terkait dengan Tragedi Aru, yang menewaskan Komodor Yos Sudarso pada 15 Januari 1962, lewat buku ini, Chappy menyisipkan pembelaan dengan mencuplik dokumen milik pelaku sejarah Marsekal Pertama Mohamad Saleh. Intinya, dokumen yang dirilis pada Juli 1996 tersebut menepis pernyataan Laksamana Sudomo di sejumlah media massa bahwa TNI AU tak siap membantu operasi pembebasan Irian Barat. Akibatnya, KRI Macan Tutul ditenggelamkan Belanda, dan Yos Sudarso. Menurut Saleh, jangankan TNI AU, Angkatan Laut kenyataannya tak mem-back up operasi penyusupan oleh KRI Macan Tutul karena bersifat rahasia dan belum merupakan operasi gabungan antar-angkatan. Maka kapal tak dilengkapi torpedo dan tim penyelamat, juga tanpa pesawat Ganet dari armadanya sendiri.
Sebagai pensiunan marsekal, lewat buku ini, Chappy membuka mata kita semua, betapa kondisi pertahanan udara Indonesia amat kedodoran. Padahal, di tengah zaman ketika perang dianggap usang, upaya pertahanan terhadap wilayah Indonesia tetap penting. Kedaulatan udara akan mendukung pembangunan menuju kemakmuran. Sebab, kedaulatan udara kita merupakan sumber uang, seperti yang dinikmati Singapura selama puluhan tahun. Tapi Chappy juga meyakini kedaulatan udara sama pentingnya seperti kedaulatan lautan. Kurangnya kedaulatan di laut mengakibatkan munculnya praktek perikanan ilegal dan pencurian sumber daya alam, yang nilai kerugiannya bisa sampai triliunan rupiah per tahun.
Selain menulis beberapa buku, di masa pensiunnya, Chappy aktif menulis di blog soal berbagai isu mengenai pertahanan udara ataupun dunia penerbangan pada umumnya. Semuanya ditulis dengan mengalir sehingga, meminjam slogan sebuah majalah berita, “enak dibaca, dan perlu”. (SUDRAJAT)
Jakarta 11 April 2013.
2 Comments
Saya sangat tertarik dengan buku”nya bapak chappyhakim , dmna tidak cuma membahas tentang penerbangan saja.. Opini dari bapak chappyhakim sendiri tentunya sangat membangun.. Saya sangat tertarik membaca buku”nya Pak chappyhakim , tapi bukunya yg lama sudah tidak ada di toko buku, sekira dmna saya bisa membeli buku yang sudah terbitan lama?
Terimakasih atas perhatiannya. Untuk memperoleh buku-buku saya , dapat menghubungi Saudara Tri Wahyudi di 081283242417.