Sebanyak 12 maskapai asing membatalkan 47 penerbangan ke luar negeri melalui Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng, Jakarta, Sabtu (6/11) sejak pukul 13.00 hingga pukul 21.00. Batas waktu pembatalan penerbangan belum ditentukan.
Pembatalan itu sendiri mereka putuskan sebelum adanya notice to airmen dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta sehubungan dengan meletusnya Gunung Merapi di DI Yogyakarta dan Jawa Tengah yang mengeluarkan abu vulkanik.
Bandara Soekarno-Hatta mencatat, maskapai yang membatalkan penerbangannya kemarin ialah AirAsia, Malaysia Airlines, Singapore Airlines, Emirates Air, Japan Airlines, Turkey Airlines, Lufthansa, KLM, Tiger Airways, Eva Airlines, Etihad, dan China Southern. Berdasarkan data PT Angkasa Pura II, dalam sehari, penerbangan luar negeri, baik kedatangan maupun keberangkatan, mencapai 50 penerbangan dari 23 maskapai (Kompas, 7 November 2010).
Mengapa sementara ini hanya maskapai penerbangan asing saja yang khawatir terhadap abu vulkanik yang belum sampai ke Jakarta? Ada beberapa faktor yang kemungkinan menjadi penyebab. Pertama adalah adanya kekhawatiran terhadap abu vulkanik yang dikabarkan sudah sampai di kawasan Jawa Barat akan bergerak ke daerah udara kawasan Jakarta.
Dengan demikian, bila mereka sudah telanjur sampai di Jakarta, ada kemungkinan mereka tidak dapat terbang kembali dan ini tentu saja merupakan kerugian yang besar bagi mereka. Berikutnya adalah kekhawatiran tersebut didorong juga dengan kenyataan bahwa pelayanan air traffic control (ATC) di Jakarta yang belum dapat memberikan rasa nyaman yang penuh bagi para pilot yang terbang ke dan dari Jakarta.
Belum cukup canggih
ATC Jakarta belum cukup canggih untuk dapat memberikan kondisi cuaca yang tepat atau mungkin malah tidak mampu memberikan informasi, misalnya posisi awan cumulus nimbus (CB) yang berbahaya bagi penerbangan. Dengan demikian, dipercaya bahwa ATC Jakarta belum mampu pula untuk memberikan informasi tentang lokasi dari tebaran abu vulkanik bila memang sudah mencapai kawasan udara Jakarta.
Beberapa indikasi dari hal itu sering dialami oleh para pilot, dua sampai tiga tahun belakangan ini. Misalnya saja, dalam memberikan separasi antarpesawat untuk masuk antrean yang aman dalam take off dan landing, sering memberikan arah atau heading dengan sudut yang sangat ekstrem. Ini berarti memang peralatan yang digunakan belum bisa membantu sepenuhnya dengan baik daftar urut yang ”aman” bagi pesawat-pesawat yang antre tersebut. Untuk amannya diberikanlah arah yang sangat jauh yang dengan sendirinya menjadi tidak efisien dan bahkan berbahaya.
Seringkali pula sang operator menanyakan kembali tentang type of aircraft atau jenis pesawat, juga tentang speed atau kecepatan pesawat, yang bila menggunakan radar mutakhir, hal ini sudah akan tersaji dengan jelas di layar radar. Belum lagi kondisi transceiver radio komunikasi yang digunakan. Tidak jarang instruksi menjadi tidak jelas karena banyak suara ”berisik” yang mengganggu.
Di sisi lain, terdengar pula operator yang menangani pada waktu sibuk, bergantian orangnya hanya pada kurun waktu lebih kurang setiap 15 menit. Itu semua memberikan kesan adanya beberapa masalah yang dihadapi oleh pihak ATC kita. Selain peralatan yang tentu saja dapat dipastikan sudah ketinggalan zaman, yang pasti akan memengaruhi tingkat keterampilan dan tingkat stres para operatornya.
Tentu saja, semua itu kemudian menggambarkan betapa maskapai penerbangan asing lebih memilih ”aman”-nya pelaksanaan penerbangan dari dan menuju Jakarta. Lebih-lebih dengan mengantisipasi tidak menentunya kondisi cuaca yang dapat saja kemudian mengalirkan debu vulkanik tanpa terdeteksi.
Mereka tidak ingin mengulang kejadian yang menimpa pesawat B-747-236B dengan nama ”City of Edinburg” milik British Airways pada penerbangan dari Singapura ke Sydney pada 24 Juni 1982 yang harus melakukan pendaratan darurat di Halim Perdanakusuma.
Pesawat nomor penerbangan Speedbird 9 dengan dengan penumpang sebanyak 248 orang serta 15 kru itu mengalami fFlameout of all engines due to blockage by volcanic ash (keempat mesinnya mati karena tersumbat abu vulkanik) yang berasal dari letusan Gunung Galunggung. Beruntung semua penumpang dan kru selamat.
Melampaui kapasitas
Di samping itu, kesibukan lalu lintas udara di Jakarta berada dalam ambang batas toleransi keamanan terbang, terutama pada jam-jam sibuk. Untuk diketahui, saat ini Bandara Soekarno-Hatta dengan hanya memiliki dua buah runway sudah kewalahan melayani take off dan landing demikian banyak pesawat. Sekadar data saja bahwa sekarang ini kapasitas runway pada peak hour harus melayani sebanyak 67 pesawat setiap jam dan 926 pesawat per hari. Sementara itu, kapasitas normal runway hanya 52 pesawat per jam.
Jadi, dengan kondisi biasa saja Soekarno-Hatta sudak agak kewalahan menangani traffic, apalagi dengan adanya ancaman debu vulkanik Gunung Merapi yang setiap saat bisa saja mencapai kawasan udara Jakarta.
Sudah saatnya mempertimbangkan ulang kondisi pelayanan ATC di Jakarta yang sudah ketinggalan zaman sebagai akibat kelalaian dalam perencanaan modernisasi peralatan pelayanan alat bantu navigasi. Ke depan mungkin perlu dipikirkan agar sektor pelayanan penerbangan nasional lebih-lebih internasional seharusnya berada di tangan para profesional yang benar-benar memiliki latar belakang pengetahuan dalam keselamatan penerbangan!
Chappy Hakim Penerbang, Pengamat Penerbangan.
Catatan : artikel diatas telah dimuat di Harian Kompas hari ini halaman 7.
Jakarta 9 Nopember 2010
Chappy Hakim