Minggu lalu terlontar berita yang cukup mengejutkan, yaitu tentang PSSI yang sudah mengajukan diri sebagai tuan rumah penyelenggara Piala Dunia sepak bola.
Satu ide yang cemerlang untuk muncul kembali di pentas dunia dari cabang olahraga yang paling populer di Tanah Air. Setelah Asian Games dan The Games of the New Emerging Forces (Ganefo) puluhan tahun yang lalu, rasanya memang olahraga Indonesia sudah tenggelam di dasar laut dalam ajang dunia,kecuali beberapa cabang seperti bulutangkis dan tinju barangkali.
Apalagi bila membicarakan ide tentang Indonesia sebagai penyelenggara kejuaraan olahraga bergengsi. Terakhir sudah ada upaya dari KONI yang untuk pertama kalinya berhasil dengan sukses menggelar Asian Beach Games di Bali.
Reaksi yang muncul terhadap ide PSSI itu pada umumnya adalah kaget, sinis, dan bahkan banyak yang menganggapnya sebagai lelucon belaka.
Ada pula yang mengatakan ide itu sebagai “mati ketawa ala PSSI”. Walaupun demikian, ada juga yang mendukung upaya ini. Pada dasarnya, kita haruslah menghargai siapa pun yang mempunyai ide positif untuk memajukan cabang olahraga sepak bola di Tanah Air ini.
Di sisi lain,para penggagas ide seyogianya juga dapat menempatkan posisinya sedemikian rupa sehingga dapat memperoleh dukungan yang maksimal dari seluruh masyarakat. Sebabnya sederhana sekali, karena cabang sepak bola adalah cabang olahraga yang sangat digandrungi seluruh rakyat Indonesia.
Mengapa begitu banyak yang menertawakan gagasan ini? Sebab, ide yang dilontarkan tersebut tidak terlihat sebagai ide atau gagasan yang telah dilandasi perencanaan yang matang. Walaupun waktunya masih sangat lama dalam hitungan kalender, yaitu lebih 10 tahun yang akan datang, untuk menyelenggarakan turnamen sepak bola sekelas World Cup sangat dibutuhkan perencanaan yang matang serta terpadu.
Penyelenggaraan kejuaraan berkelas dunia sudah pasti memerlukan kerja terpadu dari seluruh lini pemerintahan serta pihak swasta. Perhelatan yang sangat bergengsi seperti ini tidak akan dapat berlangsung tanpa adanya dukungan dari seluruh slagorde nasional. Ide ini seharusnya merupakan ide yang “nationwide”, bukan PSSI semata. Ini mungkin mengapa kemudian banyak orang melihat PSSI sepertinya sudah berjalan seorang diri menuju Piala Dunia.
Bisa jadi pandangan negatif itu salah, tetapi adalah sebuah kenyataan masyarakat luas melihatnya seperti itu. Paling tidak, orang dapat melihat dalam official website of PSSI di internet tidak ada perencanaan tentang hal ini, bahkan lembar “program” dalam situs itu kosong! Mengajak banyak pihak untuk mengerjakan pekerjaan besar seperti penyelenggaraan Piala Dunia adalah satu tindakan yang harus dipertimbangkan masak-masak.
Dengan ajakan tersebut, akan diperoleh dukungan yang diperlukan. Namun ajakan tentu harus terlebih dahulu dibahas dan didiskusikan dengan matang tentang banyak hal yang terkait dengan kemungkinan dapat dilaksanakannya pekerjaan besar itu. Di sinilah kemudian akan muncul ide yang masuk akal dan akan serta-merta memperoleh dukungan yang baik.
Dalam kacamata orang awam penggemar berat sepak bola di Tanah Air, tergambar masih banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi dulu oleh PSSI. Mulai dari masalah dengan FIFA tentang kasus Ketua Umum PSSI sampai dengan prestasi tim nasional yang tidak kunjung meningkat dari waktu ke waktu.
Belum lagi tentang kemampuan PSSI menyelenggarakan kompetisi yang selalu saja berakhir ricuh berkepanjangan. Munculnya penonton fanatik yang kerap membakar-bakar bangku stadion sampai kini pun belum dapat ditangani dengan baik.
Berbicara tentang prestasi PSSI, prestasi terbaik yang pernah dicapai oleh tim nasional PSSI yang antara lain masih tersimpan dalam ingatan adalah berhasil menahan imbang 0-0 juara Olimpiade Melbourne saat itu, tim kesebelasan Rusia (1956). Berikutnya, berhasil menjadi juara ketiga di Asian Games (1958),juara pertama di SEA Games (1987 dan 1991).
Selebihnya, hampir dapat dikatakan tidak ada yang patut dibanggakan. Kemampuan PSSI dalam menyelenggarakan turnamen sepak bola masih banyak yang harus disempurnakan. Masyarakat sudah bosan melihat perkelahian antarpemain di lapangan. Perkelahian ini acapkali justru dipelopori oleh pengurusnya sendiri. Kondisi perwasitan pun kelihatannya masih memerlukan pembinaan yang lebih baik,di samping penghargaan dan respek pemain terhadap wasit terlihat sangat kurang.
Sering kita menyaksikan wasit yang dipukuli oleh pemain dan oleh penonton maupun pengurus klub. Upaya peningkatan kualitas dan prestasi tim nasional Indonesia belum juga terlihat membawa hasil yang memuaskan. Gambar yang muncul ke permukaan justru memperlihatkan tidak kapok-kapoknya PSSI menjalankan program yang sifatnya instan alias potong kompas. Kalau tidak salah, pada 1980-an PSSI mengirim timnya untuk berlatih di Brasil.
Berikutnya pada 1990-an kembali dikirim tim ke Italia yang bernama Primavera, selanjutnya ke Uruguay, dan terakhir pada 2006 ke negeri Belanda. Tidak ada satu pun yang kemudian berhasil secara tim, selain melahirkan beberapa pemain yang cukup andal untuk ukuran kawasan sendiri. Seharusnya mudah dimengerti bahwa dalam olahraga, lebih-lebih seperti sepak bola,untuk dapat memperoleh prestasi tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh selain dari latihan yang keras dan pengalaman bertanding dalam kompetisi yang ketat.
Hal ini pun tidak banyak gunanya bila para pemain tidak diperoleh dari hasil binaan sebelumnya, yaitu yang dikenal dengan pembinaan pemain di usia dini. Bukti sudah terlihat dari hasil prestasi tim PSSI pada 1950- an di bawah asuhan Tony Pogacknik, demikian pula pada era Wiel Coerver pada 1970-an. Mengapa harus mengulang kembali untuk menjalankan metode potong kompas?
Harus diingat bahwa hasil yang selama ini kita nikmati adalah bahwa PSSI berada di peringkat 140-an FIFA, di bawah Vietnam,Kamboja, dan Myanmar. Itulah semua gambar besar dari PSSI yang kita cintai ini. Sekarang tinggal tanyakan ke dalam hati kita masing-masing, apa yang akan menjadi pilihan kita ke depan?
Apakah akan membenahi tim PSSI kebanggaan nasional dengan memulainya secara intensif pembinaan pemain usia dini sekaligus mencoba menjalankan kompetisi yang bergulir secara konsisten tiada henti atau kita tetap mengirim tim ke luar negeri secara temporer dan sekaligus mempersiapkan diri saja untuk menjadi penyelenggara kejuaraan dunia sepak bola di Indonesia? Hanya kepala dingin dan akal sehat yang dapat memberikan jawaban yang tepat untuk ini.
Jakarta 2 Februari 2009
Chappy Hakim
Blogger, pencinta bola.