Senin (4/4/2016) malam, terjadi tabrakan pesawat terbang di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Bagi saya hal tersebut bukanlah hal yang aneh. Saya tidak kaget sama sekali.
Pada tahun 2010, saya menurunkan tulisan menanggapi munculnya ide tentang upaya mengatasi kesemrawutan penerbangan komersial di Bandara Soekarno-Hatta dengan memindahkan tumpahannya ke Halim. Judul tulisan tersebut adalah “Pindah ke Halim, solusi yang Berbahaya !”
Mengapa berbahaya? Ada banyak sekali alasan dan penyebab dari berbahayanya ide tersebut untuk dilakukan dan kemudian terbukti terjadi Senin malam. Telah terjadi tabrakan antara dua pesawat di runway Halim.
Beruntung tidak sampai memakan korban nyawa manusia. Mungkin saja, karena tidak pernah diumumkan, tabrakan yang hampir atau nyaris terjadi sudah tidak bisa dihitung lagi. Karena hal itu, apakah masih akan menunggu terjadinya kecelakaan yang akan memakan banyak nyawa manusia yang tidak berdosa?
Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma memang pernah digunakan sebagai bandara internasional beberapa tahun lalu. Namun, hal itu tidak serta merta berarti setiap saat Halim dapat saja digunakan untuk keperluan penerbangan komersial.
Saat itu sebenarnya penggunaan Halim bagi keperluan penerbangan komersial bersifat sementara, yaitu menunggu pembangunan Cengkareng selesai. Sekali lagi, digunakan untuk “sementara” bagi keperluan penerbangan komersial.
Sejatinya, Pangkalan Udara Halim tidak di desain sebagai aerodrome untuk keperluan penerbangan komersial. Halim adalah “home-base” dari skuadron udara transport ringan dan berat serta skuadron VIP Angkatan Udara dan juga basis dari pangkalan penjaga pertahanan udara ibukota dan pertahanan udara nasional.
Setelah Cengkareng selesai, maka Halim ditetapkan sebagai “alternate aerodrome” dari International Airport Cengkareng. Artinya, bila terjadi sesuatu di Cengkareng yaitu bila take off landing pesawat terganggu, maka dapat menggunakan Halim sebagai pilihan darurat.
Di sinilah bermula satu kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai sebuah masalah berwujud “api dalam sekam”.
Untuk mempertahankan status sebagai bandara internasional walau hanya berstatus sebagai “alternate aerodrome”, maka Halim harus dapat mempertahankan kualitas dan spesikasi internasional dari aerodrome yaitu terdiri dari antara lain runway, apron, peralatan navigasi dan perangkat ATC (Air Traffic Control) untuk tetap berada pada kondisi yang memenuhi persyaratan keselamatan penerbangan internasional.
Hal ini membutuhkan biaya yang cukup besar. Angkatan Udara tidak memiliki alokasi biaya untuk hal tersebut. Jadilah beban biaya di alokasikan kepada pihak manajemen penerbangan komersial yang tentu saja dalam pengoperasiannya dapat memperoleh keuntungan dari jasa yang diberikannya dalam kegiatan penerbangan komersial yaitu maskapai penerbangan.
Mengandung kerawanan
Dengan demikian, pihak manajemen penerbangan komersial beranggapan atau dapat merasa Halim sebagai miliknya, karena sudah mendanai sekaligus memegang otoritas pengelolaan Halim sebagai bandara untuk penerbangan sipil komersial.
Dari sisi ini saja sudah mulai mengandung kerawanan. Pihak manajemen penerbangan sipil komersial pasti akan lebih memberi prioritas penggunaan Halim untuk kegiatan penerbangan sipil komersial yang memang membayar untuk itu.
Di sisi lain, pihak Angkatan Udara menjadi terjepit. Walau sebagai pemilik, Angkatan Udara tidak berdaya sama sekali diperlakukan sebagai “anak tiri”. Walau sebagai pemilik, Angkatan Udara tidak mampu membiayai perawatan untuk operasional penerbagan.
Tentu saja dengan beberapa pengecualian yaitu bila hendak digunakan untuk upacara dan lain lain. Akan tetapi tetap saja prioritas selalu mengarah kepada masalah “dana”.
Pada keadaan “biasa” atau rutin keseharian, penerbangan Angkatan Udara harus dan kerap dipaksa “mengalah”. Latihan harus mencari tempat lain di luar Halim dan lain sebagainya.
Sekali lagi, menjadi tidak berdaya. Yang punya tidak berdaya, yang numpang jadi merasa berkuasa.
Inilah yang terjadi selama bertahun-tahun. Sekali lagi ada juga pengecualian pada saat-saat tertentu. Akan tetapi, dalam kesehariannya tetap saja penerbangan komersial menjadi prioritas utama dengan bendera “untuk kepentingan nasional”.
Beda prinsip
Ada dua perbedaan prinsip pada penerbangan sipil komersial dengan penerbangan Angkatan Udara. Penerbangan sipil komersial tujuannya memperoleh keuntungan dalam bentuk yang nyata dan cepat yaitu keuntungan finansial. Penerbangan Angkatan Udara, terutama penerbangan latihannya targetnya adalah degree of combat readiness, yang tidak ada hubungannya dengan keuntungan finansial, sehingga menjadi sangat masuk akal untuk “mengalah saja “.
Dua perbedaan ini tentu saja tidak mudah untuk dapat ditemukan dalam satu titik. Ini merupakan potensi konflik yang cukup membahayakan.
Dengan situasi dan kondisi seperti itu, potensi bagi kemungkinan terjadinya kecelakaan menjadi cukup besar. Ditambah lagi dengan nafsu besar dari pengelola penerbangan sipil komersial yang hanya mengejar keuntungan semata, telah mengabaikan banyak faktor keselamatan penerbangan.
Sasaran untuk tetap mejaga pertumbuhan penumpang setiap tahunnya sudah terlihat dengan jelas saat Bandara Cengkareng di “perkosa” dengan hampir 3 sampi 4 kali lipat kapasitas daya tampungnya.
Bukannya mencari dulu penyebab mis-manajemen yang terjadi di Cengkareng, tetapi justru memindahkan saja kelebihan kapasitas Cengkareng ke Halim, tanpa persiapan yang memadai.
Realitanya bukan hanya memindahkan kelebihan kapasitas di Cengkareng, akan tetapi justru menambah rute penerbangan yang berpola mengejar terus pertumbuhan penumpang mirip dengan mekanisme “kejar setoran”.
Bisa dibayangkan rute penrbangan komersial yang digenjot di Halim yang kondisinya sangat minim. Halim hanya memiliki satu saja runway dan tidak memiliki taxiway (jalur melintas pesawat terbang bergerak menuju runway untuk take off dan landing) serta hanya memiliki apron (tempat parkir pesawat) yang sempit sekali.
Dengan kondisi yang seperti itu, tabrakan antar pesawat hanyalah menunggu waktu saja. Sekali lagi beruntung kejadian semalam tidak sempat merengut nyawa para pengguna jasa angkutan udara dari penerbangan sipil komersial di Halim.
Secara keseluruhan dunia penerbangan sipil komersial Indonesia terlihat jelas sekali dalam 10 sampai 15 tahun belakangan ini hanya berpola mengejar keuntungan semata dengan memforsir pertumbuhan penumpang belaka.
Dunia penerbangan sipil komersial tidak atau kurang memperhatikan unsur ketersediaan sumber daya manusia penerbangan seperti pilot dan teknisi dengan indikasi yang menyolok sekali adalah hadirnya para pilot asing di Indonesia.
Demikian pula tidak atau kurangnya perhatian bagi ketersediaan infrastruktur penerbangan (antara lain kondisi runway dan taxiway dan peralatan ATC). Itulah yang terjadi, sehingga kecelakaan demi kecelakaan agak sulit dihindari untuk dapat terjadi dengan frekuensi yang cukup sering.
Kiranya seluruh pemangku kepentingan dunia penerbangan Indonesia dapat duduk bersama untuk dengan jujur dan ikhlas mencari solusi yang benar-benar berorientasi kepada keselamatan penerbangan dan tentu saja kepentingan masyarakat banyak.
Jakarta 5 April 2016
Chappy Hakim
Pilot Angkatan Udara yang puluhan tahun terbang di Halim, pemegang ATPL (Airlines Transport Pilot License) dengan pengalaman lebih dari 3 tahun menerbangkan pesawat maskapai penerbangan sipil komersial di dalam dan luar negeri. Ketua Tim Nasional Evaluasi Keselamatan dan keamanan Transportasi).
Sumber : Kompas.com – Editor Wisnu Nugroho