Syahdan tersebutlah kisah seorang bernama Kurtubi, Alumnus Colorado School of Mines, Denver, dan Ecole Nationale Superiure du Petrole et des Moteurs Paris, menuangkan tulisan yang sangat menarik disebuah koran terbitan ibukota yang menguraikan tentang P3. Tulisan ini benar-benar sebuah artikel yang berisi uraian dari seorang yang sangat cerdas, menguasai masalah secara detil dan membuat siapapun yang membacanya kemudian menjadi sangat sedih sekali , bercampur marah dan sekali gus “tertawa didalam hati” menyadari akan sesuatu yang “aneh” untuk menghindarkan penggunaan istilah “tolol”.
P3 disini maksudnya adalah Pertamina,Pendet dan Petronas. Dalam tulisan tersebut, Kurtubi mengatakan antara lain sebagai berikut : Dengan Undang-undang Nomor 8 tahun 1971, Pertamina diberikan kuasa pertambangan dan sekaligus wewenang bekerja sama dengan perusahaan minyak asing menggunakan kontrak model Kontrak Production Sharing (KPS). KPS lho, bukan PKS. Disebutkan pula hal ini dijalankan sebagai rasa tidak puas pemerintah atas model kerja sebelumnya yaitu model Kontrak Karya (KK), awas bukan Golongan Karya !
Keunggulan model KPS terhadap KK adalah, bahwa dalam KPS maka manajemen sepenuhnya berada di tangan Pertamina yang mengandung makna Kedaulatan Negara atas sumber daya alamnya dapat terjaga ketat dan terhormat dan lebih dari itu keuntungan yang diraih negara adalah jauh lebih besar dibandingkan dengan model KK. Seperti kita ketahui bersama, kemudian bahwa negara memperoleh keuntungan yang sangat signifikan dari sektor migas ini pada waktu itu.
Nah, model KPS inilah yang kemudian diadopsi atau ditiru atau dijiplak oleh Malaysia dengan Petronasnya. Aneh bin Ajaib, tidak ada seorang pun warga Indonesia yang tersinggung atau marah atas kejadian ini seperti waktu tari pendet ditayangkan Malaysia dalam iklan kunjungan wisatanya. Sebenarnya tidak aneh sih, sebab penjiplakan KPS ini memang tidak ditayangkan di “Discovery Channel”. Disamping itu model KPS yang sangat menguntungkan negara ini, tidak hanya di adopsi oleh Malaysia saja akan tetapi juga oleh lebih dari 30 negara lainnya. Khusus tentang adopsi model KPS ini pernah dinyatakan sendiri secara implisit oleh Mantan PM Mahatir Mohamad dan juga mantan Menkeu Malaysia Tengku Razaligh pada satu pertemuan terbuka di jakarta.
Yang menyedihkan adalah, di Indonesia sendiri kemudian keluar UU Migas yang membuat Pertamina tidak lagi berwenang atau berfungsi sebagai “pemilik” yang mewakili negara atas aset dan cadangan migas yang ada di perut bumi Indonesia. Pertamina tidak lagi berhak untuk mengembangkan dan menjual migas bagian negara yang berasal dari kontraktor KPS, termasuk pengembangan dan penjualan LNG yang berasal dari lapangan gas perusahaan minyak asing. Lebih-lebih lagi, kini blok-blok yang potensial mengandung cadangan migas yang besar tidak lagi otomatis bisa digarap oleh Pertamina, tetapi justru diberikan kepada pihak lain !
Masih ada lagi, yaitu dengan UU Migas, status Pertamina disamakan dengan perusahaan minyak asing. Jadilah Pertamina menjadi “asing” di negerinya sendiri. Dengan keanehan: perusahaan minyak asing bisa menikmati “cost recovery”, sementara Pertamina tidak bisa menggunakan “cost recovery” nya karena harus di “setor” ke Negara ! (”negara” mana Ya?)
Jadi dengan UU Migas No 22/2001, Pertamina dikerdilkan secara sistemik, baik wewenang, cakupan bisnis maupun aset nya.
Majalah Forbes pada tahun 2007 menyebutkan : aset Petronas sekitar 125 miliar dollar Amerika, sementara aset Pertamina pada tahun yang sama adalah hanya sekitar 25 miliar dollar AS, yaitu hanya “seperlima” aset Petronas. Bayangkan , padahal Indonesia besarnya mungkin jauh dari 5 kali lebih besar dari Malaysia.
Kini faktanya, Pertamina sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan Petronas. Petronas yang tetap konsisten dengan apa yang ditirunya dari Pertamina, kini terbukti telah berkembang menjadi salah satu perusahaan minyak Raksasa dunia ! Tahun 2008 Petronas meraup keuntungan revenues sebesar 77 miliar dollar AS setara dengan 770 triliun rupiah ! atau sekitar 80 % dari RAPBN Republik Indonesia di tahun 2010 ! (Ampuunn!)
Ada lagi nih : Petronas berada di urutan 95 dari 500 perusahaan terbesar versi majalah Fortune. Keuntungan Petronas tahun 2008 sebesar 15,3 miliar dollar AS sama dengan 153 triliun rupiah, menempatkan Petronas pada posisi ke 13 dari 40 perusahaan dunia yang memperoleh keuntungan paling besar (Fortune, 24 Agustus 2009). Jadi kalau hanya 6 triliun untuk Century sih itu “kecil”, boleh cari century-century lainnya.
Itulah Malaysia dengan Petronas nya yang meniru Indonesia dengan Pertamina nya dalam menerapkan model KPS telah menjadi Raksasa Ekonomi Dunia hanya dengan mengandalkan Migas nya saja, sementara Indonesia sang pencetus KPS, saat ini masih terlalu sibuk dengan pertandingan sepakbola dalam rangka memperebutkan piala “Century” yang seru antara kesebelasan “Buaya” melawan kesebelasan “Cicak” yang pemenangnya konon akan berhadapan dengan kesebelasan ”godzila” di partai final ! Partai ini masih saja tertunda sebagai akibat belum kunjung tibanya sang Wasit yang akan memimpin pertandingan ini.
Disisi lain , patut kiranya kita semua berterimakasih kepada Bapak Kurtubi, yang telah menjelaskan secara gamblang tentang mengapa gerangan Pertamina saat ini selalu saja menjadi pecundang dalam persaingannya dengan Petronas !
Sedih…. hatiku sedih……..
Tunggu dulu, Kurtubi menulis dalam “closing remark” nya pada artikel tersebut sebagai berikut :
Jangan sedih Indonesia! Peluang Pertamina untuk bisa melampaui Petronas masih sangat terbuka. Caranya sederhana, yaitu dengan mengadopsi kembali apa yang pernah ditiru oleh Petronas dari Pertamina. Untuk itu, segera amandemen UU Migas No 22/2001 atau Presiden SBY segera mengeluarkan perppu. Dalam beberapa tahun, aset dan revenues Pertamina pasti akan melampaui aset dan revenues Petronas. Soalnya, luas wilayah dan potensi sumber daya migas Indonesia lebih dari 10 kali luas wilayah dan potensi sumber daya migas Malaysia. Pasar Dalam Negeri, Pengalaman, dan SDM juga sangat mendukung. Tinggal kemauan saja. Percayalah !
Selamat berbuka puasa !