Sistem Pertahanan satu Negara, disamping akan dipengaruhi oleh bentuk dan letaknya, secara universal dipastikan akan berorientasi pada kemajuan teknologi dan cenderung “total defense” sifatnya. Indonesia, diwaktu lalu mengenal Sishankamrata, sistem pertahanan keamanan rakyat semesta. Dari namanya saja (penggunaan kata semesta) sudah menggambarkan tentang refleksi dari usaha yang “total defense” tersebut. Dalam perkembangannya kemudian, konon, karena sudah terlanjur ditentukan bahwa Keamanan menjadi miliknya Polri yang sudah keluar dari ABRI dan TNI “hanya” memperoleh jatah Pertahanan saja, maka Sishankamrata telah berubah menjadi Sishanrata (sistem pertahanan rakyat semesta).
Gambaran tentang “total defense” disini kemudian terlihat sebagai agak memudar, karena kehilangan unsur “kam” atau “keamanan” nya. Kembali ke Sishankamrata yang dianut puluhan tahun itu, pada kenyataannya hanya menghasilkan satu Angkatan Perang (dikenal sebagai ABRI) yang menjadi garda depan penjaga “stabilitas nasional” yang dalam terjemahan sederhananya adalah mengamankan kekuasaan satu rezim pemerintahan. Dalam perjalanan yang seperti itu, tidak bisa dielakkan bagi Sang Angkatan Perang bersama Kepolisian yang berujud ABRI untuk berada digaris paling depan dalam jajaran kegiatan “politik” sehari-hari. Politik yang niscaya akan terfokus hanya kepada aktifitas mengejar dan mempertahankan “kekuasaan” belaka, satu kegiatan yang sangat jauh dari domain nya sebuah Angkatan Perang. Hal tersebut juga terlihat dari peran kekuatan laut dan lebih-lebih kekuatan udara yang sangat tidak proporsional dalam konteks sistem pertahanan sebuah negara yang berbentuk kepulauan.
Kekuatan Laut dan Udara terlihat hanya merupakan sekedar pelengkap semata. Demikian pula ,dalam kurun waktu yang lebih dari setengah abad, sejauh ini perwira Laut hanya berkesempatan dua kali menjabat sebagai Panglima, sedangkan Angkatan Udara hanya satu kali saja. Itulah masa yang telah dilalui bersama, masa dimana Angkatan Udara dan Angkatan Laut dipandang sebagai tidak cukup penting. Sudah waktunya, dan harus dimulai dari garis awal, antara lain pada sistem pendidikan dasar bagi kader-kader Perwira Angkatan Perang Indonesia. Bahwa seyogyanya semua itu harus berorientasi kepada bagaimana menghasilkan Perwira yang Profesional dibidangnya dalam arti sesungguhnya. Sampai dengan saat ini, realita menunjukkan betapa kita lebih banyak menghasilkan para “Perwira militer yang business man” dan “Perwira militer yang politikus” dibanding dengan “Perwira militer yang profesional”. Profesional dalam arti Perwira berjiwa Patriot yang militan dan memiliki visi dengan orientasi utamanya kepada pertahanan dan keamanan Negara, bukan semata kepada kekuasaan, kedudukan diluar organisasi Angkatan Perang dan atau bidang politik praktis. Satu hal yang sangat serius untuk direnungkan bersama.
Kedaulatan Negara
Kini, di era reformasi dan era pasca reformasi seharusnya adalah merupakan saat yang bagus untuk membenahi Angkatan Perang Indonesia dalam satu ujud yang tepat berada dalam garis orbit Angkatan Perang Negara Republik Indonesia yang berujud kepulauan. Angkatan Perang sebagai alat negara yang bertugas menjaga kedaulatan dan kehormatan bangsa harus segera menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman. Sekarang sudah saatnya untuk merumuskan ulang satu Angkatan Perang negara kepulauan yang terletak pada posisi sangat strategis disepanjang garis khatulistiwa. Disamping rumusan normatif dari tugas menjaga kedaulatan negara, selalu ada pertimbangan aktual yang dapat dirumuskan dalam konteks menjabarkan tugas-tugas dari satu Angkatan Perang.
Dalam format sederhana kedaulatan negara dikesehariannya dapat dilihat antara lain, bila patok-patok sepanjang perbatasan negara di daratan Papua, Kalimantan dan tempat-tempat lain tidak dapat digeser seenaknya oleh pihak lain. Kekayaan laut negeri ini dapat terjaga dengan baik dari kegiatan pencurian besar-besaran yang sangat leluasa. Nelayan-nelayan kita dapat mencari ikan dengan nyaman tanpa khawatir akan ditangkap oleh aparat penjaga keamanan laut negera tetangga. Wilayah udara kedaulatan kita, walau hanya sebagian, tidak boleh berada dibawah otoritas penerbangan negari jiran dan wilayah udara kedaulatan kita aman dari penerbangan gelap yang begitu sering melintas tanpa ijin. Itu semua sebenarnya hanyalah beberapa hal saja dari aspek kedaulatan negara yang relatif sangat sering kita jumpai terjadi sepanjang tahun. Demikianpun, tidak terdengar masalah-masalah tersebut dapat ditangani dengan solusi yang memuaskan. Satu tantangan besar bagi Angkatan Perang Republik Indonesia.
Perbatasan Kritis/Critical Border
Kedaulatan negara dalam konteks tertentu kerap juga sangat berhubungan dengan kerawanan yang terjadi dikawasan perbatasan negara. Puluhan tahun Angkatan Perang kita larut dalam berpolitik, sehingga kawasan perbatasan seolah belum tersentuh dalam cengkeraman yang ketat penjagaan oleh tentaranya. Sipadan dan Ligitan, adalah merupakan satu saja dari contoh kelalaian menjaga dan memelihara daerah perbatasan. Bila ditinjau dari perjalanan sejarah dunia, maka ternyata penyebab perang terbanyak adalah perang yang dimulai dari sengketa perbatasan (border dispute).
Itu sebabnya hakikat dari sistem pertahanan negara terkadang dapat diartikan sebagai membangun pagar disepanjang perbatasan. Realita menjelaskan kepada kita semua bahwa tidaklah mungkin satu negara memandang perlu atau dapat mampu memagari seluruh kawasan perbatasannya dengan pagar, disamping memang tidak akan efisien. Itu sebabnya, maka orang akan memilih untuk hanya daerah perbatasan yang kritits saja diusahakan untuk dipagari.
Demikianlah, maka dikenal beberapa pagar dikawasan perbatasan kritis seperti “the great wall”, tembok China yang membendung kawasan perbatasan kristis China dari ancaman serangan musuh yang berasal dari Utara. Tembok Berlin yang berfungsi sepanjang era perang dingin memisahkan kawasan perbatasan kritis didaerah penuh ancaman antara blok Barat dan Timur. SDI (Strategic Defense Inisiative) nya Ronald Reagan, yaitu berupa “pagar imajiner” di daerah perbatasan kritis yang membentengi negara-negara blok Barat terhadap kemungkinan serangan ICBM (Intercontinental Balistic Missile) dari blok Timur. Kesemua itu adalah contoh dari bagaimana konsep pagar disepanjang daerah perbatasan yang kritis telah menjadi prioritas atau bagian utama dari satu sistem pertahanan.
Bagaimana dengan Indonesia ? Secara garis besar , dapat dilihat dengan jelas bahwa Indonesia memiliki dua kawasan perbatasan kritis yaitu di Selat Malaka dan di daerah perbatasan selatan timur yang menghadap ke Benua Australia. Selat Malaka merupakan kawasan perairan yang berbatasan dengan banyak negara tetangga disamping merupakan jalur lintas dari demikian banyak armada laut dunia. Selat Malaka , kesibukannya adalah 6 kali lipat dari Terusan Suez dan dalam sehari dilewati tidak kurang dari 3000 kapal niaga. Nah, disamping Indonesia sendiri adalah merupakan negara yang berbentuk kepulauan terbesar di permukaan bumi ini, ternyata dan sangat jelas memiliki perbatasan kritis yang didominasi kawasan yang berujud perairan.
Dengan demikian, bila berbicara tentang sistem pertahanan yang berkait dengan membangun satu postur Angkatan Perang, maka yang sangat masuk akal adalah membangun Angkatan Perang yang berorientasi kepada kekuatan laut atau kekuatan maritim yang handal. Kekuatan laut yang dapat memberikan jaminan keamanan dan kekuatan menjaga kedaulatan negara pada tingkat siap tempur (combat rediness) yang memadai. Kekuatan laut, tidak akan banyak manfaatnya, bila tidak didukung oleh satu kekuatan yang mampu memberikan perlindungan dari udara, “air-superiority” dan atau “air supremacy”.
Kiranya, keseluruhan uraian ini telah mengantar kita semua pada pemikiran yang logis dan masuk akal bahwa dalam konteks penyelenggaraan pertahanan keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, seyogyanya kita harus memiliki satu Angkatan Perang dengan kekuatan laut dan udara yang prima, satu Angkatan Perang dari satu Negara yang berujud perairan, satu Angkatan Perang Negara Maritim, Angkatan Perang Negara Kepulauan. Angkatan Perang yang berinduk, tidak hanya kepada bentuk dan letak strategisnya tetapi juga kepada pertimbangan kemajuan teknologi dan berorientasi senantiasa kepada “total defense” atau semesta. Jayalah Angkatan Perang Negara Kesatuan Republik Indonesia, Angakatan Perang Negara Kepulauan.
Jakarta 25 September 2013
Chappy Hakim,
Penulis buku : Pertahanan Indonesia
Quo Vadis Kedaulatan Udara Indonesia
4 Comments
Pada era perebutan Irian Barat di dekade 50an kekuatan laut dan udara Indonesia merupakan yang terkuat di belakang bumi selatan. Kemauan politik yang ada sangat besar untuk menjadikan NKRI pada taraf tersebut. Menurut bapak factor-faktor apa saja yang membedakan dengan kondisi saat ini sehingga kita tidak/kurang punya kemauan politik sekuat era 50an? Terima kasih pak.
menurut bapak bagaiaman tentang kedaulatan udara negara Indonesia?
bagaimana pula pengaturan tentang hukum udara Indonesia dibandingkan hukum udara Internasional?
Ditilik dari penjelasan Bapak, memang tepat bila pertahanan negara ini harus mengandalkan kekuatan laut dan udara. Saya pribadi pernah membaca pemikiran-pemikiran dari Laksamana Armada Kekaisaran Jepang Isoroku Yamamoto yang mengemukakan hal senada (mengingat Jepang adalah negara kepulauan / archipelago) : kekuatan laut dan udara tak bisa dipisahkan demi menjaga kedaulatan negara yang berbentuk gugusan pulau-pulau. Saya pribadi bukan “penggemar” panglima perang tersebut, namun pemikiran-pemikirannya (menurut saya) tetap relevan sampai kapanpun (sebatas mempertahankan kedaulatan negara yang berbentuk kepulauan, atau berwilayah sebagian besar perairan). Saya percaya bila negara kita ini sesungguhnya telah memiliki banyak pelaut, marinir, dan penerbang yang cerdas dan tangguh. Walau kata-kata saya terlihat aneh; Mungkinkah memang sudah saatnya, negara ini berpikir untuk membangun dan memiliki kapal induk (aircraft carrier), yang akan mewadahi para pelaut (sailors), marinir (marines), dan penerbang (airmen) dalam satu kesatuan komando operasi militer?
Generasi muda akan dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi pertahanan. Secara alami kekuatan udara dan laut merupakan matra yang sangat tergantung pada penguasaan teknologi. Di masa yang akan datang integrasi kekuatan pertahanan akan terwujud seperti yang telah diprediksi.