Atas Undangan dari Ambassador Xie Feng, Duta Besar Luar Biasa dan berkuasa penuh Republik Rakyat Tiongkok (RRT) untuk Republik Indonesia dan Chairman PPIT (Perhimpunan Persahabatan Indonesia Tiongkok) Bondan Gunawan, saya dan isteri berkesempatan menyaksikan “Symphony for Friendship”, hari Sabtu tanggal 30 April 2016 di Jakarta.
Symphony for Friendship ini menyajikan pagelaran dari “China Philharmonic Orchestra –Silk Road Tour 2016 in Jakarta” yang diselenggarakan di Aula Simfonia, Kemayoran Jakarta.
Tampak hadir dijajaran tempat duduk VIP, mantan Presiden Republik Indonesia BJ Habibie beserta anak dan cucunya, didampingi Duta Besar RRT dan Ketua PPIT serta Rachmat Soekasah sebagai Ketua Panitia. Terlihat hadir juga Ketua DPD RI, Irman Gusman serta beberapa pejabat lainnya.
Misi dari PPIT memang mempererat jalinan persahabatan dan turut serta untuk meningkatkan hubungan kebudayaan Indonesia-Tiongkok melalui pendidikan, seni, olahraga dan kerjasama kemanusiaan.
Menurut Ketua Panitia, penyajian pentas China Philharmonic Orchestra – silkroad tour ini bisa diartikan sebagai kunjungan balasan terhadap pementasan kesenian angklung yang diselenggarakan PPIT tanggal 30 Juni 2013 di Workers Stadium, Beijing.
Agak di luar dugaan, ternyata gedung Aulia Simfonia Jakarta yang terletak di Kemayoran itu adalah gedung indah yang kelihatannya memang sudah didisain sejak awal untuk keperluan pagelaran sebuah orchestra atau pertunjukan sejenis.
Hal ini terlihat jelas dari tata-ruang serta interior yang dihiasi pernak pernik layaknya sebuah “Concert Hall” yang banyak dijumpai di kota-kota Eropa. Tidak terlalu besar ukurannya, namun suasana didalamnya sangat klasik dan “western” apik dan bersih serta berkarpet wall to wall, khas bangunan di negeri 4 musim.
Pertunjukan dibuka dengan beberapa kata sambutan, antara lain dari Ambassador Xie Feng, ketua PPIT dan pimpinan China Philharmonic Orchestra. Pertunjukan ekstra atau tambahan disajikan tuan rumah dengan pementasan kesenian asal Aceh yaitu tari Saman yang memukau penonton.
Berikutnya, sebelum sajian dari China Philharmonic Orchestra tampil pula seorang biduanita seriosa remaja Putri Ayu Rosmei Silaen kelahiran kota Sibolga, Sumatera Utara. Putri Ayu yang memiliki suara memesona sebagai seorang penyanyi seriosa memperlihatkan warna suara yang terdengar sebagai suara penyanyi yang sangat terlatih, tampil dengan iringan piano tunggal membawakan beberapa lagu antara lain Tanah Airku Indonesia.
Suara seorang penyanyi sekolahan yang sangat jarang terdengar di tanah air, sangat membanggakan. Dia bahkan pernah tampil di tahun 2011 pada tanggal 28 Oktober membawakan lagu “Time to Say Good Bye” di Jakarta pada konser “David Foster and Friends.
Penyanyi seriosa profesional ini juga pernah berduet dengan penyanyi tenar kelas dunia kenamaan Michael Bolton membawakan lagu “The Prayer” di Marina Bay Singapura beberapa tahun lalu.
Pertunjukkan nomor utama malam itu adalah pagelaran China Philharmonic Orchestra membawakan lagu-lagu klasik tersohor karya abadi para komponis kelas dunia antara lain dari Beethoven.
Didahului nomor pembuka sebuah paket medley yang di dalamnya diselipkan aransemen khas dari beberapa lagu Indonesia seperti Butet, Rasa Sayange dan lain-lain. Lagu yang disajikan kemudian adalah Chinese Folk Song, The Moon Reflected on Er Quan Spring. Setelah itu orchestra membawakan nomor favorit nya Violin Concerto in E Minor karya F.Mendessohn dengan soloist Rui Liu yang sangat mempesona.
Setelah intermeso selama 15 menit, dibawakan pula Symphony No.7 in A Major Op.92 karya unggulan dari Beethoven yang terkenal itu. Secara keseluruhan penampilan orchestra dengan konduktor muda Xia Xiaotang dari Orkes China Philharmonic sangat sempurna yang antara lain didukung sistem tata suara akustik yang bagus sekali dari “basic design” gedung Aula Simfonia.
Soal banyaknya aturan
Sebuah pertunjukan yang memang jarang sekali dipagelarkan di negeri ini. Sayang sekali gedung yang indah tatanan interiornya itu hanya diisi lebih kurang 50% saja oleh penonton yang diundang malam itu.
Pada sisi lain, pertunjukan musik klasik harus diakui belum banyak penggemarnya di tanah air. Sebagian besar memang masih menyenangi musik-musik pop atau jazz dan rock. Minat dan juga terutama para penonton kita memang belum familiar dengan tata krama pertunjukan musik klasik.
Tata krama di sini dimaksudkan adalah, masih dirasa terlalu banyak aturan yang sangat mengikat dalam menikmati pagelaran sebuah sajian musik klasik. Penonton kita biasa bebas sebebasnya, sehingga bila terlalu banyak aturan memang langsung akan menghilangkan selera untuk menonton.
Belum lagi pada umumnya lagu-lagu klasik agak sulit untuk bisa dinikmati, karena memang jarang sekali diperdengarkan di tempat umum. Demikianlah juga dengan apa yang terjadi malam itu, karena pada pendahuluan acara sudah “diancam” berulang-ulang oleh panitia dengan hal-hal yang dilarang.
Dilarang memotret, dilarang berbicara satu dengan lainnya, dilarang menghidupkan handphone, dilarang berkeliaran selama pertunjukan berlangsung dan lain lain dan lain lain.
Kesemua itu membuat kaku penonton nyaris kelihatan seperti orang yang sedang di setrap atau dihukum. Kekakuan yang terjadi adalah, karena memang sebagian besar penonton kayaknya belum terbiasa nonton pagelaran musik dengan 1001 macam aturan. Maka, selesai sebuah lagu dimainkan, para penonton yang kagum dengan permainan menjadi ragu-ragu untuk bertepuk tangan.
Pertunjukan musik klasik di Indonesia belum menjadi tontonan orang banyak. Tontonan musik klasik masih sangat terbatas bagi sebagian kecil saja masyarakat penggemar musik klasik yang memang sudah siap mental untuk menjadi penonton yang patuh dan taat, karena sudah tahu pada standar aturan yang berlaku. Aturan yang bahkan belum banyak dipahami oleh para penggemar musik kebanyakan.
Sunyi senyap
Gedung pertunjukan malam itu, saat permainan orchestra akan berlangsung benar-benar menjadi sunyi senyap seperti tidak ada orang satupun. Betul sekali kesunyian yang muncul itu benar-benar sebagai kata pepatah kuno yang mengatakan bahkan bila jarum jatuhpun akan terdengar.
Malam itu memang tidak ada jarum yang jatuh, akan tetapi suara dari isi perut saya yang agak kembung berbunyi “keriyuk-keriyuk” menjadi terasa sangat jelas terdengar. Pertunjukan dimulai jam 17.00 hingga 19.00, saat yang benar-benar tepat bagi lambung perut dari seorang yang tidak muda lagi menuntut diisi pasca makan siang yang agak terlalu pagi.
Saya sangat amat khawatir apakah penonton di kiri kanan saya juga dapat mendengar suara isi perut saya. Beruntung, tidak berapa lama kemudian pertunjukanpun dimulai, dan suara yang keluar dari perut saya “keriyuk-keriyuk” lenyap tertelan suara instrument musik China Philharmonic Orchestra ! Alhamdulilah.
Sebenarnya kekakuan dan ketidaknyamanan dalam menonton pertunjukan musik klasik, tidak hanya dirasakan para penggemar musik di Indonesia akan tetapi juga di negara barat. Bahkan sudah terjadi “perubahan” yang cukup radikal dalam tatanan etika tata cara menikmati musik klasik.
Beberapa tahun lalu seorang konduktor sebuah kumpulan musik klasik “Johann Strauss Orchestra” bernama Andre Leon Marie Nicolas Rieu, tenar dengan nama panggilannya Andre Rieu berkebangsaan Belanda mengubah drastis prosedur tata cara menikmati musik klasik.
Dia seorang pemain biola handal merangkap konduktor sekaligus pembawa acara dalam setiap pementasan musik klasik terutama lagu-lagu karya Johann Strauss yang berirama “waltz” dan irama “gembira”, justru mengajak penontonnya untuk turun melantai berdansa ria dan bertepuk tangan meriah sepanjang lagu-lagu yang tengah dimainkannya.
Dengan demikian dia banyak digemari para penggemar musik klasik berirama waltz dan irama gembira lainnya. Di samping memperoleh sambutan luar biasa dari para penggemar musik klasik aliran baru, tetap ada juga kelompok yang mengecamnya, sebagai perusak keangkeran pakemnya perhelatan musik klasik yang nyaris sudah menjadi sakral itu.
Mereka menyebut Andre Rieu sebagai “The Rock Star” yang merusak tatanan pakemnya petunjukan musik klasik. Saya percaya, bila ada sponsor yang berani mendatangkan Andre Rieu ke Jakarta, maka dalam sekejap akan terjadi perubahan mendasar dari banyak orang Indonesia dalam merespon kiprahnya musik klasik sebagai musiknya orang banyak.
Musik klasik tidak lagi menjadi suguhan yang sangat “eksklusif” bagi penggemar musik sekolahan yang kerap disebut juga sebagai musiknya kelompok orang “gedongan” seperti sekarang ini.
Sumber : Kompas.com
Editor : Wisnu Nugroho