Sejak reformasi bergulir, para politisi berpesta pora dengan dan atas nama demokrasi telah menghadirkan nuansa baru di Republik Indonesia. Mereka sangat bangga dengan predikat bahwa Indonesia telah menjadi Negara demokrasi terbesar di dunia setelah Amerika Serikat dan India.
Namun apa sebenarnya yang terjadi, adalah satu kondisi yang justru sangat tidak nyaman. Dunia pers Indonesia, mungkin adalah media yang paling bebas di dunia saat ini. Terjadilah kemudian pemberitaan yang sangat merdeka. Setiap orang bisa dengan mudah membuat atau mendirikan penerbitan koran atau majalah dan atau stasiun radio dan televisi, sekaligus menyiarkan apa saja yang mereka inginkan. Pemberitaan tanpa sensor telah berjalan dengan mulus, setiap hari kita di hidangkan dengan berbagai berita-berita sadis dan juga pemerkosaan serta berita lainnya yang sangat jauh dari usaha-usaha membangun karakter bangsa. Hasilnya justru adalah perkelahian masal yang terjadi dimana-mana. Dunia politik menemukan posisinya yang terus menerus ribut tanpa arah yang jelas, mulai dari hak angket panja ini itu, aneka pilkada dengan protes sana dan sini serta demo bayaran yang terkadang anarkis digelar hampir setiap hari . Terakhir demo bayaran telah menghasilkan tontonan “seram” bin “sadis” , pemukulan ketua DPRD sampai mati ! dan lain-lain yang sangat membingungkan masyarakat awam, mau kemana kita?
Disisi lain, di sektor transportasi mulai dari semakin semrawutnya lalu lintas di jalan raya yang diwarnai dengan begitu banyaknya sepeda motor yang seolah bebas dari aturan laulintas yang berlaku, serta diselingi dengan setiap 5 atau 10 menit lewat iring-iringan mobil “orang penting” melintas dengan sirene dan pengawal yang ditengah-tengah kemacetan menggirng kendaraan lainnya untuk minggir. Angkutan laut yang beberapa tahun terakhir telah begitu banyak makan korban tenggelam, tanpa ada bayangan akan harapan perbaikan sistem transportasi antar pulau. Demikian pula dengan angkutan udara, begitu bebas nya orang mendirikan “airlines”, yang kemudian memakan banyak korban jiwa dengan seolah tanpa sanksi yang dapat dijatuhkan. Belum lagi berita tentang anjlok nya gerbong kereta api, tabrakan dan kebakaran yang hampir terjadi setiap hari.
Dunia pariwisata telah sangat terganggu dengan meledaknya bom dibeberapa tempat di Indonesia terutama dua kali di Bali yang telah banyak menelan korban, demikian pula di Poso, Kendari dan Ambon.
Dunia Internasional telah banyak mendikte kita dengan issue Ham dan lingkungan hidup demikian pula dengan “ban” yang diberlakukan oleh Uni Eropa.
Sementara itu angka kemiskinan terus meningkat dan pengangguran bertambah. Rakyat banyak dihadapkan pula dengan penggiliran pemadaman listrik, seiring dengan sulitnya memperoleh minyak tanah yang harus antri panjang dan juga sulitnya memperoleh gas yang mulai hilang dari pasaran. Laju pembangunan seolah terhenti, sementara kasus korupsi merebak kesegala arah, mulai dari anggota DPR, Departemen perhubungan sampai kepada kejaksaan.
Kekuatan Angkatan Perang yang terus menurun, bahkan pelanggaran udara telah menjadi hal yang biasa tanpa dapat diawasi dengan ketat. Kapal perang Malaysia dengan arogan menabrakkan kapalnya ke kapal TNI Angkatan Laut tanpa kita dapat berbuat apa-apa. Kekuatan Angkatan Perang kita telah berada jauh dibawah Singapura dan Malaysia.
Itulah semua produk dari reformasi, satu kebanggaan kosong dari label kebanggaan semu sebagai negara demokrasi terbesar di dunia yang ditandai dengan munculnya lebih kurang 38 partai yang akan bersaing dalam pemilihan umum 2009 nanti. Salahkah kemudian muncul apa yang dikenal dengan Golput?
Apabila melihat kebelakang sejenak, kita akan melihat era demokrasi terpimpin, memang ada antri minyak tanah dan juga pemadaman listrik, akan tetapi pembangunan yang bernilai strategis terlihat dengan jelas. Tugu Monas, Gelora Bung Karno, jalan Thamrin dan Sudirman, mesjid Istiqlal dan semua yang pada waktu itu disebut sebagai proyek mercu suar. Saat itu Angkatan Perang kita adalah merupakan yang terkuat di kawasan ini, bahkan Australia tidak bisa menandinginya. Rasa bangga sebagai orang Indonesia senantiasa berkobar-kobar.
Era demokrasi nya orde baru, pembangunan berjalan pesat, walaupun tidak ada kebebasan pers, namun arah pembangunan jelas, kemakmuran relatif bisa terbangun, rakyat kecil bertahap mulai menikmati kesejahteraan, swa sembada pangan bisa dicapai. Keamanan terjamin, tidak ada bom meledak dan investasi dapat berkembang.
Demokrasi terpimpin, demokrasi orde baru dan era reformasi dengan segala kelebihan dan kekurangannya saat ini seharusnya menjadi bahan renungan banyak orang. Ditengah-tengah suasana menghadapi pemilu ke depan, apa sebenarnya yang diinginkan rakyat banyak. Pada hakikatnya keinginan rakyat kecil adalah sangat sederhana. Apabila kebutuhan dasarnya dapat dipenuhi, tentu mereka dengan senang hati akan turut serta membangun negeri ini, yang konon memiliki sumber daya alam yang melimpah dan juga sumber daya manusia yang cerdas. Marilah kita semua, terutama para politisi, merenung sejenak untuk kemudian membuka lembaran baru menuju kesejahteraan rakyat banyak. Sudah bukan jamannya lagi atas nama demokrasi kemudian berlomba-lomba memperjuangkan kepentingan diri sendiri dan golongannya saja. Kasihan ”Demokrasi”, binatang apa gerangan itu?
Jangan sampai kita ber demokrasi yang hanya akan menghasilkan golput !