Capt.Marwoto bin Komar dituntut 4 tahun penjara, seperti yang dibacakan Jaksa penuntut umum di Pengadilan Negeri Sleman, senin kemarin. Tuntutan 4 tahun penjara ini berkait dengan kasus kecelakaan pesawat terbang GA-200 pada tanggal 7 Maret 2007 di Lanud Adisutjipto Jogyakarta.
Dari tulisan saya terdahulu yang membahas tentang Capt. Marwoto (Sudah tepatkah Pilot Marwoto Komar di Pidana?) (Malangya nasib penerbang Marwoto) ini dan juga sesuai dengan beberapa komentar terhadap tulisan tersebut, antara lain dari Capt. Nababan maka perlu disampaikan sekali lagi beberapa catatan penting berhubungan dengan tuntutan tersebut.
Pada dasarnya, sesuai dengan annex yang terdapat di regulasi ICAO (International Civil Aviation Organization), sebagai bagian dari “Chicago Convention” (Republik Indonesia, anggota ICAO dan sudah menandatangani convensi Chicago, yang berarti terikat untuk mematuhinya), disebutkan dengan jelas antara lain bahwa, hasil penyelidikan kecelakaan pesawat terbang , termasuk didalamnya hasil penelitian “black box” tidak diperkenankan untuk digunakan sebagai barang bukti di Pengadilan. Disamping itu, disebutkan juga tentang persyaratan yang harus dipenuhi oleh otoritas penerbangan setiap negara dalam hal membangun atau menyediakan fasilitas penunjang penerbangan antara lain airport dengan segala fasilitasnya. Disini yang menjadi sorotan adalah fasilitas pemadam kebakaran dan perpanjangan landasan bagi keperluan keadaan darurat di Jogyakarta yang tidak memenuhi standar keamanan Internasional.
Kejadian kecelakaan di Jogyakarta yang kemudian mengakibatkan jatuhnya korban jiwa adalah antara lain disebabkan , kondisi landasan di Jogyakarta yang tidak memenuhi syarat ICAO. Dua hal yang menonjol adalah, daerah perpanjangan landasan yang disebut dengan RESA (Runway End Safety Area) dan juga dengan kondisi fasilitas pemadam kebakaran yang digunakan untuk memadamkan api saat terjadinya kecelakaan tersebut.
Kecelakaan pesawat GA-200 di Jogyakarta adalah terjadi pada saat pesawat mendarat di landasan jogyakarta yang penyebabnya sudah terllihat mulai dari saat “approach to land”. Rangkaian dari “landing” nya sebuah pesawat terbang hanya dapat di analisis oleh para penerbang senior yang memiliki jam terbang yang sudah cukup banyak. Karena masalah ini adalah masalah yang sangat teknis sifatnya. Pertanyaannya adalah, bagaimana pengadilan di Pengadilan Negeri Sleman, dapat sampai kepada satu kesimpulan bahwa Capt. Marwoto itu bersalah dalam melakukan “landing” pesawat B-737 di Jogyakarta. Disini yang terjadi adalah, Capt. Marwoto diadili dalam satu forum pengadilan yang secara teknis tidak menguasai tentang penerbangan pada umumnya dan terlebih lagi mengenai teknis “landing” pesawat Boeing 737. Dengan demikian, hampir dapat dipastikan Capt. Marwoto mendapatkan tuntutan hukuman yang tidak “fair”.
Apabila hal ini diteruskan, sampai dengan vonis Hakim di pengadilan, maka dampaknya akan sangat serius kepada dunia penerbangan di Indonesia. Seperti kata Capt. Nababan, yang menganalogikan pekerjaan penerbang dengan dokter. Pada setiap akan melakukan operasi yang dapat berakibat pasien meninggal dunia, maka dokter minta kepada pasien dan keluarganya menandatangani perjanjian untuk tidak akan menuntut apabila dalam melakukan operasi itu si pasien meninggal dunia. Nah, disini tidak tertutup kemungkinan para penerbang pun akan melakukan hal yang sama, walaupun dalam penerbangan posisi penerbang tidak lah sama dengan posisi dokter, karena sang penerbang berada dalam satu pesawat yang sama. Dalam arti, penyebab dari risiko kematian justru lebih banyak berada di tangan penerbang. Disini akan menjadi “lucu” sekali, karena yang akan diminta tandatangan adalah banyak sekali, yaitu para penumpang dan atau ahli warisnya, pihak kepolisian dan juga mungkin ke “pengadilan negeri Sleman”. Para penerbang akan minta tandatangan dulu (kesediaan untuk tidak menuntut apabila terjadi kecelakaan pada saat penerbangan) sebelum terbang karena khawatir nasibnya akan menjadi seperti Capt. Marwoto apabila mereka mengahadapi masalah yang sama.
Disisi lain, karena penerbangan itu patuh kepada hukum yang bersifat internasional (Republik Indonesia sebagai anggota ICAO), maka para penerbang dari seluruh dunia akan takut untuk terbang ke Indonesia, karena mereka pasti tidak ingin di “Capt. Marwoto” kan oleh pengadilan negeri Sleman.
Selebihnya lagi, yang sangat dikhawatirkan adalah, hilang nya kepercayaan dunia internasional terhadap otoritas penerbangan Indonesia. Banyak sekali airport di Indonesia yang tidak memenuhi syarat regulasi, ketentuan dan peraturan ICAO, yang berarti tidak berstandar Internasional, terutama sekali dalam banyak hal berkait dengan “safety”. Dan yang paling akan disoroti adalah, bagaimana otoritas penerbangan Republik Indonesia memberlakukan para penerbangnya pada kasus terjadinya kecelakaan. Surat protes dari banyak asosiasi Pilot beberapa negara dan juga dari asosiasi penerbang transport Internasional IFALPA sudah dilayangkan ke pihak otoritas penerbangan Indonesia beberapa waktu yang lalu.
Capt.Marwoto memang bersalah dalam kasus ini. Tetapi hendaknya dia diadili secara “fair”, oleh satu forum pengadilan yang mengerti dan menguasai benar tentang dunia penerbangan dan juga tentang teknik terbang. Diadili oleh mereka yang sangat menguasai tentang terbang, yaitu para penerbang senior dengan jumlah jam terbang tertentu. Semua penerbang, tidak hanya Capt. Marwoto bin Komar, sebagaimana juga mahluk hidup lainnya menginginkan mereka diperlakukan secara “adil”, karena ini pada hakekatnya adalah Hak Azasi Manusia.
Kiranya kita semua yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan penerbangan di Indonesia harus lah melilhat masalah ini dengan jernih dan memberlakukannya sesuai dengan semua aturan, ketentuan dan regulasi yang ada, baik nasional maupun internasional.
Sudah saatnya, dunia penerbangan untuk menjadi contoh bagi moda transportasi lain di Indonesia sebagai moda transportasi yang dapat diandalkan . Moda transportasi yang dapat memberikan dan menjamin kemananan, keselamatan dan juga kenyamanan para pengguna jasa angkutan udara.
26 Comments
artinya pengadilan yang “fair”dan “adil” untuk mengadili pak marwoto adalah asosiasi / lembaga profesi penerbang semisal Federasi Pilot Indonesia (FPI) tapi apa mungkin sistem hukum kita memungkinkan untuk itu, mohon pencerahan ….
Sya tertarik dgn tulisan bapak tentang aviasi, sy sendiri adalah seorang wartawan yang selama ini belum pernah menggeluti berita aviasi. Dan bar awal tahun 2009 mendapat kerjaan di media AVIASI, tablioid penerbangan, sehingga sy harus belajar banyak untuk mengetahui dunia aviasi. Dan referensi bacaan sy adalah hasil tulisan bapak. Sy yakin kapan-kapan pasti akan bertemu dgn bpk untuk menimbah ilmu tentang aviasi sekaligus ingin wawancara dgn bapak. (endy)
Terima kasih untuk Bung Endy. Saya hargai keinginan anda untuk menambah pengetahuan, khususnya dibidang penerbangan dan perlu saya sampaikan bahwa saya dengan senang hati akan membantu sesuai kemampuan , tentu saja. Salam CH
Bapak Chappy, saya seorang mahasiswa fakultas hukum di yogyakarta. ada beberapa hal yang ingin saya tayakan kepada bapak mengenai kasus dipidananya kapten pilot marwoto komar di pengadilan umum :
1.apakah majelis profesi pilot seperti yang diatur dalam UU no 1 Tahun 2009 sudah terbentuk?
2.apakah seorang pilot yang mengetahui kondisi pesawat dalam keadaan tidak laik terbang tetapi dia memaksakan untuk terbang karena ada tekanan dari manajemen,maka dia dapat dikatakan berbuat tidak profesional?
3.apabila capt.marwoto dikatakan tidak mendapatkan keadilan jika diadili di pengadilan umum karena dianggap hakimnya sendiri tidak mengetahui tentang perkara yang dihadapi, lalu bagaimana jika hakim memanggil saksi ahli, apakah ini tidak cukup untuk menepis anggapan di atas.
4.ada yang mengatakan bahwa indonesia tidak memasukan peraturan-peraturan ICAO ke dalam hukum nasional kita jadi peraturan peraturan tersebut tidak mengikat, apakah pendapat tersebut dapat dibenarkan?
demikian pertanyaan dari saya , semoga bapak berkenan menjawab terima kasih.
1. Majelis Penerbangan masih belum terbentuk. Katanya sih, baru sedang akan, begitu. Mudah-mudahan dalam waktu tidak terlalu lama bisa terbentuk.
2. Saya pikir, seharusnya demikian, akan tetapi, biasanya tekanan manajemen akan berujung Pilot di pecat/diberhentikan/disuruh mengundurkan diri dll sehingga posisinya menjadi terjepit dan menjadi tidak profesional.
3. Secara hukum, saya tidak begitu menguasai tentang status peradilan yang menggunakan saksi ahli, akan tetapi seperti juga Dokter dan Para Pelaut, mereka kan punya peradilan “profesi”, jadi seharusnya Penerbang pun harus dilakukan treatmen yang sama.
4. RI sudah menandatangani konvensi chicago, itu berarti RI sebagai member state terikat dengan semua aturan dari ICAO.
Demikian terimakasih. Salam, CH
pak Chappy, apakah KNKT juga punya kewenangan dalam menyelidiki kasus kecelakaan pesawat terbang militer?..Mohon pencerahan
Adi,
Mengikut kepada aturan yang ada, maka KNKT sebenarnya merupakan perangkat pemerintah dalam menyelidiki kecelakaan transportasi. Di bidang kecelakaan Udara, maka KNKT akan selalu merujuk kepada ketentuan CASR, Civil Aviation Safety Regulation yang merupakan turunan dari regulasi internasional tentang penerbangan dibawah naungan ICAO, International Civil Aviation Regulation, dimana RI adalah anggota dari ICAO. Jadi bidang tugasnya sangat berbeda. Namun apabila ada sesuatu yang dibutuhkan, tidak tertutup kemungkinan dalam memberikan bantuan teknis dalam proses penyelidikan. Demikian pula bila KNKT membutuhkan bantuan teknis dari AU, itu dapat saja terjadi. Kedua kerjasama tersebut selama ini sudah kerap terjadi. AU biasanya memberikan bantuan teknis dibidang “kesehatan penerbangan” yang memang lebih dikuasai dibanding dengan penerbangan sipil dalam aspek penyelidikan tentang penyebab terjadinya kecelakaan. Demikian, terimakasih atas perhatiannya, salam, CH.
saya sangat menhargai upaya hukum yang berlaku, tapi juga terasa lucu, yang menghukum kemungkinan ada orang-orang yang belum pernah naik pesawat terbang sama sekali ?? Yach… itulah nasibnya pak Capt.Marwoto, menjadi penerbang di negeri berhujan batu, bukan berhujan emas seperti di negeri orang. Andaikata ( mohon maaf ) pak Capt.Marwoto turut jadi korban dan meninggal…… lalu siapa yang mau di adili dan disalahkan ??? Rasa-rasanya menerbangkan brung besi seberat sekian puluh ton kemudian mendaratkan kembali adalah suatu ilmu yang sangat rumit, kemungkinan terjadinya kesalahan perhitungan, kesalahan perkiraan dan kemungkinan-2 lainnya bisa saja terjadi.
Yang berlaku adalah Hukum Allah : ” Yang Terjadi , Terjadi Lah “
Totok Sugiyanto,
Benar sekali Pak, memang masih butuh perjuangan dalam menempatkan seorang penerbang dalam posisi yang dapat diadili sesuai dengan hukum yang berlaku, serta dapat memperoleh keadilan yang sebenarnya. Terimakasih perhatinnya, salam, CH.
Adi,
KNKT memiliki wewenang dalam konteks penyelidikan bagi transportasi sipil. Untuk kecelakaan pesawat militer, mereka memiliki badan yang bertugas seperti knkt yang berada dibawah pengelolaan institusi militer. Demikian, terimakasih atas perhatiannya, salam, CH.
Di dunia pelayaran ada Mahkamah Pelayaran, apakah di dunia penerbangan sipil juga ada Mahkamah Penerbangan atau apapun namanya , yang kemungkinan dapat memberikan pertimbangan putusan profesional yang adil dan dapat dipertanggung-jawabkan ?
Kalau memang belum ada, kenapa tidak segera dibentuk ? Apa karena secara statistik kecelakaan pesawat terbang relatif lebih sedikit dari moda transportasi lainnya ?
Belum dibentuk, tetapi katanya, akan segera dibentuk. Terimakasih, salam CH.
Salam Pak CH,
Saya ingin diskusi lebih lanjut mengenai dengan Pak CH, kirim emainya kemana Pak?
Terima kasih.
Dewi
OK, bisa ke: hakim.chappy@gmail.com
pak chappy hakim..salam kenal pak,
saya mahasiswa Fakultas Hukum Unpad,saya ingin bertanya tanya ke bapak..bisa saya bertanya lewat email pak? terima kasih banyak pak..salam hormat..
Eldy, salam kenal juga ! Dengan senang hati, sepanjang masih dalam masalah-masalah penerbangan yang kebetulan saya ketahui dan pahami tentunya. Bisa ditujukan ke chappyhakim@yahoo.com
Eldy, salam kenal juga ! Dengan senang hati, sepanjang masih dalam masalah-masalah penerbangan yang kebetulan saya ketahui dan pahami tentunya. Bisa ditujukan ke chappyhakim@yahoo.com
Halo pak Chappy,
saya baru saja baca2 di internet dan ketemu website bapak.
Salam kenal juga pak!! boleh kan?^^
Saya kuliah aeronautical engineering di berlin, kalau misalnya saya ada pertanyaan tentang dunia kedirgantaraan di Indonesia, boleh gak saya diskusi dengan bapak via email yang bapak tulis diatas?
salam,
fungky
pak chappy, salam kenal. saya ingin mereparasi saxophone saya. Kalau tidak keberatan, pak. boleh saya tahu alamat mas Jimblot yang di cipinang itu, yang bapak ulas di web site bapak. sebelumnya saya ucapkan terimakasih.
OK, sorry terlambat, untuk Jimbot bisa dihubung di HPnya 0817821893. makasih.
analisa yg oke Pak…sbnrnya kecelakaan GA-200 mirip dengan kecelakaan MD-80 Series di Solo tahun 2004…mungkin bedanya Pilotnya meninggal dan cuaca yg sangat buruk..tetapi saya yakin ada faktor manajemen yg gak beres disana…sedangkan GA-200 saat itu cuaca sngt bersahabat…seandainya area RESA memenuhi standar ICAO niscaya takkan ada korban disana..memang adi sucipto bandara kecil yg sibuk..di barat dan timur sanagat rawan untuk celaka..di ujung barat ada jurang di ujung timur ada jalan ke arah AAU..harusnya bandaranya yg harus di benahi,,
Salam Pak Chappy…
mlm pak,,, pak bisa tau nomor perkara kasus ini tidak??
waduh saya nggak mencatatnya, mungkin bisa ditanyakan ke Pengadilan Negeri Bantul . Terimakasih.
Nice article Capt…
Saya sependapat dengan apa yang dipaparkan Capt. Chappy, ironis memang Capt. Marwoto divonis 4 tahun akibat kecelakaan GA200. Saya sebagai penggemar dunia aviasi menilai beberapa kasus kecelakaan yang disalahkan adalah PIC nya.
Mungkinkah aspek keselamatan hanya selalu difokuskan kepada penerbang? bagaimana dengan fasilitas, kondisi airport di Indonesia?
Saya pernah mencoba mensimulasikan dengan flight simulator, landing di titik terakhir TDZ, hasilnya? overrun, apakah bisa diartikan RESA nya perlu diperpanjang lagi?
Mohon pencerahannya.
Salam pak Chepy, ketemu lagi disini. Saya biasa ikuti tulisan pak Chepy di kompasiana. Terkait persoalan ini, sebenarnya ada banyak hal yang perlu dibenahi. Pertama, sudah jamak diketahui bahwa DPR kita mengalami persoalan serius karena sejumlah perundangan bisa disuap dalam proses perumusannya (sudah terbukti di KPK, UU Bank Indonesia, dll). Kaitannya dgn dunia penerbangan kita, mungkin saja saat proses legislasi uu penerbangan tidak mempertimbangkan aspek-aspek Standar Internasional mengenai keselamatan penerbangan sipil. Kedua, menghukum Capt Marwoto sementara persyaratan-persyaratan yg memungkinkan seorang Capt mendaratkan pesawat dgn baik tidak ada (belum visible), seperti kasus Bandara Adisucipto ini memang jadi persoalan, poin inilah yg seperti juga kata pak Chepy yg tidak adil. Saya memahami ini. Sebagai org yg tinggal di Jogja seringkali menggunakan moda transportasi udara, mendarat di Adi Sucipto itu beda rasanya kalau mendarat di Soetta, atau di Surabaya atau di Sultan Hasanuddin Air port. Ketiga, ini menjadi pukulan moral bagi para penerbang kita, khususnya yg masih muda-muda dan akan berkembang kedepan.
sangat menarik perbicangan di atas, saya sebagai masyarakat awam hanya bisa bayangkan bebarapa hal :
1). jika hakim yang mengadili suatu kasus hukum harus orang yang menguasai secara teknis kasusnya, maka hakim harus membuka lowongan/ penerimaan calon hakim dari segala disiplin ilmu, mulai dari pilot, engineer pesawat, dokter, pelaut, insinyur, perawat, ahli keuangan dll.
2). jika capt marwoto disidik oleh penyidik polri dgn kuhp maka proses peradilannya melalui peradilan umum. bahkan jika capt marwoto di dakwa dgn uu 1/2009 dimana penyidiknya adalah Penyidik PNS penerbangan pun maka peradilannya tetap tunduk pada peradilan umum. sy sepakat bahwa pengadilan seharusnya menjadi forum untuk mendapatkan keadilan. oleh karena itu hakim menjatuhkan putusan berdasarkan alat pembuktian yang sah menurut
undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang
yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah
atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya (uu 48/2009) atau Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya (KUHAP). penentuan ttg pidana tersebut seharusnya sejak proses penyidikan, bukankah Penyidikan itu merupakan tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan menemukan tersangkanya. sedangkan Mengadili adalah tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. hakim melakukan pemeriksaan sesuai BAP dari penyidik, pengungkapan fakta-fakta dari semua yang diperiksa di muka persidangan dibawah sumpah. jika mmg JPU harus menghadirkan ahli tambahan diluar BAP untuk meyakinkan hakim, maka boleh dihadirkan dimuka persidangan, sehingga hakim yang mengadili tidak harus seorang pilot.
3). jika mmg kecelakaan itu TERJADI KARENA atau ada kontribusi pengelola bandara (bukan kontribusi sehingga banyak korban) maka patut disayangkan mengapa penyidik tdk memeriksa pengelola bandara dengan pasal penyertaan (kuhp).
4). majelis profesi sebagaimana UU 1/2009 bukanlah sebuah lembaga peradilan pidana. tugas majelis profesi dpt dilihat di pasal 365 uu 1 /2009 (a. menegakkan etika profesi dan kompetensi personel di
bidang penerbangan;
b. melaksanakan mediasi antara penyedia jasa penerbangan,
personel dan pengguna jasa penerbangan; dan
c. menafsirkan penerapan regulasi di bidang penerbangan).
demikian, sebagai masyarakat awam mohon maaf jika terdapat kesalahan dalam analisi hukum sy. mohon penjelasan lebih lanjut. terima kasih