Atas undangan panitia penyelenggara, saya sempat menghadiri “The 7th Global Air Traffic Flow Management (ATFM) Conference di Denpasar Bali. Konferensi ini adalah merupakan event internasional dibidang pengaturan lalulintas penerbangan dunia yang baru pertamakali bisa diselenggarakan di Indonesia. Menarik untuk diikuti, karena ditengah-tengah semrawutnya organisasi dan juga kinerja dari ATC kita, ternyata Indonesia memperoleh kepercayaan dunia untuk menyelenggarakan Conference itu. Berikut dibawah ini adalah tulisan saya dalam kolom Opini di Koran Sindo pada tanggal 12 Februari 2013 halaman 6 :
Pada penghujung akhir Januari 2013 telah diselenggarakan dengan suksesThe 7th Global Air Traffic Flow Management (ATFM) Conference di Bali. Global ATFM Conference ketujuh ini merupakan yang pertama kali diselenggarakan di Indonesia. Angkasa Pura (AP) 1 dan Perum Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (PPNPI) telah mewakili Indonesia sebagai penyelenggara dan sekaligus sebagai tuan rumah. Terlihat hadir lengkap dari mereka yang mewakili Federal Aviation Administration (FAA), International Air Transport Association (IATA), International Civil Aviation Organization (ICAO), Euro Control, Air Service Australia (ASA), AeroThai, dan sebagainya. Konferensi ini menjadi sangat penting artinya bagi Indonesia di tengah-tengah amburadulnya pengaturan dan pengorganisasian air traffic control yang terpencar di berbagai institusi beserta segudang permasalahan yang dihadapi dan tidak kunjung selesai.
Tidak banyak diketahui masyarakat luas ternyata sebenarnya sudah ada langkah maju dalam penanganan ATC kita belakangan ini.
Pada 16 Januari tahun 2013 telah ada keputusan untuk menjadikan ATC kita lebur dalam satu wadah yang dikenal dengan nama Perum Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (PPNPI),badan usaha milik negara (BUMN) baru yang mengatur lalu lintas udara. Ichwanul Idrus yang sebelumnya menjabat direktur Navigasi Kementerian Perhubungan telah diangkat menjadi direktur utama BUMN baru itu.
Perum Navigasi tersebut akan berada di bawah Kementerian BUMN, namun Kementerian Perhubungan juga terlibat dalam supervisi.Dengan pembentukan BUMN baru ini,Indonesia diharapkan akan siap mengambil alih seluruh pengelolaan sistem layanan penerbangan terintegrasi di Indonesia dalam 1-2 tahun mendatang. Konon, atas respons yang sangat positif dari jajaran AP 1 dan PPNPI,Konferensi ATFM di Bali dapat sukses diselenggarakan.
Disadari benar bahwa PPNPI secara realita belumlah terwujud karena peresmiannya saja baru berlangsung pertengahan Januari lalu. Sistem layanan penerbangan terintegrasi ini membutuhkan waktu 2-3 tahun untuk dapat berjalan. Permasalahannya,dalam waktu dekat mendatang pengaturan layanan penerbangan oleh ICAO tidak akan lagi diberikan otoritasnya pada setiap negara, tetapi akan dikelola menurut kawasan. Di kawasan Pasifik ini tiga negara telah mempersiapkan diri dengan baik untuk mengajukan negaranya sebagai koordinator. Tiga negara tersebut adalah Thailand,Singapura,dan Australia. Bagaimana dengan Indonesia? Menyesal sekali, jangankan telah menyiapkan diri sebagai koordinator kawasan, bahkan kesiapan untuk mengatur layanan penerbangan di dalam negeri sendiri saja sampai detik ini belum terlihat dapat terselenggara dengan baik. Sekadar contoh yang mudah, saat ini ATC kita masih berada dalam kondisi kekurangan personel, baik jumlah maupun standarkualitas, belum lagi berbicara tentang kesiapan standardisasi peralatan pendukungnya. Ditambah pula kenyataan bahwa Republik Indonesia masih berada dalam kategori 2 penilaian FAA yang mengacu kepada regulasi ICAO. Itu berarti bahwa negeri ini dinilai masih belum lagi mampu memenuhi persyaratan keamanan terbang Internasional sesuai aturan ICAO.
Di tengah keprihatinan mendalam berhadapan dengan kenyataan tersebut, patut diacungi jempol AP 1 dan PPNPI yang telah memprakarsai dan bekerja keras dengan penuh semangat mewakili Indonesia dalam konferensi global di Bali tentang ATFM tersebut. Tidak sekedar dalam aspek penyelenggaraannya yang mengundang banyak pujian dari para peserta, tetapi ada beberapa keputusan yang dicapai yang secara tidak langsung telah mengangkat harkat Indonesia di forum internasional. Dalam konferensi itu antara lain Indonesia telah disetujui secara aklamasi sebagai Pusat Informasi ATFM Global.Flight Plan and Flow Management Centre (FLIPMAC) yang awalnya digagas AP 1 akhirnya diendorse oleh PPNPI dan dijadikan proyek nasional serta disebut sebagai Indonesia ATFM dan ini telah pula di-endorse oleh Global AFTM.
Di samping itu, Indonesia yang tadinya berstatus hanya sebagai “volunteer” juga telah disetujui untuk menjadi salah satu dari anggota tujuh negara Working Group Asia-Pasifik. Singkat kata, The 7th Global ATFM Conference di Bali,walau tidak dihadiri oleh pejabat penting tingkat pusat, telah dapat menuai banyak hal dalam konteks pengelolaan wilayah udara kedaulatan Republik Indonesia, khususnya pada bidang pengaturan lalu lintas udara sipil.
Disadari, perjalanan masih panjang bagi Indonesia untuk dapat memperoleh kepercayaan pada tingkat global,namun dengan apa yang telah dihasilkan di Bali akhir Januari lalu, seluruh hasilnya telah menyumbangkan banyak sekali kepada kehormatan Indonesia pada bidang penerbangan di forum Internasional. Kita semua berharap,kedepan dengan telah terbentuknya PPNPI, walau sudah sangat terlambat, pasar angkutan udara nasional yang sangat berpengaruh besar pada perkembangan kawasan dapat dikelola dengan lebih baik lagi. Kesan yang selama ini berkembang berkait dengan lambannya Indonesia melakukan ekspansi kapasitas bandaranya dan dalam pengelolaan kapasitas ruang dan pengaturan “air traffic”-nya dapat segera diatasi. PPNPI masih berhadapan dengan segudang tantangan dalam pengelolaan pelayanan navigasi dan lalu lintas udara terutama pada masalah sumber daya manusia (SDM).SDM yang dituntut tidak hanya jumlah dan kualitasnya, tetapi juga aspek kesejahteraan akan sangat menentukan “performance” atau unjuk kerjanya.
Optimisme yang diharapkan dari PPNPI tidaklah berlebihan kiranya mengingat sebagai wadah yang tunggal, manajemen akan berjalan dengan lebih mudah. Jumlah pemasukan dari jasa pelayanan navigasi dan lalu lintas udara yang tidak kecil itu (dengan terus meningkatnya angkutan udara internasional dan domestik) akan dapat dengan mudah ditujukan kepada ihwal yang memang diperlukan bagi peningkatan pelayanan tersebut.
Sekali lagi, mudah-mudahan.
Jakarta 13 Februari 2013
●
CHAPPY HAKIM
2 Comments
Bpk Chappy yth, mohon tulisan Bpk tentang kelebihan dan kekurangan Airbus A320 dibandingkan dengan Boeing 737-900ER. Mengapa Lion Air memesan Airbus A320? Tidak meneruskan tradisi memesan Boeing 737-900ER? Terima kasih.
OK, saya akan coba pelajari. Akan tetapi dalam konteks Lion AIr, kelihatannya itu murni bisnis dengan lika-liku nya yang saya sendiri kurang paham, terimakasih. Salam, CH