Ada kabar gembira dari Yogyakarta. Dua hari lalu saya menerima SMS dari beberapa sahabat tentang ”bebasnya” Captain Marwoto dari pengadilan pidana yang salah kaprah itu.
Sebelumnya Pengadilan Negeri (PN) Sleman menjatuhkan vonis dua tahun penjara potong masa tahanan kepada Marwoto. Majelis hakim yang dipimpin Sri Andini, SH menilai Marwoto terbukti secara sah dan meyakinkan lalai. Vonis itu lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU). Sebelumnya, JPU menuntut Marwoto dengan hukuman empat tahun penjara.Marwoto dinilai lalai sehingga mengakibatkan pesawat Garuda GA 200 mengalami kecelakaan di Bandara Adi Sucipto,Yogyakarta,7 Maret 2007. Akibat kejadian itu, sejumlah orang meninggal dunia. Marwoto dianggap melanggar Pasal 479 g huruf (b) dan huruf (a) KUHP. Bila merujuk pada tanggal kejadian kecelakaan itu sendiri, sebenarnya Captain Marwoto memang telah dihukum lebih dari dua tahun.
Tidak hanya kesedihan, akan tetapi juga keprihatinan mendalam atas dipidanakannya seorang pilot yang melaksanakan tugas tanpa berniat membunuh orang telah diajukan ke pengadilan. Yang harus diingat adalah, dengan memidanakan seorang pilot yang pesawatnya mengalami kecelakaan, yang akan terjadi adalah akan ada banyak kecelakaan lain. Penyebab utamanya, sederhana sekali, yaitu penyebab kecelakaan yang sebenarnya tidak akan pernah terungkap.
Pilot akan berusaha untuk tidak dihukum sehingga dia tidak jujur dalam memberikan keterangan kepada pengadilan. Di sisi lain pengadilan pidana biasa tidak akan pernah pula memperoleh penjelasan yang terang mengenai penyebab terjadinya kecelakaan karena sidang pengadilan tidak akan mungkin bisa mengerti masalah-masalah dan istilah-istilah penerbangan yang sangat teknis sifatnya itu.
*** Marwoto dinyatakan bebas oleh Pengadilan Tinggi (PT) Yogyakarta dengan surat Keputusan No 52/pidana/09/PTY. Putusan tersebut mengatakan bahwa Captain Pilot Marwoto tidak memenuhi unsur kelalaian yang didakwa oleh jaksa dengan KUHP Pasal 479 g huruf (b) (a). Salah satu alasannya atau bukti adalah Captain Pilot Marwoto pada saat keberangkatan telah melihat ada kerusakan pada sistem reverser yang tidak berfungsi dan meminta kepada personel teknik untuk memperbaikinya.
Terdapat suara atau transcript dari cockpit yang mengatakan, ”Wah ada yang gakberes nih….” Hal itulah yang diputuskan oleh pengadilan tinggi bahwa tidak memenuhi unsur kelalaian. Keputusan ini pula yang mematahkan keputusan PN Sleman, yaitu memutus Captain Pilot Marwoto bersalah dengan hukuman 2 tahun.Keputusan bebas menurut PT Yogyakarta adalah sesuai dengan permintaan atau pengajuan yang tertera dalam gugatan tim pembela.
Menanggapi keputusan bebas Captain Pilot Marwoto dari PT Yogyakarta tersebut, tentu saja Asosiasi Pilot Garuda (APG) yang juga merupakan anggota dari International Federation of Airline Pilot’s Association (IFALPA) serta tim pembela menyambut gembira. Akan tetapi jauh lebih luas lagi, masih ada sedikit ganjalan tentang hal yang berkait dengan tujuan untuk menghapus tindak kriminalisasi terhadap pilot.
Permasalahan tersebut belumlah dapat dianggap selesai. Masalahnya adalah apabila terjadi kasus yang serupa, di mana ada pihak-pihak dengan interest tertentu dan dengan kewenangan yang ada padanya, bisa saja menggiring seorang pilot untuk dapat dijerat dengan pasal-pasal KUHP itu. Seharusnya ada upaya yang kuat bagi penerapan hukum yang benar. Dalam pelaksanaannya harus mengacu pada hukum penerbangan internasional (UU No 1 Penerbangan, ICAO, annex 13).
Di sana disebutkan bahwa black box yang terdiri atas flight data recorder (FDR) dan cockpit voice recorder (CVR) tidak dapat dipergunakan sebagai barang bukti di sidang pidana.Sebabnya adalah,bila black box dijadikan sebagai barang bukti, semua penerbang pada setiap penerbangannya akan mematikan black boxdi pesawatnya.
Akibatnya adalah, bila terjadi kecelakaan, penyelidikan penyebab terjadinya kecelakaan akan terhambat dengan tidak tersedianya data dari black box. Selanjutnya, bila penyelidikan penyebab terjadinya kecelakaan tidak dapat berhasil dengan baik, wajar saja kecelakaan sejenis akan selalu saja terjadi berulang kali.
Hal ini bukanlah b a r a n g ”aneh” karena ketentuan mengenai hal tersebut memang sudah menjadi kaidah dan norma standar dalam dunia penerbangan internasional. Seiring dengan itu, yang pasti Pasal 479 KUHP tentang ”Kejahatan Penerbangan” yang didakwakan kepada Captain Pilot Marwoto itu harus diperjuangkan sebagai pasal yang salah karena pasal tersebut diperuntukkan bagi pihak ketiga yang berniat menghancurkan pesawat.
Makna dari pasal itu bukanlah pilot yang tengah menerbangkan pesawat (adopsi dari Tokyo dan Haque Convention). Yang perlu diingat pula adalah, walaupun empat maskapai penerbangan Indonesia sudah diizinkan untuk terbang ke Eropa, penerbangan nasional Indonesia masih berada dalam kategori 2 alias unsafe dalam peringkat yang dikeluarkan Federation Aviation Administration (FAA).
Itu berarti, penerbangan Indonesia belum memenuhi syarat keselamatan terbang secara internasional. Memidanakan Pilot seperti halnya dengan yang dialami Captain Pilot Marwoto adalah satu saja dari sekian banyak hal yang membuat Indonesia tidak ”standar” secara internasional dalam menangani faktor keamanan terbang! Lalu,mungkin saja timbul pertanyaan, ”Apakah pilot kebal hukum?” Sama sekali tidak. Pilot yang salah harus dan dapat diadili.
Forumnya adalah, sesuai undangundang penerbangan, yaitu di Majelis Profesi Penerbangan. Bila kemudian terbukti ada unsur pidana atau kriminal, barulah kemudian diajukan ke pengadilan pidana. Paling tidak, dengan segala hormat dan penghargaan tinggi yang harus diberikan kepada dewan hakim PT Yogyakarta yang membebaskan Captain Pilot Marwoto, marilah kita semua bersyukur ke hadirat Illahi.Semoga ke depan dunia penerbangan Republik Indonesia dapat berkiprah lagi setara dengan negara lain.
(Tulisan ini telah dimuat pada hari ini di salah satu media cetak terbitan Ibukota)