Pagi tadi saya menerima tulisan dari Salim Said tentang hubungan Indonesia Malaysia. Tulisan yang sangat menarik dan saya pikir perlu juga disebarluaskan di Kompasiana. Berikut ini tulisannya:
Malin Kundang.
Oleh: Salim Said.
Dalam kuliahnya pada Sugeng Sarjadi School of Government tanggal 26 September silam, Dr. Dato’ Sri Anwar Ibrahim, mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia, menyalahkan elit negerinya sebagai penyebab timbulnya ketegangan yang kini melanda hubungan Indonesia-Malaysia. Pernyataan itu haruslah diterima dengan hati-hati sebab Anwar Ibrahim sekarang adalah tokoh oposisi di parlemen.
Terlepas benar atau salahnya tuduhan Anwar, bagi mereka yang secara teratur berkunjung ke Malaysia sejak 40 tahun silam, ada suatu perubahan terhadap orang Indonesia yang terlihat jelas pada orang Melayu Malaysia belasan tahun terakhir ini. Sebagai wartawan yang sering kali ditugaskan ke Malaysia di tahun tujuh puluhan dan berlanjut hingga ke tahun sembilan puluhan dalam kapasitas sebagai dosen tamu pada sebuah universitas di Kuala Lumpur, saya merasa punya cukup bahan untuk bersaksi mengenai terjadinya perubahan itu.
Berbeda dengan sikap ramah tamah dan rasa bersaudara serta hormat di masa lalu, sejak belasan tahun silam sikap orang Melayu terhadap orang Indonesia nyata sekali berangsur arrogan. Pengalaman yang sama saya saksikan juga ketika menjadi pengajar tamu di sebuah universitas di Amerika. Di sana seorang rekan dosen dari Kuala Lumpur, pada sebuah seminar, tanpa tedeng aling-aling bahkan secara provokatif, menjelaskan kepada publik bahwa Malaysia tidak lagi sudi dianggap junior partner oleh Indonesia. Sikapnya dalam pergaulan pun menunjukkan cara pandangnya yang cenderung menganggap remeh orang-orang Indonesia di kampus.
Suatu kali, pada masa kepresidenan Abdurrahman Wahid, saya diundang ke Kuala Lumpur untuk memberi taklimat (brieving) kepada sejumlah pejabat intelejen negeri itu mengenai arah perkembangan Indonesia. “Kami bingung melihat Indonesia sekarang, macam mana harus mengerti, kata seorang petinggi di kantor Perdana Menteri yang mengundang saya. “Samalah kita. Di Jakarta juga orang bingung melihat tingkah laku Bapak Presiden Abdurrahman Wahid,” kata saya sembari tersenyum.
Tapi yang sebenarnya ingin saya ceritakan adalah bahwa yang hadir dalam taklimat saya itu semua orang Melayu. Menariknya, hampir semua hadirin meminta saya berbicara dalam bahasa Inggris. “Jangan takut, saya bisa bahasa Melayu, saya pernah mengajar di Kuala Lumpur, “ kata saya mencoba meyakinkan mereka. Tapi nampaknya mereka lebih senang jika saya berbahasa Ingris, sebab umum diketahui bahwa bahasa Inggris adalah sektor keunggulan Malaysia sementara bahasa Belanda dulu merupakan bahasa elit Indonesia. “Well, I can speak English a little bit,” kata saya merendah. Tapi saya tetap saja berbahasa Melayu yang sebenarnya sama dengan bahasa Indonesia keculai beberapa kata yang artinya sedikit berbeda. Untuk menyenangkan para hadirin, pada bagian-bagaian tertentu saya ulangi taklimat tersebut dalam bahasa Inggris.
Menariknya, selepas acara taklimat, saya diajak makan siang bersama para peserta acara tersebut. Bisa diduga, hidangannya makanan Padang yang terbiasa kita santap di hampir seluruh penjuru Indonesia sekarang. Dalam acara makan itu kita semua bercakap dalam bahasa Melayu dan yang dibicarakan adalah asal usul mereka yang ternyata hampir semua berasal dari Indonesia. “Mak saya dari Minangkabau,” kata seorang. Yang lainnya menyebutnya masih marga Harahap dari Tapanuli. Seorang lagi mengaku kakeknya dari Jawa Tengah. Dan banyak lagi kisah asal usul mereka di Indonesia. Ketika pengalaman itu saya kisahkan kepada seorang teman lama, seorang sastrawan Malaysia, dia dengan ringan dan cepat berkomentar,” Semua orang Melayu di Semenanjung ini asalnya dari Indonesia. Yang asli di sini hanya suku Orang Asli.”
Pada malam harinya tatkala saya menghadiri majlis makan malam atas undangan petinggi yang mengatur perjalanan saya ke Malaysia, pelayan restoran bertanya kepada saya: ” Dari Indon, ya?” Jawab saya, ” Saya dari Indonesia.” Tuan rumah saya nampaknya berada dalam posisi serba salah, sebab Indon itu panggilan yang berkonotasi menganggap rendah orang Indonesia.
Pagi hari esoknya, sebelum ke lapangan terbang, saya di ajak melihat Petaling Jaya, pusat pemerintahan Malaysia yang dibangun dengan megah pada masa Mahatir Mohammad. Dalam perjalanan tiba-tiba terlihat seorang berjalan santai di sebuah tepi jalan. Mobil melambat mendekat dari arah belakang pejalan kaki yang berbaju batik lengan panjang itu. Sopir buka kaca jendela dan tiba-tiba memanggil-manggil pejalan kaki yang wajahnya pun tidak dikenalnya. “Om, om, apa kabar?” Yang terpanggil berbalik, tersenyum, lalu melanjutkan perjalanan. “Itu kuli-kuli dari Indonesia yang membangun kota Petaling Jaya ini,” katanya menjelaskan. “Om” kononnya sudah popular di Malaysia sebagai panggilang kepada tenega kerja lelaki dari Indonesia.
Sebelum pulang pada sore hari itu, pengalaman pagi hari dengan “Si Om dari Indonesia” itu saya ceritakan kepada seorang pejabat KBRI. Komentarnya, “Itulah Pak sebabnya kami tidak suka pakai baju batik di depan umum di sini, sebab kita mudah diperlakukan sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI),” kata sang diplomat.
Berkunjung ke Malaysia secara teratur dalam 40 tahun terakhir, saya rasanya punya cukup pengalaman untuk berkomentar mengenai perubahan sikap dan perlakuan orang Melayu Malaysia kepada orang Indonesia di negeri semenanjung itu. Berikut ini izinkalah saya mencoba menjelaskan terjadinya perubahan sikap tersebut.
Ketika baru Merdeka, Malaysia belum dikenal sebagaimana Indonesia (jangan lupa jasa Presiden Sukarno) yang memang sudah amat terkenal pada masa itu. Elit awal Malaysia banyak yang mendapatkan pendidikan tinggi mereka di Indonesia. Bahkan beberapa pemimpin Malaysia masa awal itu pernah terlibat dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dan berharap negeri semenanjung itu bergabung dengan Indonesia merdeka. Indonesia juga dekat ke hati orang Malaysia waktu itu karena mereka merasa terancam oleh dominasi orang-orang Tionghowa yang menguasai eknomi serta merupakan penduduk utama kota-kota ketika orang Melayu umumnya masih berada di kampung-kampung.
Di kemudian hari, terjadi pembalikan yang drastis. Malaysia maju secara ekonomis akibat Kebijakan Ekonomi Baru Tun Razak. Anak-anak Melayu sudah pada pintar-pintar, antara lain, karena sejumlah besar di sekolahkan ke Amerika oleh Menteri Pendidikan Mahatir. Pada saat yang sama Indonesia, hampir bisa dikatakan, mengalami stagnasi. Tatkala orang Melayu makin kaya, kita sebagian besar justru makin miskin. Kalau dulu kita kirim guru ke Malaysia dan orang Malaysia datang sekolah ke Indonesia, kondisi pendidikan kita mendorong sejumlah mahasiswa kita mengikuti kuliah di berbagai universitas di Malaysia. Keadaan yang terbalik ini diperparah lagi oleh hadirnya berjuta tenaga kerja kita (legal dan illegal) yang mengerjakan semua pekerjaan kasar di negeri jiran tersebut.
Dengan latar belakang seperti inilah kita harus mengerti terjadinya perubahan sikap orang Melayu Malaysia kepada orang Indonesia. Sebagai “orang kaya baru” mereka bisa dan berani membayar iklan di berbagai jaringan televisi internasional, akibatnya semua yang tampang Melayu dianggap orang Malaysia. “Are you from Malaysia?” Begitu pertanyaan yang kerap diajukan kepada orang Indonesia di Eropa, Amerika, bahkan di Timur Tengah. Di Saudi Arabia yang pengunjungnya mayoritas orang Indonesia, pertanyaannya juga sama: “Are you from Malaysia?”
Dengan kekayaannya serta popularitasnya itulah Malaysia. Sebagai orang kaya baru, tidak lagi peka terhadap tetangganya, meski serumpun. Inilah penjelasannya mengapa sejumlah hasil budaya Indonesia mereka aku sebagai miliknya. Bukan Cuma itu, tentara Malaysia juga berani memprovokasi TNI dengan menabrakan kapal perangnya ke kapal perang Indonesia yang berpatroli di kawasan Ambalat. Bahkan pejabat Indonesia mereka tahan , telanjangi dan borgol bagaikan kriminal.
Kendati kadang keterlaluan, namun haruslah disadari bahwa pengalaman kita dengan Malaysia ini bukanlah suatu yang khas Melayu. Para diplomat kita di Timur Tengah bisa berbicara banyak mengenai perlakuan kurang sedap yang mereka terima dari pejabat-pejabat negara setempat. “Wah kita diperlakukan rendah sekali oleh mereka,” kata Dubes kita di Uni Arab Emirat tahun silam kepada saya.
Seorang pejabat tinggi Saudi Arabia dikisahkan pernah dengan bangga mengatakan kepada seorang pejabat tinggi Indonesia yang berkunjung Riyad bahwa tuan rumah tahu betul tentang Indonesia. Bagaimana mungkin, pada hal tuan itu belum pernah berkunjung ke Indonesia? “Di rumah saya ada empat babu dari Indonesia,” katanya sembari tersenyum polos.
Seperti juga di Malaysia, di Timur Tengah pun kita dianjurkan agar sebaiknya jangan memakai baju batik di tempat umum, “Anda bisa dianggap sopir bus yang melayani rute Mekkah, Madina, Jeddah,” kata seorang Indonesia yang sudah puluhan tahun mukim di Saudi Arabia.
Kembali kepada Anwar Ibrahim, saya kira politisi Malaysia yang sejak muda dekat dengan Indonesia itu ingin meyakinkan kita bahwa pada dasarnya orang Melayu Malaysia tidak bersikap bermusuhan terhadap Indonesia. Anwar tidak salah. Dan kalau kita mengalami perlakuan kurang sedap oleh saudara-saudara kita serumpun di negeri jiran sana, maka itu hanyalah ekspresi bawah sadar dari orang-orang kaya baru.
Dalam hal ini adalah kewajiban kita pertama-tama mencoba mengerti lahirnya sikap demikian. Pada saat yang sama kita juga harus sadar dan mengerti bahwa sebagian besar orang kaya baru pada umumnya memang berkecenderungan berubah sikap terhadap saudara, teman atau tetangga yang tidak beranjak kaya seperti dirinya.
Saya sendiri berpendapat bahwa yang besar kemungkinan salah dalam hubungan yang kurang menyenangkan antara dua jiran serumpun ini adalah kita. Sebagai bangsa yang lebih dahulu merdeka , dan alamnya lebih kaya, sampai kini kita ternyata masih belum juga berhasil menyediakan lapangan kerja kepada banyak warga bangsa kita. Akibatnya, mereka terpaksa harus terlempar ke luar negeri menjadi babu dan kuli bangsa lain. Di negeri-negeri asing itu mereka harus mengerjakan semua pekerjaan yang penduduk setempat sudah merasa jijik mengerjakannya. Mungkin tanpa kita sadari kita telah menjadi bangsa kuli dan babu buat negara seperti Malaysia serta sejumlah negara di Timur Tengah.
Saran saya, dari pada terus dongkol dan marah-marah kepada sikap meremehkan dari pihak Malaysia, barangkali kita justru harus berterima kasih kepada negeri jiran serumpun tersebut karena kemajuan ekonomi mereka terbukti bisa membantu memberi lapangan kerja kepada anak-anak bangsa kita yang di negeri kita miskin karena tidak tersedia lapangan kerja yang cukup.
Kita tentu kesal melihat tingkah laku orang Melayu Malaysia yang memandang enteng kita. Tapi kenyataan tak elok seperti itu haruslah dimengerti sebagai akibat dari kemakmuran mereka yang meningkat tatkala kita makin banyak saja yang miskin.
Tingkah laku orang Melayu Malaysia kepada kita yang demikian itu adalah khas tingkah laku orang kaya baru yang memang selalu berkecenderungan memandang rendah orang yang dianggapnya tidak maju dan karena itu tetap miskin. Hal yang demikian itu bukanlah pula khas Melayu Malaysia sebab — seperti sudah saya katakan tadi – hal demikian terlihat juga pada sikap penduduk beberapa negara Timur Tengah terhadap orang-orang Indonesia di sana.
Kondisi demikian itu adalah kelemahan manusiawi yang hampir selalu terjadi pada tingkat tertentu dalam perkembangan suatu kaum. Di mana saja dan kapan saja sepanjang sejarah manusia. Ingat kisah Malin Kundang? Nah Malin Kundang itu adalah contoh dan protipe sempurna orang kaya baru.***
Dimuat oleh harian REPUBLIKA edisi 1 dan 5 Oktober 2010.