Lebih kurang di tahun 1990-an , seorang senior saya Brigadir Jenderal TNI Purnawirawan Soemarno, menanyakan kepada saya : “Chap, kamu bisa nggak mengatakan kepada saya , apa sih yang menjadi cirinya orang Indonesia ? “ Sebagai contoh beliau mengatakan bahwa , kalau kita lihat orang bule kan, langsung kesannya adalah orang pintar walaupun banyak bule yang “goblok” juga. Kalau kita bicara tentang orang yang rajin berinovasi dan bekerja keras, langsung kita akan mengatakannya sebagai ciri dari orang Jepang. Demikian pula bila kita berbicara tentang orang yang berkemauan keras untuk maju, maka kita akan berpikir tentang orang Korea , bila kita bicara tentang orang yang kuat sekali kemauannya dan juga pekerja keras, maka kita akan melihatnya sebagai orang Cina, dan lain sebagainya dan lain sebagainya.
Nah, Orang Indonesia itu yang bagaimana? Apa ciri khasnya ? Terus terang saya nggak bisa menjawabnya. Saya hanya kemudian berpikir tentang kriteria orang Indonesia yang pernah ditulis oleh Mochtar Lubis. Rasanya saya nggak sampai hati untuk menyampaikannya, karena betapa jeleknya gambaran tentang manusia Indonesia yang digambarkan oleh Mochtar Lubis. Walaupun dalam relung hati nan jauh disana , dengan melihat kenyataan yang ada saya rasanya menyetujui juga apa yang dikatakan oleh beliau.
Pertanyaan seperti itu, selalu beliau sampaikan pada setiap Pak Marno menyampaikan ceramah tentang “jati diri” orang Indonesia, dimana saja beliau menyampaikan makalahnya.
Salah satu ilustrasi yang pernah disampaikannya, sampai sekarang tersimpan dengan baik didalam memori saya.
Beliau bercerita, bahwa di satu pedesaan di lereng pegunungan Himalaya, terdapat tempat untuk para turis melihat dan mendaki salah satu puncak tertinggi gunung di dunia itu. Karena hanya untuk turis saja, bukan untuk pendaki profesional ,maka kita tidak mendaki ke puncak yang sesungguhnya, dan tempatnya pun tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu sulit untuk didaki. Namun tetap saja , tidak mudah dan memerlukan tenaga yang lumayan untuk mendaki. Sampai pada ketinggian tertentu, ada tempat beristirahat didekat pedesaan tersebut yang penduduknya sangat miskin. Disitu terdapat beberapa orang berjualan teh panas yang disiapkannya disitu untuk dijual kepada para turis “pendaki gunung” yang pasti berada dalam kondisi yang sangat kehausan. Satu cangkir teh panas dijual dengan harga sangat murah sekali, lebih kurang seharga 750 rupiah.
Karena sangat terbantu dengan teh untuk menghilangkan rasa dahaga, serta kasihan melihat sang penjual teh yang miskin, seorang turis membayar 1000 rupiah sambil mengatakan , tidak usah dikembalikan atau ambil saja kembaliannya. Apa Yang Terjadi ? Si Penjual Teh, dengan nada marah, memberikan kembaliannya seraya berkata : “Ini Uang kembalian, saya bukan pengemis disini tapi jualan teh, dan jangan lakukan lagi hal serupa disini !”, katanya setengah menghardik. Sang turis pun terpesona dengan jawaban itu dan langsung minta maaf.
Itu adalah salah satu ilustrasi yang beliau sampaikan dalam konteks menceritakan bagaimana tingginya kepribadian warga desa miskin dilereng pegunungan Himalaya itu.
Melihat perkembangan bangsa kita kahir-akhir ini, ilustrasi pak Marno kemudian muncul lagi kepermukaan dalam ingatan saya, entah apa sebabnya ?
Bulan yang lalu saya berjumpa lagi dengan beliau di salah satu Restoran di Jakarta Selatan. Kami hanya berpapasan di koridor sempit. Tubuhnya sudah dimakan usia, ditopang dengan tongkat dan diiringi oleh seorang perawat, namun sorot matanya masih tajam penuh semangat. Waktu saya tegur, selamat pagi Pak Marno, saya Chappy Hakim pak . Beliau langsung menjawab, ya ya saya tahu…jangan berhenti menulis ya ! pesannya.
Luar biasa, seorang dengan usia diatas 80 tahun, jalan terbata-bata dengan pendengaran yang sudah mulai menurun, namun dalam dirinya masih bersemayam semangat yang tiada tergerus oleh usia.
Teringat kembali pertanyaan beliau lebih 15 tahun yang lalu : “Chap, kamu bisa nggak mengatakan kepada saya , apa sih yang menjadi cirinya orang Indonesia ? “
Sampai detik ini pun, saya tidak berani menjawabnya. Karena kembali lagi teringat dengan kriteria manusia Indonesia nya Mochtar Lubis ! Terus terang, saya tidak tega menjawabnya !