Wednesday, 01 August 2012
Selang beberapa hari perusahaan AirAsia mengakuisisi Batavia Air muncul beberapa reaksi dari berbagai pihak. Banyak kalangan awam yang merasa “gembira” dengan proses diambil alihnya perusahaan milik perusahaan Indonesia ini oleh perusahaan luar negeri, dalam hal ini Malaysia.
Tentu saja kegembiraan itu muncul dari pemahaman yang sangat “sederhana” yang selama ini berkembang di masyarakat bahwa semua yang luar negeri itu selalu saja “lebih” dalam arti yang sangat positif tentu saja. Tidak heran, banyak kalangan yang sangat senang Batavia Air sudah menjadi milik AirAsia, dengan bayangan pasti semua pelayanan dan keamanan
terbangnya akan bertambah jauh lebih baik. Mereka ini mungkin saja menantikan perusahaan-perusahaan penerbangan lainnya untuk segera diserahkan/diakuisisi saja kepada pihak luar negeri. Langkah berikutnya adalah merindukan agar seluruh infrastruktur penerbangan juga “dijual” saja kepada luar negeri sehingga semua akan cepat dapat tertata dengan lebih baik dan aman.
Bukankah semua yang luar negeri lebih baik? Di sisi lain tentu saja tidak sedikit pula yang menyayangkan hal tersebut terjadi.Dalam tataran tertib birokrasi pemerintahan, kelihatannya juga akan memunculkan banyak masalah ikutan dari proses tersebut. Konon sudah beredar berita tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang akan memeriksa rencana akuisisi PT Metro Batavia Group, pemilik maskapai Batavia Air. Karena itu, wasit persaingan usaha ini meminta PT Indonesia AirAsia dan PT Fersindo Nusa Perkasa melaporkan rencana tersebut dalam 30 hari ke depan.
Ketua KPPU TadjuddinNoer Said menjelaskan, rencana akuisisi ini wajib dilaporkan sesuai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2010 tentang Penggabungan dan Peleburan Badan Usaha. Berdasarkanperundangundangan tersebut, notifikasi akan berupa konsultasi pramerger yang bersifat fakultatif dan notifikasi yang bersifat wajib atau mandatory. Sementara itu,muncul pula berita bahwa Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub Herry Bakti S Gumay menyatakan, Undang-Undang (UU) Nomor 1/2009 tentang Penerbangan melarang pihak asing memiliki mayoritas saham maskapai penerbangan nasional. Untuk itu, pihaknya akan memberikan waktu sebulan kepada AirAsia untuk mengajukan laporan mengenai transaksi akuisisi ini, serta melaporkan komposisi pemegang saham Batavia Air pascaakuisisi. Herry Bakti bahkan menegaskan, “Saat ini kami belum menerima surat pemberitahuan resmi, yang ada hanya memorandum of understandingatau MoU. ”
Nah, berikutnya marilah kita bahas lebih mendalam sedikit untuk berusaha melihat masalah ini lebih jernih. Airline luar negeri atau airline asing berstatus sangat berbeda dengan airline lokal yang sahamnya dimiliki oleh pihak asing. Yang terjadi dengan akuisisi Batavia Air oleh AirAsia adalah proses akuisisi saham, jadi sebenarnya yang memiliki otoritas pengatur akuisisi Batavia Air yang berupa saham tersebut adalah BKPM yang tidak ada hubungannya dengan Kementerian Perhubungan. Demikian pula mengenai kinerja bisnis atau unjuk kerja dari satu perusahaan bukanlah menjadi domain Kementerian Perhubungan.
Kementerian Perhubungan adalah regulator atau pemegang otoritas penerbangan nasional yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan penerbangan sipil terutama dalam aspek keamanan terbang atau Civil Aviation Safety Authority. Batavia Air jelas memang tengah menghadapi masalah finansial dan tenaga yang serius. Sementara untuk memperoleh dukungan finansial di dalam negeri sangat tidak mudah untuk dapat memperolehnya. Demikian pula dengan tenaga sumber daya manusia (SDM) terampil sesuai profesinya. Menjadi wajar pihak manajemen Batavia Air berikhtiar ke luar negeri. Mengelola sebuah maskapai penerbangan tidaklah gampang seperti yang dibayangkan orang.
Selain memerlukan investasi yang besar,juga memerlukan tenaga SDM profesional yang keberadaannya sudah sangat langka di dalam negeri. Persoalannya, mengapa terlihat sekali pihak asing begitu bernafsu untuk mengakuisisi maskapai-maskapai penerbangan kita? Masalah yang utama adalah pasar angkutan udara di Indonesia merupakan pasar yang sangat menjanjikan keuntungan yang
luar biasa, dengan catatan bila dikelola profesional. Pasar ini hanya berlokasi di rute-rute “gemuk” domestik tertentu yang tidak mungkin diperoleh izinnya oleh pihak asing. Dengan demikian, mudah sekali kita akan sampai pada kesimpulan pihak asing pasti sangat tergiur untuk membeli maskapai penerbangan dalam negeri yang sudah memiliki izinrute domestic yang “gemuk” tersebut. Bila tidak diatur dengan benar, yang terjadi adalah orang akan beramai-ramai mendirikan maskapai penerbangan dalam negeri dengan berbagai cara.
Setelah memperoleh izin rute “gemuk” domestik, kegiatan selanjutnya adalah jual saja kepada pihak asing. Dengan demikian, cukup ongkang- ongkang, sudah dapat menikmati keuntungan yang luar biasa. Memperoleh keuntungan dengan cara potong kompas seperti ini sepertinya memang satu kegiatan yang sangat dirindukan oleh banyak pihak di dalam negeri. Kapan lagi menikmati keuntungan dengan cara yang mudah. Kultur “mi instan” sepertinya sudah menjadi “way of life” kita semua. Mereka sudah lupa bahwa Pierre Corneille, seorang artis Prancis yang hidup pada 1600- an,pernah mengatakan bahwa “each instant of life is a step toward death.”
CHAPPY HAKIM
Chairman CSE Aviation
Koran Sindo Tanggal 1 Agustus 2012
1 Comment
Each instant of life is a step toward death, *Mie Instan.. 🙂