Ppada hari Selasa (27/12/2016), mengangkat headline tentang pembelian helikopter oleh TNI AU. Disebutkan, bahwa TNI AU tetap membeli helikopter Agusta Westland AW101 meskipun pernah mendapat penolakan dari Presiden Joko Widodo, Desember 2015.
Beberapa tulisan yang beredar kemudian bahkan sampai menyebut bahwa Kasau telah melakukan “in-subordinasi” dalam masalah ini.
Agak sulit untuk dapat mempercayai tentang hal “in-subordinaasi” itu, mengingat sangat tidak mungkin seorang Kepala Staf dapat melakukan sebuah proses pengadaan atau pembelian dari sebuah alat utama sistem senjata seorang diri.
Namun bila merujuk kepada berita yang beredar belakangan ini, maka tidak dapat dibantah bahwa memang telah terjadi sesuatu “yang mengundang pertanyaan” dalam proses pengadaan Helikopter AgustaWestland AW101 tersebut.
Bagaimana semua hal itu sampai bisa terjadi? Sangat sulit untuk dapat membuat sebuah analisis tentang hal ini karena keterbatasan data yang dapat diperoleh untuk mendalaminya.
Berikut akan dicoba saja untuk melihat dari persepektif “man on the street” terhadap apa yang kemungkinan terjadi di kancah gejolak sebuah proses pengadaan persenjataan menyangkut pembelian helikopter AgustaWestland AW101.
Sebenarnya proses pengadaan dari sebuah alat utama sistem senjata adalah merupakan bagian yang utuh dari kebijakan negara dalam sistem pertahanan keamanan nasionalnya.
Peran sebagai pelaksana operasional dari kebijakan sistem pertahanan keamanan negara pada umumnya memang selalu akan didelegasikan dan atau dilaksanakan sehari-hari oleh Kementerian Pertahanan dan jajaran angkatan perangnya.
Pada proses dan mekanisme pengadaan persenjataan (pembelian helikopter AgustaWestland) inilah yang mungkin, dengan perkembangan jaman sudah waktunya untuk dilihat ulang apakah harus memerlukan perhitungan dan atau prosedur yang lebih cermat lagi. Prosedur yang mungkin harus dirubah, disempurnakan, dan atau disesuaikan dengan perkembangan keadaan.
Penggunaan produk Industri Pertahanan Strategis Dalam Negeri
Menggunakan produk dalam negeri, yang bermakna lebih mengutamakan menggunakan barang-barang yang memang sudah mampu dihasilkan oleh produsen di dalam negeri adalah bagian dari kebanggaan dan harga diri sebagai bangsa.
Hal ini menjadi “harga-mati” yang selalu akan berhubungan dengan “nasionalisme” dan “patriotisme” serta harga diri sebagai bangsa.
Yang sangat disayangkan adalah pemahaman yang sangat patriotik tersebut selama ini “seolah-olah” hanya diberlakukan kepada pihak “pembeli” atau “pengguna” semata.
Siapa saja yang ingin membeli atau menggunakan sebuah barang yang jenisnya sudah dapat atau mampu dikerjakan di dalam negeri, maka mereka otomatis terbelenggu oleh pagar yang kokoh dari sebuah pemahaman “patriotisme” yaitu harus menggunakan produk dalam negeri.
Pada titik ini maka perdebatan tentang kualitas dan spesifikasi teknis menjadi sesuatu yang tidak mudah dicerna dan apalagi dikompromikan. Sebenarnya, posisi para pembeli dan pengguna adalah berada di posisi garis kedua dari proses pembangunan sikap patriotisme dalam hal penggunaan barang produksi dalam negeri.
Justru yang berada dalam garis pertama pada kerangka mengembangkan sikap nasionalisme dan kebanggaan serta harga diri bangsa adalah pihak produsen. Pihak produsenlah yang harus memulai sedemikian rupa sehingga produknya adalah sebuah produk yang berkualitas sehingga dapat dijadikan andalan bagi para calon pengguna barang produksinya.
Itu sebabnya, maka sebuah industri pertahanan strategis sebuah negara, dipastikan akan membutuhkan subsidi yang besar dari pemerintah dan juga sekaligus harus memperoleh proteksi atau perlindungan terutama dalam pemasaran produksinya.
Industri pertahanan, dimanapun dan dalam bentuk apapun, tetap harus dan memerlukan aspek kerahasiaan sekaligus juga aspek kehandalan dari kualitas produk yang dihasilkannya. Industri pertahanan strategis dalam negeri harus digunakan terlebih dahulu oleh pengguna di dalam negeri, baik sipil maupun atau terutama militer.
Khusus untuk produk yang berteknologi tinggi, seperti pabrik pesawat terbang, maka pabrikan harus memiliki produk unggulan yang dapat diandalkan sebagai “prime mover” dari industri pertahanaan strategis tersebut.
Dengan demikian maka subsidi dari pemerintah dapat secara berangsur dikurangi. Dalam target yang seperti itulah maka pihak pengguna dapat berperan serta bahkan peran utama sebagai “laboratorium lapangan” bagi penyempurnaan produk dalam mencapai kriteria “war-proven” (terbukti canggih) untuk sampai pada tingkat yang “marketable” (laku dijual) di kancah global.
Pada posisi ini, maka sebenarnya, semua hal tersebut sudah pernah berjalan cukup baik pada produk PTDI yang bernama CN-235. Sebuah produk dengan kualitas “layak-pakai” yang kemudian digunakan sebanyak 1 skadron di Angkatan Udara untuk versi militer dan sejumlah CN-235 versi sipil yang digunakan oleh MNA, Merpati Nusantara Airlines, bagi beberapa rute domestiknya.
Berikutnya yang kemudian terjadi adalah CN-235 digunakan juga dibanyak negara untuk berbagai misi operasi sipil dan militer. CN-235 sudah berhasil mencapai taraf “war-proven” sekaligus “marketable”.
Itu semua adalah hasil anak bangsa yang pemakaiannya dipelopori oleh pengguna dalam negeri terlebih dahulu (AU dan MNA) hingga dapat merangsang negara-negara lain untuk juga mengikutinya. Sebuah kebanggaan yang tiada tara tentunya bagi kita sebagai bangsa.
Sayangnya, kini realita yang dihadapi adalah lenyapnya (nyaris tanpa bekas) skadron CN-235 di Angkatan Udara dan juga menghilangnya pesawat terbang CN-235 yang digunakan MNA yang bahkan MNA sendiri punah dari permukaan kancah sistem angkutan udara nasional.
Masalah ini adalah merupakan sinyal kuat bahwa telah terjadi sesuatu yang memerlukan koreksi fundamental dalam pengelolaan PTDI sebagai salah satu cabang utama industri pertahanan strategis yang seharusnya dapat diandalkan.
Tidak memerlukan analisis berkepanjangan dalam hal ini, karena kenyataan telah menunjukkan bahwa PTDI memang memerlukan semacam langkah “re-structuring” agar dapat mengembalikan reputasinya sebagai penghasil pesawat terbang yang berkualitas “layak-pakai” dan handal sekelas CN-235.
Pertanyaan sederhana yang harus dijawab terlebih dahulu adalah mengapa kesuksesan CN-235 sebagai sebuah produk unggulan tidak mampu berlanjut. Sejatinya , maka CN-235 adalah benar-benar murni produk dalam negeri yang sukses meraih pasar dunia.
Sementara untuk pesawat helikopter, industri pertahanan dalam negeri baru berada dalam peringkat sebagai “perakit” yang belum cukup handal untuk dapat naik peringkat yang dapat disamakan sebagai produsen setingkat produk CN-235.
Menjadi tanggung jawab kita semua, untuk dapat memberikan dukungan penuh agar Industri pertahanan strategis dalam negeri, dalam hal ini PTDI dapat menjadi produsen dari alutsista bagi keperluan Angkatan Perang Negara Kepulauan Indonesia.
Kita harus, dan sebenarnya sudah memiliki potensi untuk menempatkan PTDI sebagai jajaran terdepan industri pertahanan strategis di Indonesia
Di luar semua itu, menyangkut proses pengadaan dalam negeri bagi persenjataan angkatan perang, seharusnya dapat dengan mudah dilakukan apabila telah dapat disusun perencanaan jangka panjang strategis yang di dalamnya tercantum proses perencanaan (pengadaan senjata) terpadu dari sistem senjata AD, AL, dan AU sebagai sebuah kesatuan dari unit angkatan perang yang merupakan sub sistem dari sistem pertahanan keamanan negara atau sistem pertahanan keamanan nasional.
Sekali lagi yang harus tertuang dalam sebuah perencanaan strategis jangka panjang dan berkelanjutan. Pada perencanaan strategis ditingkat nasional itulah seharusnya dikoordinasikan tugas-tugas industri pertahanan strategis dalam pola dukungan untuk dapat menghasilkan produk sistem senjata yang dibutuhkan oleh Angkatan Perangnya.
Semua hal tersebut, biasanya digarap dalam satu wadah yang dikenal sebagai “national security council” atau sejenis dewan pertahanan keamanan nasional. Di sanalah duduk seluruh stakeholder, pemangku kepentingan pemerintah yang bertugas di bidang pertahanan keamanan negara (baik sipil maupun militer) dalam menentukan arah kebijakan strategis nasional yang termasuk di dalamnya atau terutama tentang pengadaan senjata.
Dengan demikian tidak akan ada lagi Panglima dan atau Kepala Staf yang berbeda pendapat soal pengadaan senjata yang kemudian menembus dinding-dinding kantor atau markas besarnya urusan pertahanan keamanan negara sekelas “Pentagon” di Cilangkap.
Dalam konteks ini, mungkin sudah saatnya pula untuk mempertimbangkan ulang, sesuai dengan kajian mutakhir tentang realita yang dihadapi belakangan ini berkait dengan keberadaan sebuah institusi Mabes TNI, yang berada di tengah-tengah antara jajaran Angkatan Perang dengan Kementerian Pertahanan.
Sebuah format yang telah membuat alur kendali birokrasi yang lebih panjang. Proses birokrasi yang panjang rentang kendalinya, terutama dalam aspek proses dan mekanisme pengadaan, bisa memberikan dampak positif dan sekaligus juga, bahkan mungkin lebih sering memberi dampak yang negatif.
Tinggal dilihat dan dikaji ulang saja dari pengalaman yang dilalui setelah sekian puluh tahun apakah rentang kendali yang panjang itu memberikan dampak positif atau negatif. Terutama dalam hal pengadaan alutsista yang diperlukan oleh sebuah Angkatan Perang.
Sebagai catatan, di beberapa negara maju antara lain di Australia dan Inggris, proses pengadaan senjata berada pada jalur otorisasi yang sangat tegas dan jelas di dalam Kementerian Pertahanan. Inggris mengenal RAAE (Royal Aircraft and Armament Establishment) yang berada langsung di bawah kendali Ministry of Defence.
Akhirul kalam, apabila model dan pola yang sangat mendasar ini tidak segera diubah, dibangun, dan diperbaiki, maka kejadian serupa dengan pengadaan helikopter AgustaWestland AW 101, akan terus saja terjadi di masa mendatang. Perubahan ternyata memang harus senantiasa dilakukan.
Change your thoughts and you change your world.
(Norman Vincent Peale)
Sebagai penutup, kiranya walau apapun dan bagaimanapun, maka pegangan sebagai prajurit sejati adalah: “order is an order !”, senantiasa patuh dan taat kepada atasan tanpa membantah perintah atau putusan!
Tanah Papua, 30 Desember 2016.
Chappy Hakim
Editor : Tri Wahono