PTDI, pabrik pesawat terbang kebanggaan nasional yang sudah beberapa lama terpuruk ini, kembali muncul dalam berita yang sangat menarik perhatian. PTDI dinyatakan “pailit” alias bangkrut sesuai dengan skenario dari pihak tertentu, diikuti dengan harapan sekian ribu mantan pekerja untuk memperoleh pembagian uang dari penjualan sisa-sisa asset yang dimilikinya. Tidak kurang dari Wakil Presiden dan beberapa petinggi negara kemudian bereaksi atas pemailitan ini.
Dari sejak awal perkembangannya PTDI hanyalah berupa upaya percepatan suatu industri penerbangan dari perusahaan yang sudah ada dan dibangun dengan susah payah, hanya berbekal semangat juang dan semangat kebangsaan yang tinggi yaitu LIPNUR kemudian berubah menjadi IPTN, yang lebih dikenal dengan sebutan Nurtanio, mengambil nama dari pelopor, perintis industri pesawat terbang Angkatan Udara itu sendiri. Lahannya pun mengambil tempat di lokasi Pangkalan Angkatan Udara Hussein Sastranegara.
Dengan berbekal kekuasaan dan anggaran yang nyaris tanpa batas, serta menghilangkan nama perintis Angkatan Udara yang sangat dihormati, dibangunlah kemudian Pabrik Pesawat Terbang Nusantara (IPTN). Dalam sekejap Angkatan Udara kemudian hanya menjadi bagian yang kecil dan tersingkirkan dari rumahnya sendiri yaitu Pangkalan Udara Hussein Sastranegara yang telah banyak mengukir sejarah perjuangan bangsa. Demikian pula satu persatu personil Angkatan Udara disingkirkan sampai habis.
Diawalnya, semua orang dibuat terpesona dengan begitu pesat kemajuan Industri Pesawat Terbang Nusantara yang dalam waktu relatif sangat singkat telah berhasil memproduksi pesawat-pesawat Cassa C-212 , serta mengasembling beberapa jenis Helikopter. Belum selesai dengan tuntas pesawat C-212, disusul kemudian dengan memproduksi pesawat CN-235.
Demikian pula dengan proyek pesawat CN-235 yang belum selesai sepenuhnya, telah diproduksi kemudian pesawat berikutnya yaitu pesawat N-250 dengan teknologi yang amat sangat mutakhir, fly by wire. Belum lagi pesawat ini dapat dilempar ke pasar, sudah ada lagi ide merancang pesawat Jet regional untuk medium range yaitu N-2130 bermesin full jet engine. Suatu proyek yang benar-benar sangat ambisius di bidang kedirgantaraan yang pernah terjadi sepanjang sejarah umat manusia. Sayangnya proyek ini hanya bersandarkan kepada kekuasaan dan dana yang nyaris tak terbatas. Proyek yang tidak dibangun dengan pendekatan kesetaraan, persaudaraan, kesamaan visi serta saling menghargai satu dengan lainnya.
Satu proyek yang benar-benar “slonong-boy”, berjalan sendiri sesuai dengan keinginan yang menggebu-gebu. Jauh hari, dari gerak-geriknya perjalanan Lembaga Industri Penerbangan Nusantara ini, sudah banyak orang dapat memperkirakan apa yang akan terjadi kemudian.
Hal ini berkait dengan begitu banyak masalah dan persoalan yang harus dilalui dengan baik, kemudian dilangkahi dengan semena-mena, alias potong kompas. Jadi sebenarnya , proyek ini berjalan dengan cepat dan melangkah dengan gagah, namun parallel dengan itu juga menimbun banyak masalah. Disisi lain memproduksi pesawat saja tanpa diikuti dengan keterampilan untuk dapat menjualnya, telah membuat hasil produksi yang sangat “high-tech” ini kemudian ternyata menghasilkan “beras ketan”, karena Thailand ternyata membeli pesawat IPTN dengan proses imbal beli dengan produk pertaniannya yaitu beras ketan. Kalau memang demikian mengapa tidak bertani saja, yang mungkin hasilnya akan lebih banyak diperoleh dibandingkan dengan menukarkannya dengan Pesawat Terbang. Tanpa mengurangi rasa hormat dan penghargaan atas beberapa hal yang sebenarnya ada juga nilai tambah yang dihasilkan, namun secara keseluruhan proyek ini benar-benar telah melahirkan banyak masalah yang hingga kini akan sangat sulit untuk dapat di selesaikan dengan baik dan dalam waktu singkat. Hasil terbesar dari proyek ini adalah hanya sebuah pantun yang legendaris berbunyi “tetuko”, diambil dari nama kebanggaan salah satu pesawat produksi IPTN, yaitu “Sing teko ora tuku-tuku dan sing Tuku ora teko-teko”.
Pembangunan pabrik pesawat yang hanya berdasar kepada kekuasaan dan dana besar, sangat mudah diprediksi nasibnya dikemudian hari. Begitu terjadi krismon dan tergulingnya rezim yang berkuasa maka secara otomatis turut meleleh lah proyek yang sangat ambisius ini. Tiada ada lagi kekuasaan dan tiada ada lagi uang untuk meneruskannya. Tinggallah kini puing-puing dari bangunan yang belum sepenuhnya selesai dibangun itu.
Pemerintahan berikutnya, telah dengan berjiwa besar, tidak mempermasalahkan terlalu jauh apa yang menjadi penyebabnya. Dengan sangat arif langsung memaafkan apa yang telah terjadi di masa lalu. Bahkan lebih dari itu, kemudian berusaha membangun dan menyusun kembali puing-puing yang tersisa agar dapat di susun kembali, walau ada sementara pihak yang tetap ingin menghancurkannya.
Tidak mudah memang, menyusun kembali sisa-sisa yang tertinggal, walalupun harapan untuk tetap menjadikan IPTN yang kemudian telah diubah namanya menjadi PTDI, sebagai salah satu pusat industri strategis Indonesia dibidang kedirgantaraan masih terbuka kemungkinannya.
Itulah cerita sedih yang sudah dihasilkan sampai dengan saat ini. Menjadi lebih sedih lagi, karena ditengah-tengah upaya yang keras untuk membangun kembali sisa-sisa kehancuran pabrik pesawat terbang “kebanggaan bangsa”, muncul tiba-tiba keputusan Pailit bagi PTDI. Tidak usah kaget, karena sebenarnya PTDI memang masih menyimpan banyak masalah, yang merupakan tabungannya sendiri sepanjang perjalanan riwayatnya dari sejak memulainya dengan mengambil alih LIPNUR bersenjatakan kekuasaan.
Pelajaran yang sangat mahal yang harus dibayar oleh generasi berikutnya. Pelajaran bahwa, sesuai dengan hukum alam, tidak ada kesuksesan yang dapat dibangun dengan hanya bersandar kepada kekuasaan dan uang semata. Sudah saatnya pula direnungkan kembali untuk mengembalikan nama besar Nurtanio sebagai perintis, pelopor, pejuang bangsa yang merupakan salah satu pencetus ide, bahwa, Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia selayaknya merintis secara bertahap (tidak potong kompas) untuk dapat memiliki pabrik pesawat terbang bagi kepentingan rakyat banyak.
Tidak ada yang harus disesali lagi, semua sudah terjadi. Yang penting adalah mari bersama mencari penyelesaian yang WIN-WIN. Selama didasari kepada orientasi kepentingan negara dan bangsa , tidak terganggu dengan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan maka rasanya tidak ada yang sulit untuk mencari jalan keluar menuju penyelesaian yang baik.
1 Comment
saya merasa mendapat pandangan yg seimbang..setelah tahu dari sisi satu saja saya dapatkan juga dari sisi lainnya..mungkin masih banyak yg saya belum tahu..dan juga rakyat ini..Thanks Pak Cheppy…