PADA salah satu kesempatan mengikuti kursus singkat di Amerika Serikat beberapa tahun yang lalu, saya dijemput oleh seorang Mayor Angkatan Udara Amerika. Mengendarai mobilnya sendiri kami menuju Mess Angkatan Udara di Colorado Spring. Dalam perjalanan yang cukup jauh itu, kami melintasi jalan raya yang sangat lebar dan nyaman serta tanda-tanda jalan yang sangat jelas. Namanya juga di Amerika, semuanya serba wah.
Tiba-tiba, ada sebuah mobil yang menyalip mobil kami dan kemudian masuk kembali ke jalur yang tengah kami lalui, agak jauh di depan. Bagi saya, jaraknya cukup aman dan tidak menjadi persoalan yang serius. Akan tetapi tidak demikian hal nya bagi sang mayor. Dia langsung tancap gas mengejar dan membuka jendela sambil mengacungkan tangannya menegur sang pengemudi si penyalip tersebut.
Setelah agak tenang, saya tanyakan, mengapa dia begitu marah. Dia mengatakan bahwa pengemudi tersebut telah membahayakan orang lain, karena menyalip dan kemudian masuk kembali ke jalur yang tengah digunakan dalam jarak yang dekat. Saya bilang kepadanya, ah itu kan masih jarak yang aman, kalau anda nyetir di Jakarta maka anda akan menghadapi yang jauh lebih buruk dari itu.
Diluar dugaan saya, sang Mayor menjawab, terimakasih anda memberitahu saya, akan tetapi, maaf ya, saya tahu lalu lintas di Jakarta, saya tahu juga di Bangkok dan Manila. Saya pernah berdinas di sana beberapa tahun yang lalu, akan tetapi sekali lagi sorry, disini adalah Amerika. Jalan-jalan disini sudah dibangun sesuai dengan aturan baku lengkap dengan marka jalan yang sangat jelas serta penunjuk arah yang sangat mudah dipahami. Para pengendara yang memegang SIM di Amerika telah melalui persyaratan dan proses yang tidak mudah, dan lebih dari itu semua warga Negara Amerika mempunyai tanggung jawab untuk menjaga ketertiban dilingkungannya. Itu sebabnya, saya sebagai warga Negara yang baik harus menegur pengendara tersebut, agar dia tahu bahwa dia telah bertindak ceroboh dan membahayakan orang lain.
Bukan main, saya cukup terhenyak dengan jawabannya yang sangat tegas dan jelas tersebut.
Penjelasannya sangat gamblang, mulai dari sarana jalan raya yang memang telah di “design” dengan baik, sampai dengan persyaratan memperoleh SIM yang pasti tidak melalui proses jalan pintas alias “pungli” dan yang terakhir dan membuat saya tidak habis pikir adalah kesadarannya yang luar biasa untuk menegur orang lain yang ugal-ugalan sebagai refleksi dari tanggung jawab sosial terhadap ketertiban dilingkungannya. Lengkap sudah semua itu tadi yang saat ini tidak kita miliki. Malu sekali saya, akan tetapi mau bilang apa?
Kalau kita melihat gambar besar dari warna nya lalulintas kita saat ini, maka pastilah keprihatinan mendalam harus kita renungkan sambil mengelus dada. Saat ini , melihat kesemrawutan lalulintas di jalan raya , maka kita hampir-hampir tidak tahu lagi mana yang benar dan mana yang salah. Tidak tahu lagi mana jalan yang satu arah dan mana yang dua arah, bahkan pada jalan yang separator nya terbuat dari beton. Tidak tahu lagi apakah lampu merah itu tanda untuk berhenti atau pertanda untuk jalan.
Begitu semrawutnya lalu lintas kita yang pada saat-saat tertentu saking macet nya kita tidak bisa lagi membedakan mana jalan raya dan mana tempat pelataran parkir. Begitu membingung kan, karena jarak dari Singapura ke Jakarta yang ditempuh dengan perjalanan selama 1 jam 20 menit, sementara dari Jakarta ke Jakarta orang bisa menempuhnya dengan perjalanan yang lebih dari 2 jam.
Di Negara maju seperti di Amerika dan Eropa, bila orang akan melintas dari jalan kecil ke jalan yang lebih besar, pasti mereka akan berhenti sejenak, walaupun tidak ada kendaraan yang melintas. Demikian pula apabila akan melintas jalan kereta api, yang walaupun melintas pada rel yang sudah tidak terpakai lagi, mereka tetap akan berhenti sejenak, karena disiplin yang ketat pada proses memperoleh SIM nya, telah membentuknya menjadi pribadi yang memiliki kesadaran yang tinggi. Kesadaran yang tinggi akan keselamatan, baik bagi diri sendiri dan juga bagi orang lain. Sebaliknya di sini, pada pelintasan kereta api yang sudah jelas-jelas ditutup, beberapa pengendara motor tetap saja berusaha untuk melintasinya dengan menundukkan badan, sementara yang lain bahkan berusaha meyakinkan si penjaga palang pintu untuk membuka kembali sedikit, karena kereta apinya, katanya masih jauh.
Ketidak patuhan berlalu lintas saat ini memang sudah sangat keterlaluan. Pada jalur-jalur tertentu, pengendara angkot dan motor sudah tidak memperhatikan lagi mana yang jalan dan mana yang bernama trotoar. Yang penting bila ada ruang terbuka yang kira-kira pas untuk dilalui, maka itu akan dilakukan. Pengendara motor lebih sulit lagi, mereka sudah tidak tahu lagi mana jalur jalan yang di peruntukkan bagi arah yang searah dan mana jalur bagi mereka yang berlawanan arah. Sudah melanggar, dan apabila tersenggol justru mereka yang marah, benar-benar sudah tidak diketahui lagi mana yang benar dan mana yang salah. Hebat nya lagi tidak ada seorang pun yang berusaha untuk mengingatkan satu dengan lainnya. Lebih hebat lagi angkot yang menaik dan turunkan penumpangnya di tengah jalan dan juga di tikungan sehingga menambah kemacetan, polisi pun yang ada disitu tidak menegur nya. Jalan raya sudah menjadi kawasan dengan hukum rimba. Lantas kepada siapa kita harus mengadu?
Belum lagi kalau kita membahas tentang kemacetan yang terjadi, lebih-lebih pada perempatan yang lampu lalulintas nya mati. Jangan harap ada yang akan menolong, kecuali ada satu dua kenek Bus/Mikro Bus yang kemudian turun tangan yang tujuannya hanya berusaha agar Bus nya dapat segera keluar dari kemacetan tersebut. Itulah gambaran paling mutakhir dari lalulintas jalan raya kita saat ini. Mengharapkan pejabat Negara turun tangan?
Mungkin ini adalah sesuatu yang rada mustahil. Karena para pejabat kita tidak tahu bahwa jalan-jalan kita itu macet parah. Mereka selalu lewat dengan mudah dan lancar berkat mobil pengawalan yang super ketat dengan lampu kelap kelip dan lengkap dengan motor ber sirene “ngoeng-ngoeng” nya yang segera menyingkirkan pengguna jalan lain. Warga negara, pengguna jalan lainnya yang sebenarnya adalah para pembayar pajak telah diberlakukan sewenang-wenang untuk menyingkir segera untuk memberi jalan, walaupun pada kepadatan macet yang sangat parah. Yang penting mereka bisa lewat dengan tenang.
Terus Gimana? Ya Gimana?
Apabila direnungkan kembali, seharus nya dapat dipahami dengan mudah, bahwa lalu lintas di jalan raya, terlebih di ibukota suatu negara sebenarnya adalah parameter atau refleksi dari pemerintah nya dalam mengatur negara nya. Tidak akan ada di Ibukota suatu negara yang maju dan tertib, kondisi lalu lintas nya semrawut. Demikian pula tidak akan ada suatu kota yang lalu lintas nya tertib berada di suatu negara yang semrawut.
Semrawut atau amburadulnya kondisi lalu lintas di suatu kota atau negara, pada umumnya disebabkan karena transportasi pelayanan masyarakat nya yang tidak baik. Banyak terjadi kecelakaan pesawat, kapal tenggelam, tabrakan mobil dimana-mana, kereta api anjlok dan terguling setiap hari. Rendahnya kualitas pelayanan masyarakat dengan sendirinya mudah ditebak penyebabnya, yaitu para penguasanya telah lalai memikirkan kepentingan rakyat banyak.
Memang agak lebih mudah mengurus kepentingan diri sendiri dari pada mengurus kepentingan orang lain. Kemungkinan besar hal inilah yang tengah melanda negara kita belakangan ini. Sepertinya mahluk elit dinegara ini memang tengah dan selalu sibuk dengan perencanaan lima tahunan bagi kepentingan sendiri, kelompok dan golongannya saja. Marilah kita berdoa saja, agar kondisi seperti ini akan segera berakhir. Mudah-mudahan.
Mungkin harapan satu-satu nya saat ini adalah, semoga ada perubahan nanti setelah pemilu 2009. Geto Loh!.
2 Comments
Setuju Pak Chappy…lalu lintas adalah cermin dari kondisi suatu negara.
Kalau lalu lintas berantakan artinya negara pun berantakan….
Ya, mudah-mudahan segera akan ada perbaikan, salam, CH.