Marsekal TNI Purn Oetomo telah meninggal dunia dengan tenang pada usia 78 tahun, pukul 14.00 WIB di kediamannya Jalan Diponegoro No. 68 Menteng, Jakarta Pusat, Senin 21 Januari 2013. Almarhum dimakamkan di hari Selasa 22 Januari 2013 dengan upacara kebesaran militer di TMP Kalibata.
Pak Oetomo tercatat sebagai Kasau kesembilan dalam sejarah Angkatan Udara yaitu dalam kurun waktu 11 April 1986 sampai dengan 12 Maret 1990. Malam itu, Senin 22 Januari 2013 jenazah Pak Oetomo disemayamkan di Hanggar Skadron 17 Lanud Hallim Perdanakusuma. Saat saya tiba di Hanggar Skadron 17, telah banyak kerabat beliau serta beberapa pejabat Angkatan Udara disana. Sempat bertemu dengan pihak keluarga, serta beberapa Perwira Purnawirawan, tidak lama berselang tiba Jenderal TNI Purn.Try Sutrisno, mantan Wapres RI dan juga Eks Panglima ABRI di era pemerintahan Soeharto. Pak Try, antara lain bercerita bahwa ia dan Pak Oetomo sama-sama kelahiran tahun 1935. Beliau langsung menggandeng saya untuk mendampingi beliau bersama-sama membaca surat Yasin disamping jenazah Pak Oetomo.
Dalam kesunyian hati itulah, seiring dengan saat membaca Yasin bersama Pak Try, ingatan saya segera kembali pada saat-saat berdinas di Angkatan Udara pada penggalan waktu Pak Oetomo menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Udara. Secara pribadi saya cukup dekat dengan beliau, namun dalam konteks kedinasan saya tidak pernah berhubungan langsung, kecuali beberapa kali menerbangkan Pak Oetomo sebagai Kasau dan saya sebagai Captain Pilot Hercules VIP.
Almarhum adalah seorang pribadi yang hangat dan sangat rendah hati yang ditunjukkannya dalam berhubungan dengan saya yang dikala itu masih berpangkat Mayor dan kemudian Letnan Kolonel. Namun dalam kehalusan tata hubungan antar Perwira yang diperlihatkan beliau, tidaklah sama sekali berpengaruh dalam keputusan-keputusan yang diambil dalam pelaksanaan tugas. Pak Oetomo sangat tegas dan tidak pernah kelihatan ragu sedikitpun dalam memutuskan sesuatu dalam kedinasan.
Hangat dan Kebapakan
Pada masa jabatan beliau sebagai Kasau, Pak Oetomo sempat membangun gedung Persada Purnawira di Halim. Gagasannya terinspirasi setelah beliau melihat contoh dibeberapa negara antara lain Malaysia yang memiliki satu tempat berkumpul para Perwira dalam wadah “Officers Club”. Dimasa itulah, saya kerap dibekali beliau bagaimana mengorganisir “social meeting”, pertemuan antar perwira yang diselenggarakan terjadwal di Persada Purnawira tersebut. Saya banyak mendapatkan bimbingan, tentang bagaimana mengemas satu acara dengan beberapa “acara spontanitas” yang dapat lebih mengeratkan hubungan antar para Perwira berbagai korps di Angkatan Udara. Beliau memfasilitasi transportasi dan akomodasi bagi para perwakilan Perwira yang didatangkan khusus dari Bogor, Madiun dan Malang. Singkat kata, pada era beliaulah terjadi satu proses interaksi yang sangat intens dan bersahabat antar para Perwira berbagai korps dengan sarana antara lain “bersaing” dalam mengisi acara “spontanitas” di kancah “officers club”, atau “social meeting”. Sangat disayangkan program ini, tidak kunjung berlanjut setelah beliau tidak menjabat lagi sebagai Kasau.
Pada setiap kesempatan bertemu, beliau tidak pernah alpa untuk menyapa saya secara pribadi. Yang sangat membuat saya “bangga” dan “dekat” dengan beliau, antara lain adalah saat-saat menyiapkan acara untuk social meeting Perwira. Demikian pula disaat menerbangkan beliau, pasti Pak Oetomo selalu menyempatkan diri naik ke kokpit dan menyapa saya serta bertanya tentang kesiapan pesawat Hercules serta masalah cuaca diperjalanan dan juga di tempat tujuan. Kehangatan semacam ini , bahkan terjadi dalam momen yang sama sekali tidak pernah terpikirkan oleh saya. Disatu saat pada upacara 9 April, saya bertugas sebagai Komandan Upacara, sementara Inspektur Upacara nya adalah Pak Oetomo sebagai Kepala Staf Angkatan Udara. Hubungan dalam tata upacara, antara Komandan Upacara dengan Inspektur Upacara sangat jelas bersifat sangat formal dan seremonial yang sudah diatur secara baku. Namun apa yang terjadi? Dikala sesi Pemeriksaan Pasukan, sesaat sebelum melangkah memulai pemeriksaan pasukan, beliau sempat berbisik,“Loh, kamu toh Chap ? Gagah sekali kamu? Gimana?” Setengah kaget, saya pun menjawab setengah berbisik “Siap Marsekal”, tanpa berdaya untuk mengatakan apa-apa lagi, karena pusat perhatian saya tersita, fokus pada urut-urutan tata upacara yang tengah berlangsung. Itulah Pak Oetomo dengan kepribadian yang sangat ke bapak an.
Satu lagi peristiwa yang tidak mungkin lenyap dari ingatan saya adalah saat mengantar beliau melaksanakan kunjungan resmi ke Manila, Philipina. Kru pesawat, diperintahkan untuk menginap di hotel yang sama tempat beliau tinggal. Tidak hanya itu, dimalam pertama, selesai santap malam, kami seluruh Kru ngobrol-ngobrol di loby hotel. Tidak berselang lama terlihat Pak Oetomo melewati Loby berserta rombongan beliau. Melihat kami, Pak Oetomo berbelok arah menghampiri kami menanyakan apakah sudah makan. Setelah menjawab kami baru saja selesai santap malam, beliau bertanya lagi apakah sudah mencoba Es Krim Manila yang terkenal itu? Saya menjawab, belum Pak, kami belum tahu bahwa Es Krim Manila terkenal. OK, ayo coba ya, seru beliau, sambil memerintahkan salah satu staf beliau memesankan Es Krim Manila ke Pelayan Hotel didekat situ. Beliau pun berlalu dan kami para Kru dengan hati yang senang dan berbuga-bunga menanti kedatangan Es Krim istimewa yang dipesan langsung oleh Kasau. Tidak begitu lama, datanglah sang Es Krim yang “istimewa” itu. Istimewa tidak hanya “rasa”, akan tetapi juga ukurannya. Tadinya, kami agak sedikit kecewa karena yang datang adalah sebuah cangkir besar berisi Es Krim, untuk kami berlima dalam satu meja. Kekecewaan ini segera berakhir tragis, karena ternyata cangkir besar tersebut adalah jatah untuk satu orang.
Jadilah segera terhidang lima cangkir besar Es Krim yang lengkap dengan hiasan “payung fantasi” sebagai penghias diatas nya di meja kami. Bayangkan, kondisi kami yang tengah kekenyangan selesai makan malam, sudah harus berhadapan dengan satu cangkir besar Es Krim, yang beberapa teman bahkan menyebutnya sebagai “ember” saking besarnya. Di kejauhan, saya melihat Pak Oetomo beserta beberapa Staf pendampingnya , “senyum” menyaksikan kami semua yang tengah terpesona berhadapan dengan “ember” Es Krim Manila yang terkenal itu. Tidak kehilangan akal, maka dengan tersipu-sipu, Kru satu persatu, kembali ke kamar masing-masing sambil menenteng ember Es Krim yang masih banyak tersisa, karena memang tidak sanggup untuk bisa menghabiskannya seketika itu juga. Alhamdulilah. Bila malam itu, kami tidak berjumpa dengan Pak Oetomo, kemungkinan sampai detik ini pun saya tidak mengetahui tentang “istimewa” nya Es Krim Manila.
Tegas dalam aspek ‘Safety”
Kepemimpinan Pak Oetomo sepanjang beliau menjabat sebagai Kasau, banyak yang yang saya tiru. Salah satu peristiwa yang sangat berkesan terjadi beberapa saat Angkatan Udara mempersiapkan diri dalam memeriahkan ulang tahun ABRI 5 Oktober. Sebelum persiapan-persiapan terbang dimulai, dikala Angkatan Udara baru akan menginventarisasi pesawat-pesawat terbang apa saja yang akan terbang formasi dalam 5 Oktober tersebut, saya berjumpa dengan Pak Oetomo. Beliau menanyakan kepada saya tentang bagaimana kesiapan Hercules. Waktu itu saya menjawab apa adanya dan tidak menyadari bahwa beliau tengah mencari data kesiapan langsung kepada para Pilot dilapangan.
Saya katakan bahwa kebetulan ditahun itu kami belum melaksanakan latihan formasi yang khusus dalam format demonstrasi untuk upacara semacam 5 Oktober. Lalu ditanyakan lagi, bagaimana dengan waktu yang tersedia saat itu, apakah bisa disiapkan satu Flight Hercules untuk demo 5 Oktober. Dengan jujur, sekali lagi tidak menyadari risiko lebih lanjut dari “diskusi” dengan seorang Kasau, saya mengatakan waktunya “mepet”. Bisa saja dilakukan, namun pasti tidak memenuhi standar persyaratan dari SOP skadron yang berlaku. Dua hari setelah itu, jajaran Operasi Angkatan Udara dikagetkan dengan keputusan Kasau, bahwa pesawat Hercules dibatalkan dalam keikutsertaan “flypast” 5 Oktober. Kemudian tersebar, bahwa ada seorang penerbang yang mengadu kepada Kasau tentang ketidaksiapan para Pilot Hercules untuk terbang formasi di acara 5 Oktober tersebut.
Saya pun, kemudian bolak-balik dipanggil beberapa pejabat, di interogasi dan di “tegur” keras, karena telah dengan “lancang”, melapor ke Kasau tentang ketidaksiapan Hercules dalam “flypast” 5 Oktober. “Babak-belur” lah saya, walau sebenarnya saya sama sekali tidak “lapor”, melainkan sekedar berbicara santai tentang keadaan dan kondisi sebenarnya dari kesiapan Hercules untuk demo 5 Oktober. Sama sekali saya tidak menyadari “diskusi” yang saya rasakan hanya sebagai “ngobrol” biasa dan santai antara saya dengan seorang senior (yang kebetulan saat itu menjabat Kasau), ternyata telah membuat kehebohan yang luar-biasa di Angkatan Udara.
Seluruh penerbang saat itu di-”marah”-in oleh Asisten Operasi yang merasa wewenangnya dilangkahi oleh seorang penerbang yang masih “anak-bawang”. Belakangan, saya baru mengetahui, bahwa Kasau saat menerima laporan tentang kesiapan Angkatan Udara dalam 5 Oktober, yang ternyata disaat itu berupa keputusan “tiba-tiba” dari penitia pusat peringatan hari ABRI, sudah meragukan kesiapan unsur pesawat Hercules untuk terbang demo. Beliau mengetahui benar, bagaimana beban kegiatan Hercules sepanjang tahun yang penuh dengan tugas-tugas ABRI saat itu dan juga bahkan penugasan-penugasan lainnya yang bersifat nasional. Beliau yakin bahwa pasti tidak tersedia waktu yang cukup untuk sesi latihan terbang formasi di Skadron Hercules. Beliau tidak mau percaya begitu saja dari staf yang mengatakan bahwa Hercules siap untuk terbang demo. Itu sebabnya, pada satu kesempatan beliau berbincang-bincang dengan saya tentang hal tersebut.
Itulah antara lain, kemudian beliau dengan tegas memutuskan hal yang dipandang oleh beliau sebagai “tidak” safe dalam salah satu kegiatan yang tanggungjawabnya berada dalam tatanan jabatan Kasau.
Keberanian sekaligus metoda dari pola pengambilan keputusan yang seperti ini, kelak saya terapkan pula dalam masa jabatan saya, jauh setelah peristiwa tersebut. Saya banyak belajar dari Pak Oetomo.
Disamping Pak Saleh Basarah, maka Pak Oetomo adalah satu dari tidak banyak senior saya yang berada dalam posisi “guru” pada penggalan perjalanan karier saya sebagai Perwira Angkatan Udara.
Terimakasih dan Selamat Jalan Pak Oetomo ! Teriring rasa hormat sangat tinggi dari relung lubuk hati saya yang paling dalam. Inallilahi Wa Inaillaihi Rajiun.
Jakarta , Senin 4 Februari 2013
Chappy Hakim
6 Comments
Tulisan yg mengalir sehingga enak dibacanya. Om CH bilang dekat secara kedinasan sj dgn almarhum tapi om mampu merekam yg bagus dr pribadinya dgn apiknya.
Keren, om CH pernah jd anak buahnya & sama pernah jd KASAU. Ternyata almarhum tmsk boss yg mau mendengar saran & perhatian kpd anak buahnya. Buktinya, persyaratan terbang & tragedi Es Krim Manila itu.
Ternyata lg, om CH tipe anak buah yg apa adanya alias gak bikin ABS. Almarhum juga bukan tipe boss yg senang di-ABS-in. Bener2 klop!
Yg klop model gini hampir punah kalo gak mo dibilang gak ada diantara pemimpin & pejbat kita sekarang.
-MP
Terimakasih banyak !
betul sekali mas MP …sosok seperti alm Bpk Oetomo tdk ada lagi …
betul sekali sosok seperti pak Oetomo tdk ada lagi ya di era sekarang
Sebuah kisah yg sangat inspiratif dan penuh keteladanan. Walaupun saya bukan militer, saya sangat mengagumi banyak hal dari dunia kemiliteran khususnya tentang kepemimpinan. Semoga kisah ini selalu menjadi inspirasi untuk kami para generasi muda. Salam hotmat dari kami generasi muda.
terimakasih Didin !