Kemarin saya mendengar tentang pembatalan 7 penerbangan Garuda yang konon dari kabar yang beredar disebabkan oleh kekurangan penerbang. Apabila hal ini benar adanya, maka sungguh satu hal yang ironis sekali, maskapai penerbangan sekelas Garuda mengalami hal tersebut. Kondisi kekurangan penerbang, biasanya salah satu penyebab utama adalah terjadinya keteledoran dalam sistem perencanaan. Perencanaan itu sendiri adalah merupakan kelemahan utama di jajaran birokrasi terutama sekali dalam jajaran BUMN, dengan seribu satu macam penyebabnya.
Belakangan ini kita justru mendengar tentang banyak hal yang dicapai oleh Maskapai Penerbangan kebanggaan kita dalam konteks pencapaian keuntungan yang segera akan diikuti juga dengan rencana “Go Public”. Setelah menerbangkan ulang rute Amsterdam bulan lalu, respon banyak orang pada umumnya sangat positif. Hal ini tentunya didukung antara lain dengan telah beroperasinya beberapa pesawat terbang baru atau “brand new” dalam mendukung rute penerbangan domestik dan internasional Garuda. Sudah sepantasnya Garuda dapat mencapai kualitas maskapai kelas dunia di era global ini.
Kembali kepada pokok masalah tentang kekurangan penerbang, memang ada beberapa hal yang harus menjadi catatan penting dalam mengelola satu maskapai penerbangan. Pengadaan Penerbang memerlukan kalkulasi yang cermat, mengingat begitu spesifiknya persyaratan yang harus dipenuhi. Persyaratan yang tidak hanya menyangkut kualitas penerbang itu sendiri akan tetapi juga yang menyangkut kepada ratio jumlah penerbang terhadap jumlah pesawat yang dioperasikan. Bagi pesawat kelas menengah yang melayani “medium range”, mungkin ratio jumlah penerbang versus jumlah pesawat berkisar antara 1 pesawat berbanding dengan 5 set crew sudah cukup. Sedangkan untuk jenis pesawat Jumbo yang “long haul” atau jarak jauh diperlukan ratio yang lebih besar lagi yaitu untuk 1 pesawat diperlukan 8 hingga 10 atau bahkan 12 set penerbang, tergantung dengan padat atau tidaknya rute penerbangan yang ditergetkan. Disisi lain, kebutuhan penerbang tidaklah bisa dipenuhi dalam waktu yang singkat. Pengadaan penerbang memerlukan waktu yang cukup panjang.
Sekolah Penerbang atau “Flying School”, rata-rata membutuhkan sekitar 18 bulan dalam merekrut para calon penerbang. Berikutnya masih dibutuhklan lebih kurang satu sampai satu setengah tahun lagi untuk dapat menjadikannya seorang Co-Pilot operasional. Apalagi untuk menjadikan seorang Captain Pilot, karena dibutuhkan pengalaman dan jam terbang yang cukup, maka diperlukan waktu yang lebih lama lagi yaitu sekitar 8 sampai 10 tahun bahkan mungkin 12 tahun.
Sampai dengan tahun 2013 nanti, diperkirakan Garuda akan sudah memiliki lebih kurang 120 pesawat terbang dalam jajaran armadanya. Dapat dibayangkan, betapa akan sulitnya maskapai pembawa bendera ini nantinya. Hitungan kasar saja, maka Garuda akan membutuhkan lebih kurang 1500 Penerbang di tahun 2013 tersebut. Lalu bagaimana cara memenuhinya?
Permasalahan lain dalam dunia industri penerbangan kita, masih banyak yang tengah menghadang didepan mata. Setelah sukses dalam menyelesaikan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009, maka beberapa tindak lanjut masih harus segera diselesaikan, apabila kita tidak ingin dipermalukan dalam kancah penerbangan global. Seperti diketahui bahwa penyelesaian Undang-Undang nomor 1 tersebut adalah merupakan bagian dari pekerjaan rumah Otoritas Penerbangan Nasional berkenaan dengan ICAO & FAA Fact Findings and Recommendations di tahun 2007. Berdasarkan temuan dan rekomendasi ICAO inilah yang menyebabkan Republik Indonesia di Ban oleh Uni Eropa dan di “down grade” oleh FAA sebagai tidak memenuhi persyaratan keamanan terbang internasional.
Tindak lanjut Undang-Undang Nomor 1 tersebut antara lain adalah untuk segera membentuk Lembaga Mahkamah Penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang nomor 1 Tahun 2009 Bab XXI Pasal 399 dan 400. Kegiatan ini akan mencakup penyiapan pembentukan organisasi independen yang akan memiliki wewenang khusus sebagai penyidik dalam kasus-kasus tindak lanjut dari penyelidikan penyebab terjadinya kecelakaan pesawat terbang. Kasus Marwoto yang masuk dalam pengadilan pidana umum adalah merupakan contoh dari tercemarnya nama baik dunia penerbangan kita dimata internasional.
Seiring dengan itu, tugas untuk segera membentuk Lembaga KNKT (Komite Nasional Keselamatan Transportasi) yang berdiri sendiri dan langsung berada dibawah Presiden, sampai sekarang belum juga terdengar persiapannya. Hal ini tercantum dalam Undang-Undang nomor 1 tahun 2009 Bab XVI Pasal 357 Ayat (2). Masih ada lagi tindak lanjut yang diharuskan dapat selesai dalam kurun waktu 2 tahun sejak 2009 itu antara lain , Pembentukan Lembaga sertifikasi kelaikan Udara sebagai badan layanan umum yang diharapkan dapat meningkatkan kinerja otoritas penerbangan nasional dalam bidang kelaikan udara. Berikutnya adalah merupakan sektor yang sangat penting dalam aspek keselamatan penerbangan secara langsung yaitu penyempurnaan pelayanan navigasi udara. Undang-undang sebagaimana tertera dalam Bab XII Pasal 271 Ayat (2) menyebutkan tentang perlunya segera tindak lanjut dalam pembentukan Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan. Kenyataan dilapangan saat ini sudah sangat memprihatinkan sebagai akibat dari peralatan yang sudah kadaluwarsa (sebagai akibat dari proses pengadaan barang yang bertele-tele) dan kekurangan jumlah serta kualitas sdm yang mengawakinya.
Melihat itu semua, tentunya sangat diharapkan perhatian dari seluruh yang berkepentingan dalam penyelenggaraan operasi penerbangan di Indonesia untuk segera turun tangan. Bila terlambat, maka Republik Indonesia akan berada lebih jauh lagi tertinggal dalam kancah persaingan yang ketat dalam Industri Penerbangan Global.
Jakarta 8 Juli 2010
Chappy Hakim
Catatan : artikel diatas sudah dimuat disalah satu Koran Terbitan Ibukota beberapa hari yang lalu.