Huru hara yang tengah terjadi saat ini, sungguh memprihatinkan kita semua. Bagaimana lembaga hukum nasional yang selama ini seharusnya mendapatkan “respect” dari masyarakat, telah menjadi bulan-bulanan sepanjang hari di media elektronik dan juga jajaran media “main stream” alias media “cetak” serta juga di “cyber space” atau dunia maya.
Bermula dari keinginan Bibit dan Chandra yang mengajukan uji materi Undang-undang nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK ke Mahkamah Konstitusi (MK). Keduanya menguji ketentuan pasal 32 ayat (1) huruf c. terhadap UUD 1945 khususnya tentang “equality before the Law”, yang kemudian muncullah huru hara dengan judul “buaya versus cicak” yang kemudian melebar keseluruh badan hukum di Indonesia.
Persamaan perlakuan didepan hukum yang berlaku yang dipersoalkan oleh Bibit dan Chandra adalah tentang nasib pejabat KPK yang bila satu saat menjadi terdakwa, maka mereka harus diberhentikan. Sementara di Undang-undang lain yang berlaku bagi pejabat yang bukan KPK, maka mereka baru dapat diberhentikan setelah adanya keputusan pengadilan.
Dalam proses uji materi inilah kemudian muncul prosesi mendengarkan rekaman barang bukti yang secara terbuka bisa didengarkan oleh semua orang. Nah, dari rekaman yang didengarkan secara luas inilah yang kemudian membuat kaget semua orang. Rekaman itu memperdengarkan pembicaraan Anggodo dalam proses penanganan perkara kakaknya Anggoro dalam kasus PT Masaro, dengan beberapa pejabat Negara dibidang hukum .
Rekaman tersebut diterima oleh masyarakat sebagai suatu konfirmasi tentang issue adanya mafia peradilan yang selama ini memang berkembang di masyarakat luas. Kasus yang selama ini hanya dianggap sebagai kabar burung, ternyata berujud dalam sebuah kenyataan yang terang benderang seperti diperdengarkan rekaman tersebut. Pendapat bahwa hukum di Indonesia hanya berlaku bagi rakyat yang tidak berdaya saja, dan tidak berlaku bagi mereka yang berduit seolah telah dibenarkan oleh percakapan Anggodo di rekaman itu.
Kecurigaan itu semakin menebal, karena pihak pemerintah dalam hal ini menteri Kehakiman justru menanyakan kepada pihak MK, tentang relevansi diputarnya rekaman itu secara terbuka sehingga diketahui orang banyak. Pertanyaan ini yang barangkali bertujuan untuk hal yang positif, namun justru telah membuat orang awam berpendapat bahwa pemerintah merasa terganggu dengan pemutaran rekaman itu atau lebih tegas lagi, pemerintah merasa “rahasia” nya terbongkar.
Jawaban Ketua MK, adalah sangat menjernihkan kecurigaan tersebut dengan menerangkan bahwa dalam kaitan uji materi oleh MK dirasa sangat perlu mendengarkan rekaman agar MK bisa sampai kepada keputusan yang tepat.
Kembali kepada kemarahan masyarakat terhadap isi rekaman , adalah terperangahnya melihat bagaimana orang sekelas Anggodo yang mewakili Anggoro dengan PT Masaro nya saja bisa mengatur jalannya proses hukum dinegara ini. Lalu, kalau PT sekelas Masaro saja, dengan bosnya Anggoro bisa mendatangkan pejabat sekelas Ketua KPK dan Kabareskrim ke tempat persembunyiannya di Singapura, bagaimana dengan PT PT yang lain yang lebih besar dan jauh lebih besar dari PT Masaro ? Itulah kejanggalan besar yang saat ini tengah berkecamuk dihati nurani orang banyak.
Rekaman yang dibuka itu menceritakan bagaimana seorang Anggodo terkesan sangat berkuasa dalam mengatur banyak pejabat hukum dinegeri ini. Terkesan dia bisa mengatur BAP dan mengatur pejabat tinggi dan bahkan muncul suara orang yang menyebut-nyebut RI-1.
Dalam perkembangannya, muncullah debat publik di arena talk show televisi dan radio serta juga di komisi 3 DPR. Kesemuanya menyangkut tentang testimoni palsu, sumpah bahwa tidak menerima suap, penyangkalan terhadap tuduhan, menyebut bukan institusi akan tetapi “oknum” dan lain-lain. Seluruhnya mencoba mengatakan kepada publik bahwa mereka tidak bersalah, pendek kata untuk seluruh skandal yang mencuat akhir-akhir ini semua pihak yang terlibat didalamnya sudah mengatakan bahwa mereka tidak “bersalah”. Pertanyaan selanjutnya adalah, jadi siapa sebenarnya yang berbuat kekeliruan sehingga terjadi “perkelahian Buaya versus Cicak” di Republik ini? Untuk itu, mungkin, Presiden membentuk apa yang dikenal dengan Tim-8 (Tim Independen Verifikasi Fakta dan Kasus Hukum Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah).
Apabila dicermati lebih dalam lagi, maka kita dapat melihat pada salah satu penjelasan dari Ketua Tim-8 Adnan Buyung Nasution yang mengatakan bahwa, dari empat pihak yang dipanggil, yang paling menarik adalah keterangan mantan Direktur Penyidikan KPK Bambang Widaryatmo, karena dia mengungkap hal-hal yang tidak wajar di dalam tubuh KPK.
Dengan demikian lengkaplah sudah, semua badan hukum dinegeri ini sepertinya tengah bermasalah yang sangat “serius”. Tidak aneh kemudian, Tim-8 ternyata juga mengusulkan reformasi tiga lembaga penegak hukum, yakni Kejaksaan Agung, Kepolisian dan KPK.
Khusus Lembaga Kepolisian Negara Republik Indonesia, tentunya adalah merupakan “front line” dari jajaran penegak hukum Negara. Tidak bisa dibayangkan bagaimana ada satu Negara tanpa unsur “kepolisian”. Di negeri ini, kedudukan polisi sangat unik. Setelah selama puluhan tahun tersandera didalam organisasi yang “berpolitik” dengan Dwi Fungsinya, yaitu ABRI maka pasca reformasi POLRI menjadi satu organisasi yang berdiri sendiri. Merupakan kesalahan kita semua agaknya, yang tidak mau memikirkan untuk menempatkan Kepolisian dalam garis orbitnya yang “pas”. Kita cukup puas dengan membiarkan polisi, pasca lepasnya dari ABRI. Tidak ada yang memikirkan untuk membangun kepolisian lebih baik dengan memposisikannya sesuai dengan yang lazim terbentuk di Negara-negara maju, modern dan beradab.
Polisi dinegara-negara yang derajat ketertiban masyarakatnya tinggi, selalu berada dalam organisasi yang dibawah koordinasi Departemen Dalam negeri dan atau Pemerintah Daerah.
Sangat egois, bila kita semua membiarkan Polisi “sendirian” di Republik ini, dan hanya mencaci maki nya saja bila tercium adanya kesalahan dari oknum Polisi. Saat ini kelihatan sekali Polisi sebagai seorang anak yang tidak mempunyai orang tua untuk “curhat” dan berlindung disaat menghadapi masalah seperti sekarang ini. Sekaligus pula, dia tidak memiliki orang tua yang akan mengingatkannya bila sesekali miring keluar dari rel tugas pokoknya, atau memberikan hukuman bila melakukan kesalahan.
Seperti layaknya patahan lempeng bumi yang pasca terjadinya gempa, akan memerlukan waktu lagi berupa saat yang tepat untuk sampai kepada posisinya yang lebih mapan, dan saat mencapai posisi itu, akan terjadi lagi gempa kecil susulan yang mengantar kedudukan lempeng bumi itu pada posisi yang lebih stabil. Demikian pulalah, ibaratnya dengan “reformasi” 1998, yang masih memerlukan “gejolak kecil” dalam mengantar Indonesia kearah yang relatif lebih stabil. Reformasi belum tuntas menempatkan “lempeng bumi” institusi hukum kita pada posisi yang lebih mapan.
Kiranya sudah saatnya kita semua turut memikirkan bagaimana mencarikan posisi yang benar bagi Kepolisian kita, agar Polisi dapat benar-benar berfungsi sebagai Pengayom dan Pellindung Masyarakat.
Presiden sudah waktunya untuk turun gunung memelopori dan berinisiatif menyempurnakan lembaga hukum negeri ini dan tidak membiarkan Polisi “sendiri” dan kesepian di tengah belukar Republik Indonesia, tanpa bapak asuh. Kondisi ini telah menyebabkan, apabila sedikit saja para penyidik melakukan kekeliruan, maka dampaknya menjadi sangat besar, dapat menjadi bencana nasional, dapat menjadi masalah yang langsung menjadi tanggung jawab Presiden. Dapat menjadi huru hara seperti sekarang ini.
Kiranya kita semua tidak rela bila ada yang mengatakan bahwa “huru-hara” yang tengah melanda saat ini adalah sebagai masalah atau akibat dari “lack of Leadership”. Lemahnya kepemimpinan !
Jakarta 13 Nopember 2009
2 Comments
kesan yang timbul di masyarakat, polisi tidak berlaku adil pak.
Anggodo yang terbukti melakukan percobaan penyuapan tidak di tangkap, justru di lindungi.
Inilah yang membuat terjadinya “kebingungan nasional” hehhehhehe
Makasih komentarnya Pak !Salam.